Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2011

Kedai Kopi dan Televisi

Televisi di Kedai Kopi (foto oleh  Aftonun Nuha) Oleh Pulumun P. Ginting Oh…Turang Oh…mbiring Manggisku Mbiring-Mbiring Seh Kal Jilena (Mbiring Manggis – Tumtam) Sepenggal lirik lagu pop Karo yang sangat populer dan bahkan tidak seorangpun di Karo tidak mengenal jalinan nadanya. Saya terduduk di salah satu kedai kopi dan tidak seorangpun yang tidak mengenal kata globalisasi. Kepopuleran globalisasi mendesak masuk dalam kedai kopi, seperti nada-nada Mbiring Manggis. Saat ini, Karo telah menjadi bagian dari masyarakat global dan bahkan tidak menutup kemungkinan nada-nada globalisasi menjelajah, hingga sudut yang tak terlihat di Karo. Hadirnya televisi di kedai kopi menjadi tak hanya hiburan, tetapi juga ikut menggerus ingatan akan jalinan nada-nada indah dari pop Karo. Disinilah, di kedai kopi inilah, kedai kopi dan televisi menjadi gambaran pertempuran globalisasi dan tradisi. Sentuhan budaya global dan budaya lokal telah menjadi persoalan kita saat ini. Saya se

Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada Masyarakat Karo

oleh Pulumun Ginting, S.Sn. G lobalisasi menunjukkan wujud yang lain, tidak hanya bermotif ekonomi, juga kebudayaan. Globalisasi kebudayaan telah menggiring masyarakat pada tahapan prosesnya yang ketiga, yaitu era posmodern. Pada era posmodern, masyarakat mengalami absurditas pada corak berpikirya, terjadi tumpang tindih antara spiritualitas pramodern dan rasionalitas modern. Hal ini juga dialami oleh berbagai kebudayaan tradisi di masyarakat Indonesia. Salah satunya, tradisi lisan -tradisi yang dilangsungkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi- masyarakat Karo yang dalam ritual gendang kematian-nya mulai bersinggungan dengan modernitas. Gendang lima sedalanen, salah satu ensambel dalam ritual gendang kematian mulai digantikan oleh keyboard. Barker mengakui, wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang saling multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos in

Saat 200 Unit Tongkang Milik Orang Karo Menyerbu Penang.

Kompas/Mohammad Hilmi Faiq Seorang warga pergi ke kebun melintasi Jalan Udara yang berlatar belakang Gunung Sinabung di Desa Gajah Ujung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Keuletan Petani Karo Mengagumkan, Sekaligus Mencemaskan Petani Karo terkenal ulet sejak dulu Prof Karl J Pelzer dalam bukunya “Petani dan Majikan” menuturkan, para pedagang Inggris di Penang penasaran melihat begitu banyak lada asal Sumatera Timur yang diperdagangkan dikota tersebut. Dalam statistik impor Penang tahun 1814 tercatat lada Sumatra Timur yang masuk sebanyak “3000 pikul”. Jumlah ini meningkat tajam menjadi sebanyak 30.000 pikul pada tahun 1822. Lada ketika itu merupakan komoditi primadona karena diminati masyarakat dunia. Tidak aneh kalau kemudian lada asal Sumatera Timur semakin mendunia.Pada tahun-tahun berikutnya peningkatannya menjadi lebih signifikan. Tergiur  oleh besarnya jumlah lada Sumatera tersebut, Inggris berencana untuk mendirikan Kantor-Kantor Perwakilan Dagan

Jangan Lupa, Pendiri Medan Guru Patimpus !

  Guru patimpus dan sejarah Medan, Cahaya Medan yang Semakin Redup Secara historis, Guru Patimpus yang mendirikan sebuah kampung yang belakangan disebut Medan. Tapi, seorang Belanda bernama Jacobus Nienhuys-lah yang menjadi pendorong Medan berubah menjadi sebuah kota besar yang terkenal seantero Eropa, Amerika dan Asia. Oleh: Indrawan Penetapan Guru Patimpus sebagai pendiri Medan berdasarkan kesimpulan Panitia Penyusunan Sejarah Kota Medan pada 12 Agustus 1972. Lalu, pada 10 September 1973, DPRD Kota Medan dalam rapat plenonya menerima keputusan yang diambil oleh Panitia Sejarah Kota Medan itu. Selanjutnya, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590. Penetapan itu berdasarkan waktu pertama kali Guru Patimpus membuka kampung bernama Medan itu. Perkampungan itu posisinya terletak pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (di sekitar kawasan jalan Putri Hijau sekarang), yang diberi nama Medan

CIMPA, MAKANAN KHAS SUKU KARO

Duel

MUSEUM REKOR INDONESIA 36 JAM NONSTOP TEATER MULTI BAHASA. DIANGKAT BERDASARKAN KISAH NYATA DARI BUKU "KISAH KARO TEMPO DULU" KARYA JOEY BANGUN GERTAK LAU BIANG - DALAM SEBUAH MONOLOG

Arsitektur Karo Tempo Dulu dengan Musik Akustik

Karo Expedition - Kelangsungan Rumah Adat Karo (Siwaluh Jabu)

Restorasi Rumah Adat Karo Di Desa Melas

Cikecur

Kampung Karo di Sekitar Perkebunan Tembakau (1883-1888)

Perkebunan Tembakau Hindia Belanda di Sumatera Timur

Dance : Ghost Of Mount

Ngari-ngari Dancing From Karoland

Onggar onggar (Sanggar Seni Sirulo)

Penjual Parang, 1920

                          Indonesia SUMATRA Native BATAK Weapon Seller                                                           1920s RPPC (source : eBay.com )

Indonesia, SUMATRA, BATAK KARO Natives (1903) Litho Stamps

Indonesia, SUMATRA, BATAK Natives (1903) Litho Stamps  Source : eBay.com Source : eBay.com

Indonesia Batak Knife "PISO" Karo Sumatra

Indonesia Batak Knife "PISO" Karo Sumatra (source eBay.com ) Item Description Superb knife of a priest or also called as " piso guru ". Karo Batak. Ornately made hilt in the form of elongated squatting male figure leans back with hands in a prayer- like position and a brass long pointed headdress. The opening of the wooden sheath has a circle of eight standing human figures with uniform hand positions. Another six faces figure also carved decorating the lower part of the hilt. 19th century.

FINE TRIBAL and ETHNOGRAPHIC ART of BATAK KARO part 2

FINE TRIBAL  and ETHNOGRAPHIC ART of BATAK KARO by  John  Graham Earring  padung  19th century Karo Batak North Sumatra Silver with gold inlaid design Height 15.5 cm Used as a headdress ornament these earrings were supported by the wearer’s headcloth. The double spiral motif has its origins in the ancient dongson culture Pair of earrings  karadu kudung-kudung  19th - early 20th century Karo Batak North Sumatra Gilded silver  Height 13.5cm Traditionally worn by aristocratic women at major  adat  rituals Pair of earrings  karadu kudung-kudung  19th - early 20th century Karo Batak North Sumatra Gilded silver Height 13cm Necklace  kalung berahmeni  19th century Karo Batak North Sumatra Silver Length 53cm, 43cm, 34cm These necklaces were given to young girls as an initial bridewealth gift to ensure the success of their eventual marriage Ring  cincin tapak gaja  early 20th century Karo Batak North Sumatra Gilded silver Height 4cm These traditional rings of karo origin

FINE TRIBAL and ETHNOGRAPHIC ART of BATAK KARO

FINE TRIBAL  and ETHNOGRAPHIC ART of BATAK KARO by  John  Graham Lamp 19th century Karo Batak people  North Sumatra  Carved wood Height 44cm Staff  tunggal panaluan  early 20th century  Karo Batak people  North Sumatra  Carved wood, fibre and hair Height 123cm Ammunition holder  paru-paru  19th century Karo Batak people  North Sumatra  Carved buffalo horn  Length 19cm Ammunition holders like these are sometimes called  baba ni onggang  because of their resemblance to the beak of the hornbill. The round lead bullet is removed by bending the prongs open. These examples are profusely decorated with floral and abstract motifs common to Batak iconography Ammunition holder  paru-paru Karo Batak people  North Sumatra  Carved buffalo horn  Length 21cm Stopper for medicine container  guri-guri  20th century  Karo Batak Carved wood Height 21 cm Depicts a fighting cock atop the head of a supplicant figure who in turn squats on the head of a male figure riding a  singa Stopper