Skip to main content

Perjalanan Mengejar Pencuri Kuda (1918)- bagian 1





Hindia Belanda : Koran mingguan untuk Belanda dan koloni, Volume 2, Issue 7, 15 Mei 1918 –

Sebuah Perjalanan menuju dataran tinggi KARO.

Pada malam di tanggal 11 sampai 12, seorang pegawai saya terjaga pukul 02:30 malam dengan pengumuman yang kurang menyenangkan : bahwa kuda saya mungkin dicuri. Sebelumnya badai malam begitu besar dan hujan jatuh di sebahagian besar malam dengan tetasan hujan yang lebat membasahi atap yang terbuat dari daun nipah, seperti kebanyakan atap bangunan milik orang-orang Hindia Belanda.

Dan saya yakin kuda itu telah dicuri. Saya yakin karena binatang itu begitu kuat, pencuri itu tidak akan pernah berpikir panjang untuk melarikan diri dengan kuda itu. Pada malam yang gelap, tidak ada dari hewan yang terlihat. Karena itu saya mengambil tindakan langsung dan saya meminta pegawai saya untuk mendeteksi ke dua arah ke pegunungan dan ke arah menuju dataran rendah. Aku ingin besok di awal siang sudah memperoleh kabar, tentang arah mana para pencuri dengan kuda  hasil curian pergi.

Keesokan paginya di awal perjalanan kami diguyur hujan di jalan. Sementara aku punya pengoeloe (yaitu kepala) kampoeng Tandjoeng Goenoeng, yang tidak jauh dari rumah saya di hutan, berteriak di kejauhan, bertanya apa yang terjadi. Dan aku katakan bahwa kuda mungkin dibawa ke gunung, aku mengatakan karena ia memiliki pengaruh di orang Karo dari kampung-kampung sekitarnya, mungkin ia akan diperhitungkan. Ini akan membantu mendapatkan kuda itu kembali. Beruntungnya ia mau ikut dan dibantu oleh beberapa pegawai saya lainnya.

Segera tindakan yang diperlukan diambil dan saya memilih beberapa orang Jawa yang dipercaya, yang akan membantu perjalanan ini. Lalu aku duduk di atas kuda dan berlari keras, kami berjalan beriringan. Di perkebunan Rimboen  kami mengetahui bahwa jalan menuju dataran tinggi  harus melalui kampong Tjingkam, sehingga sang pencuri yang membawa kuda ke dataran tinggi pasti memilih mengambil rute jalan itu. Ketika sampai di kaki gunung, kami temukan bekas tapak baru kuku kuda di tanah berlumpur.

Kami melihat jejak selanjutnya, ternyata pencuri tidak berjalan di jalan utama, mereka memutar melalui tempat-tempat yang sepi, di mana kemungkinan apabila melalui jalur dalam mereka pasti akan ditanyakan dari mana. Mereka menjauhi kampung Tjingkam yang akan dilewati.

Karena keberangkatan dari rumah agak tergesa-gesa, saya tak bawa apa-apa, hanya pakaian yang saya kenakan. Hanya makanan yang ada yang saya perintahkan untuk dipersiapkan pegawai Jawa saya. Kami makan dan untuk menyiapkan tenaga memasuki perkampungan orang Karo.

Kami harus buru-buru setelah mereka kenyang. Mengikuti jejak-jejak pencuri, meskipun kadang-kadang menghilang. Di tempat-tempat yang paling sulit saat tak bisa dilalui kuda,  para pencuri kadang berputar sehingga di titik-titik sepanjang jalan yang lebih baik harus menggariskan, kemudian kami menemukan, namun biasanya menelusuri kembali lagi segera.

Kami begitu buru-buru, saya memiliki harapan, para pencuri sebelum mereka sampai di dataran tinggi kami telah mampu mengejarnya. Karena jalan tempat berlari berbatu dan batu-batu di sepanjang lereng curam dan jurang yang dalam, sehingga untuk saya menjadi misteri, bagaimana mereka membawa binatang itu. Namun mereka terlalu cepat bagi kami, tapi setidaknya pengoeloe dan saya dengan orang Karo dan orang Jawa berada di belakang mereka.


Air segar untuk di minum dari sungai kecil dari pegunungan, telah berulang-ulang kali memberi kekuatan baru pada saya, saya ingin untuk tidak menyerah. Pada sekitar setengah empat sore kami melewati punggungan pegunungan terakhir dan kami mulai secara bertahap turun ke dataran tinggi. Indah membentang dataran tak berujung jauh di bawah kita, di sana-sini terselip pojok-pojok kampung di rimbunan antara pohon-pohon. Sayang sekali bahwa perjalanan telah memaksa berpindah tempat, kalau tidak kita banyak melihat keindahan alam untuk dinikmati.

 


Kampung pertama di dataran tinggi itu adalah kampung Keling. Saat hari menjelang berakhir, kami memutuskan untuk tinggal di kampung Keling, karena kita mulai sedikit kelelahan setelah lama berjalan.

Di kampung di atas tampaknya pencuri berunding, kami mendapat kabar bahwa kuda di Berastagi biasanya dilepas sebesar $ 40. Aku bersedia untuk bernegosiasi, untuk mencegah kuda lebih jauh menuju Danau Toba. Penerimaan di kampung Keling sangat tidak hangat, sebuah pondok bobrok di luar kampung itu ditunjuk sebagai tempat tinggal kita. Hanya tikar untuk berbaring dan bantal adalah kenyamanan yang kita bisa dapatkan, kecuali beberapa peralatan masak untuk makan malam kita, yang untungnya juga beberapa bahan makanan seperti beras dan ayam bisa dibeli. Dan itu terasa sangat baik, meskipun juga hal yang primitif disiapkan dan meskipun kami memiliki beras dan ayam dan mengerjakannya sendiri. Dengan apa yang disebut tuak, kita  memperoleh banyak di sini, negeri ini tampaknya memuaskan kami.

 

 

Keesokan paginya kami berhasil dalam membujuk orang Karo di sini, untuk bernegosiasi ke kampung Berastagi tepatnya di lapangan independen tempat penjualan kuda, kami harus hati-hati, karena pencuri tahu bahwa kita tidak bisa memaksa hukum kita di sini.

Menjelang siang datang kembali utusan yang kami kirim dengan berita  bahwa orang-orang kampong Bukit mengklaim telah membelinya dari orang asing. Dan sore hari mereka akan membawa kuda untuk ditebus ke  kampung Keling,  kami harus menunggu dengan sabar.

Di sore hari pada pukul empat  ada yang berjalan ke kampung. Mereka meminta uang tebusan $ 60. Harga tebusan menjadi tinggi karena kuda itu telah berpindah tangan beberapa kali. Seperti yang saya katakan, kita tidak bisa menggunakan kekerasan di lapangan independen, melainkan yang penting kita bisa bahagia, sekarang hasil tersebut telah diperoleh.

Jadi saya memutuskan untuk membayar uang tebusan. Tapi aku di awal keberangkatan dari rumah tidak menduga bahwa perjalanan kita akan begitu lama, sehingga aku tidak punya uang cukup. Pengoeloe kami, yang menemani saya, menghubungi salah satu kepala kampong sekitar yang berhubungan baik dengan dia dan uang yang diperlukan untuk tebusan telah ditemukan. Segera kami berbaris untuk kembali berjalan.

Di kampong Soerbakti, di mana kami mencari uang untuk tebusan, penerimaan adalah sangat ramah. Kami tinggal di rumah pengoeloe, memiliki makanan yang sangat baik, kuda itu benar diparkir dan terhadap pencurian baru dipantau oleh pegawai Jawa.

Saya lupa menyebutkan, malam hari kami tiba di kampong Soerbakti. Di pagi hari yang pertama saya lihat dan membuat kagum adalah rumah tradisonal terbaik yang sejauh ini saya lihat. Tiba-tiba aku terpana, begitu indah seperti hal yang jarang terlihat dalam hidup saya. Saya melihat ke sisi selatan di tempat saya berdiri yaitu dataran terbuka dan di tengah-tengahnya ada kerucut, indah, megah.

Itu adalah Si Naboen, sebuah gunung berapi yang aktif, yang saya asumsikan dataran, sehingga sering samar terlihat garis puncak. Berdiri sepenuhnya, naik ke kerucut gunung dari dataran tinggi,  matahari menyalakan pagi di lereng nya. Lereng yang lebih rendah yang ditanami padi dan sekarang tertutupi rerumputan berwarna cerah, hutan lebat menyertainya dan di atas kawah telanjang, segumpal asap megah untuk menuju surga. Setelah menyelesaikan sisa $30 dari tebusan untuk dibayar, kami pergi tidur untuk memulihkan kekuatan.

 


Sudah tiba waktunya pulang, dan ini adalah hari ketiga saya memakai pakaian yang sama. Kami meninggalkan Soerbakti, kami berjalan beberapa jam di sepanjang kaki gunung berapi Si Naboen sambil menatap pemandangan puncak megah indah. Ketika melewati kampong Udjung Teran kami  mengetahui bahwa beberapa minggu yang lalu kampong ini dengan kampong lainya berperang satu sama lain. Di daerah sekitarnya, seluruhnya ditanami rantjau. Ini adalah tongkat bambu yang tajam dan ditanam di tanah hingga penyerang yang selalu bertelanjang kaki akan terluka. Parit dibesarkan, benteng kecil didirikan dan penjaga di atas puncak-puncak pohon. Dari sana kami segera mencapai tepi hutan.

Sebelum memasuki hutan, saya menatap sekali lagi dataran tinggi yang indah dengan Si Naboen-nya. Saya tidak punya keinginan untuk satu malam lagi berkemah di hutan, dan kita berjalan terburu-buru. Setengah lima sore kami melihat dataran di depan kami, dan setelah beberapa jam berjalan kami menemukan diri kembali dalam peradaban.

Cerita berasal dari pengenalan pemerintahan langsung  atas dataran tinggi Karo
Title gambar :
Batak IV. - Sebuah  keluarga Karo di tempat tinggalnya.
Batak V. - Kepala Desa Tandjpeng Ooenoeng dengan tiga putranya.
Batak VI. - Satu rumah  Karo di Deli Hulu.
Batak VII. - Rumah penyimpanan sementara abu dari pembakaran mayat di Karo.
Batakianden VIII. Tempat berlindung di hutan.
Batak IX. - Bagian atap  tempat menumbuk padi di desa Karo





IndiĂ« : geĂŻllustreerd weekblad voor Nederland en koloniĂ«n, Jaargang 2, Aflevering 7, 15 Mei 1918 — EEN TOCHTJE IN DE BATAK STREKEN.

EEN TOCHTJE IN DE BATAK STREKEN.

In den nacht van 11 op 12 dezer maakten de bedienden mij tegen circa half drie 's nachts wakker met de minder prettige mededeeling, dat mijn paard hoogstwaarschijnlijk gestolen was. Het had den vorigen avond zwaar geonweerd en kletterend viel gedurende een groot gedeelte van den nacht de regen met groote druppels op het, naar Indischen trant, met bladeren vanden nipah palm gedekte dak. Een oogenblik te voren had men een der dwarsbalken, waarmee de stallen worden afgesloten, hooren vallen,waarop de staljongen wa sop gestaan om te zien, wat of er aan de hand was. Hij vond toen den stal ledig, dus de diefstal had zoo even eerst plaats gehad.

En dat 't paard gestolen moest zijn, daarvan was ik overtuigd, want het beestje was zoo dood-mak, dat 't er nooit aan zou denken ver van honk weg te loopen, ook al brak het eens zonder permissie uit zijn stal. In den donkeren nacht was er echter niets van het dier te bekennen. Ik nam daarom direct mijn maatregelen en zond in twee richtingen naar het gebergte en in Ă©Ă©n richting naar de laagvlakte Javanen ter opsporing. Ik zelf wilde eerst het daglicht afwachten om te trachten zekerheid te verkrijgen, welke richting de dieven met het gestolen paard zouden genomen hebben.

Den volgenden morgen vonden we dan ook spoedig de sporen in de van regen doorweekte wegen. Ik had intusschen den pengoeloe (d.i. hoofd)vankampoeng Tandjoeng Goenoeng, welke niet ver van mijn huis verwijderd in het bosch lag, laten roepen, stelde hem van het gebeurde in kennis en daar ik de zekerheid had, dat het paard naar het gebergte was gebracht, zei ik hem, dat ik er zeker op rekende, dat hij al den invloed, dien hij op de Bataks der omliggende kampoengs had, zou aanwenden, om het gestolen paard weer in handen te krijgen. Gelukkig vond ik den man onmiddellijk bereid er met mij °P uit te gaan.

Dadelijk werden ook de noodige maatregelen getroffen en koos ik eenige vertrouwde Javane nuit, die ons zouden vergezeilen. Daarna zette ik mij te paard en reed in gestrekten draf mijne luid jes, die te voet volgden, vooruit, naar de bovenafdeeling der onderneming Rimboen, wel wetende, dat hierlangs de eenige verbinding met de hoogvlakte door den Tjingkampas leidde, zoodat, hadden de dieven het paard naar de hoogvlakte gebracht, ze ook noodzakelijk dien weg zouden hebben moeten nemen. Aan den voet van het gebergte gekomen, vonden we dan ook werkelijk de versche afdrukken der paardenhoeven in den modderigen grond.

We merkten op, dat de dieven niet den grooten weg gevolgd hadden, daar ze dan door bewoonde streken hadden moeten trekken, waar hun allicht naar de herkomst van het paard zou gevraagd zijn; door binnenpaadjes en niet meer gebruikt wordende wegen hadden ze het bergpad naar den Tjingkampas weten te bereiken. Het vertrek van huis was wat overhaast in zijn werk gegaan, zoodat ik niets anders bij me had, dan de kleeren, die ik droeg. Ik voorzag me daarom, voor we verder het gebergte introkken van wat levensmiddelen en trok daarop met het Batakhoofd en vijf Javanen het bosch in, de dieven achterna.

We moesten ons haasten, want ze hadden reeds een flinken voorsprong en daarom ging 't dan ook met slechts enkele korte rust po ozen in flinken pas, het oerwoud in, altijd maar achter de sporen van het gestolen paard aan, die echter nu en dan wel eens verdwenen, want de moeilijkste plaatsen waren voor het paard niet te passeeren geweest en de dieven hadden die punten dus langs betere paden moeten omtrekken; later vonden we dan echter gewoonlijk al gauw de sporen weder terug.

We zetten er zooveel spoed achter, dat ik alle hoop had, de sloebers nog vóór hun aankomst op de hoogvlakte teach ter halen, want de weg liep over steenen en rotsblokken langs steile hellingen en diepe ravijnen, zoodat het me dikwijls een raadsel was, hoe ze het beest er door gekregen hadden. En toch waren ze ons te vlug af, want hoe we ook liepen, meer dan de indrukken der hoeven in den week en modder kregen we niet te zien, en toch liepen we als hazen, ten minste de pengoeloe en ik met nog een Batak; de Javanen hadden het reeds lang tegen ons afgelegd en bleven achter. Dat was nu nog wel niet zoo heel erg, maar wel vond ik het vervelend, dat ze mijn mondkost bij zich droegen, want ik begon van al die inspanning hongerig te worden.

Een frissche dronk uit de kleine bergstroompjes, die we passeerden, moest me nu telkens maar weer nieuwe krachten geven, met het vooruitzicht op een stevig maal later op de hoogvlakte, want nu ik eenmaal aan 't loopen was, wilde ik het niet opgeven. Tegen ongeveer half vier 's middags waren we den laatsten bergrug gepasseerd en begonnen we geleidelijk naar de hoogvlakte af te dalen. Prachtig strekte zich de onafzienbare vlakte daar ver beneden ons uit, hier en daar aardig gestoffeerd met onder geboomte verscholen kampoengs. Jammer, dat de tocht zoo geforceerd moest plaats hebben, anders hadden we volop van het natuurschoon kunnen genieten.

De eerste kampoeng op de hoogvlakte was kampoeng Keling en daarheen richtten we onze schreden,aldoor maar het spoor van het paard volgend. Vóór we die kampoeng echter bereikten, ging dat spoor links den kant van Berastagi, een grootere, verder op de hoogvlakte gelegen kampoeng, op. Daar de dag ten einde liep, besloten we evenwel in kampoeng Keling te overnachten, want we begonnen toch ook wel een beetje moe te worden, na zoon marsch met niets dan rivierwater ter versterking, want de Javanen met onze proviand lieten zich nog maar steeds niet zien.

In bovengenoemde kampoeng schenen de dieven onderhandelaars te hebben achtergelaten, ten minste ons werd verteld, dat het paard te Berastagi was en voor de som van 40 dollars zou worden uit geleverd. Nog dienzelfden avond werden boden uitgezonden om te berichten, dat we genegen waren te onderhandelen, om zood oende te voorkomen, dat het paard nog verder den weg naar het Tobameer opging. De ontvangst in kampoeng Kling was niet bijzonder hartelijk; een bouwvallig huisje buiten de kampoeng werd ons als verblijfplaats aangewezen, een mat om op te liggen en een hoofdkussen waren de eenige geriefelijkheden die we konden bemachtigen, behalve nog wat kookgerei voor ons avondmaal, waarvoor we gelukkig ook wat rijst en een kip hadden kunnen koopen.

En die smaakten uitstekend, al was ook een en ander op primitieve wijze toebereid en al moesten we rijst en kip ook met onze vingers naar binnen werken. Met den z.g. palmwijn,het sap van den sagopalm,dat we hier in overvloed konden krijgen, besproeiden we dezen landelijken maaltijd. Den volgenden morgen slaagden we er in, een Batak over te halen, te paard naar kampoeng Berastagi te gaan om te trachten onderhandelingen aan teknoopen want daar we ons op onafhankelijk gebied') bevonden, moesten we omzichtig te werk gaan, daar de dieven wel wisten, dat onze wetten hier toch niet meer van kracht waren.

Tegen den middag kwam de door ons uitgezonden bode terug, met het bericht, dat het paard Berastagi weer was voorbij getrokken en zich nu nog verderop in kampoeng Boekit bevond,geleid door lieden, die beweerden het van onbekenden gekocht te hebben. Ze waren wel geneigd het paard tegen behoorlijken losprijs uit te leveren en zouden dienzelfden middag het paard naar kampoeng Keling brengen, waar 'k dus geduldig wachten bleef.

Werkelijk kwamen 's middags tegen een uur of vier de langgezochten de kampoeng binnengewandeld en begon het er dus naar uit te zien, dat onze pogingen niet geheel zonder resultaat zouden blijven. Het paard bleek intusschen weer van de eene hand in de andere te zijn overgegaan en daarmee had de losprijs gelijken tred gehouden en stond die nu reeds op 60 dollars. Zooals gezegd, geweld konden we niet gebruiken, daarvoor stonden we op onafhankelijk terrein; veeleer mochten we blij zijn, tot nu toe zulke uitkomsten te hebben verkregen.

Ik besloot dus den losprijs te betalen, maar daar ik bij mijn vertrek van huis niet vermoedde, dat onze tocht zich zoover zou uitstrekken, had ik geen geld bij me. Onze pengoeloe, die me vergezelde, wist daarop echter gelukkig wel raad. Een der kampoeng hoofden in de buurt was aan hem verwant en daar dacht hij wel het noodige geld te kunnen krijgen om den losprijs te kunnen voldoen. Direct waren we marschvaardig om met 't paard en zijne begeleiders naar bovenbedoelde kampoeng af te marcheeren en opgewekt trokken we verder, vergenoegd als we waren nu ten minste het paard in onzen stoet te kunnen meevoeren. In kampoeng Soerbakti, waar we het geld dachten te vinden, was de ontvangst buitengewoon hartelijk.

We logeerden in 't huis van de pengoeloe, kregen uitstekend eten, het paard werd behoorlijk gestald en tegen hernieuwden diefstal bewaakt door de ons vergezellende Javanen, die, ik vergat 't nog te vermelden, één nacht en een halven dag na mij in kampoeng Keling gearriveerd waren. 's Morgens nam ik een kijkje in de kampoeng, die de solied ste en mooiste huizen bevatte, die ik tot nu toe gezien had. Plotseling werd ik getroffen door een verge zicht, zóó mooi als ik nog zelden in mijn leven had gezien. Mij naar den Zuidkant keerende stond ik nl. eensklaps voor een open vlakte uit welks midden zich een prachtige, majestueuze kegel verhief.

Het was de Si Naboen, een werkende vulkaan, waarvan ik van uit de laagvlakte, zoo dikwijls de vage omtrekken van den top had gezien. Geheel op zich zelf staand, verhief zich deze berg kegelvormig uit de hoogvlakte; prachtig verlichtte de morgenzon zijne hellingen. De benedenhellingen waren met rijst beplant geweest en nu met helderkleurige grassen bedekt, dan 't zware oerwoud daartegen aan en daar boven den kalen krater, een statigen rookpluim ten hemel zendend. Na de nog reste erende 30 dollars van den losprijs te hebben betaald, gingen we, door een heerlijke nachtrust versterkt, weer vroeg op pad en nu eindelijk werkelijk huiswaarts.
  
Het werd tijd, want het was de derde dag, dat ik niet uit mijne kleeren was geweest! Nacht en dag in 'zelfde pak, met niets dan wat rijst en een geroosterde kip tot voedsel en wat rivierwater om te drinken, 's nachts niets dan een matje om op te liggen, dat de harde planken, waarop het uitgespreid lag, niet zachter te maken ver mocht. Om van kampoeng Kling naar kampoeng Soerbakti te komen, hadden we een paar moeilijke ravijnen te passeeren gehad en daar er nog een andere, meer vlakke weg van daaruit naar de laagvlakte voerde, besloten we met het oog op het paard, dien in te slaan, en ik had er geen spijt van, want Soerbakti verlatende, wandelden we een paar uur langs den voet van den vulkaan Si Naboen, dien we geruimen tijd in onze nabijheid behielden en in hooge mate indrukwekkend was het gezicht op dezen prachtigen majestueuzen top.

De laatste kampoeng, die we vóór het verlaten der hoogvlakte passeerden, was Oedjoeng Teran. Een paar weken geleden was deze kampoeng met een andere in oorlog geweest. Het geheel omliggende terrein was met rantjau beplant. Dit zijn scherp aangepunte, gespleten bamboestokjes, die in den grond gestoken worden, en de aanvallers, daar deze natuurlijk altijd blootsvoets zijn, dikwijls venijnige voet wonden bezorgen. Loopgraven waren opgeworpen, kleine bëntëngs opgericht en wachthuisjes boven in de toppen van een paar alleenstaande boomen aangebracht. Van daaruit bereikten we spoedig den rand van het oerwoud.
  
Een laatste blik nog op de hoogvlakte met zijn prachtigen Si Naboen, en toen was alles weer bosch om ons heen. Ik had geen lust om nog een nacht in het oerwoud te kampeeren, en daar we met het paard slechts langzaam opschoten, belastte ik een paar mijner lieden met de begeleiding en verzorging daarvan en trok ik met mijn pengoeloe in versnelden pas alleen verder. 's Avonds half zes traden we weer uit oerwoud en zagen we de laagvlakte weer voor ons, en na een paar uur marcheeren bevonden we ons weer in de bewoonde wereld.

Mijn paard arriveerde in den loop van den daarop volgenden dag en zoo liep deze tocht ten einde. A. drong, kwam 't hooge woord er uit. EĂ©n van de koelies, die onder zijn collega's voor een autoriteit doorging, had — al op de Ajoeh rivier — beweerd, dat er van den heelen tocht naar 't eigenlijke Loeang-gebergte niets terecht kwam; de toean besar zou 't wel uit zijn hoofd laten zn opwachting bij de geesten te maken; trouwens, met den besten wil van de wereld zou hij er toch niet toegelaten worden en als ze hem accepteerden lieten ze hem nooit weer los ook. Natuurlijk waren alle koelies onmiddellijk klaar uit dit axioma de logische gevolgtrekking te distill eeren, dat het dan wel dwaasheid zou wezen al de rijst uit de prauw mee tegen de berghelling op te zeulen en stikum, zonder dat het districts-

„„',,,* verhaal dagteekent van voor de invoering van direct bestuur °P de hoogvlakte.

Bataklanden IV. — Een Bataksch gezin voor zijne woning. De vrouw spint.
Bataklanden V. — Dorpshoofd van Tandjpeng Ooenoeng met zijn drie zoontjes.
Bataklanden VI. — Ene Bataksche woning in Boven-Deli.
Bataklanden VII. — Huisje der Karo-Bataks voor het tijdelijk opnemen der asch na de verbranding van het lijk.
Batakianden VIII. Het opbreken van een nachtverblijf in het bosch.
Bataklanden IX. — Voor het afdak van het rijststampblok in een Karo-Bataksch dorp.


Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si