Pemain
Musik Keliling
Rondtrekkend
orkestje in de Karo-Bataklanden
Collectie:
KITLV
Collectie/Collection:
Brinkgreve, J.H.
Datum/Date:
1932
|
Oleh Arbain Rambey (KOMPAS)
MENYADARI
bahwa seseorang cuma sendirian di dunia ini, biasanya rasa kesepian akan
muncul. Ini yang dialami Kebun Tarigan, pemusik tradisional Karo yang tinggal
di Medan.
Namun,
kesepian Tarigan bukanlah kesepian dalam arti sebenarnya karena ia tidak
ditinggalkan siapa pun. "Kesepian" Tarigan-bahkan sudah menjurus
menjadi "ketakutan"-timbul melihat kenyataan bahwa tinggal dirinyalah
orang yang menguasai musik Limapuluh Kurang Dua dalam tradisi Karo.
"Apalagi
usia saya sudah 71 tahun. Kalau tidak ada yang meneruskan, musik ini akan
punah. Saya sudah cek ke mana-mana. Sudah tidak ada lagi orang yang menguasai
musik ini," kata Tarigan dengan prihatin.
Musik
Limapuluh Kurang Dua adalah deretan lagu-lagu tradisional Karo yang hanya
dilantunkan pada acara-acara besar seperti saat kematian raja atau dukun besar,
juga peresmian rumah adat.
Nama
musik ini memang aneh. Jumlah lagu yang dilantunkan memang 48, namun
penyebutannya haruslah tetap begitu. Musik Limapuluh Kurang Dua.
"Lagunya
tetap lima puluh sesungguhnya. Yang 48 dimainkan manusia, sedangkan yang dua
lagi dimainkan roh-roh yang ada di alam semesta ini," kata Tarigan dengan
mimik sama sekali tidak bergurau.
Jadi,
ini memang masalah budaya. Dalam hemat Tarigan, bila musik ini hilang, berarti
hilang juga sebuah mata rantai kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Ditemui
di rumahnya di ujung landas pacu Bandara Polonia Medan, Tarigan berusaha
meyakinkan siapa pun bahwa kekayaan budaya harus dilestarikan dengan cara apa
pun.
Di
sinilah ketakutan Tarigan muncul. Ia tidak tahu bagaimana melestarikan Musik
Limapuluh Kurang Dua di tengah dunia yang sudah hiruk-pikuk dengan lagu-lagu
baru yang sangat berbeda dari lagu tradisi itu.
***
PROBLEM
utama pada musik tradisional di Indonesia saat ini adalah pada masalah
penotasiannya. Banyak musik tradisional sudah punah karena hanya diwariskan
secara lisan, sementara peminat makin sedikit dan para pakarnya sendiri tidak
menguasai teknik penotasian musik maupun teori tari yang mereka kuasai itu.
"Saya
masih terus mencari murid, tetapi sampai sekarang belum ada yang mau saya
ajari. Termasuk anak saya sendiri menolak," papar Tarigan sambil menghela
napas panjang.
Tarigan
pun belajar musik Limapuluh Kurang Dua saat usianya sudah 30-an tahun pada awal
tahun 1960-an. Waktu itu, seorang guru bernama Renda Sinuraya sedang mencari
murid, dan Tarigan menerima uluran tangan sang guru.
"Saya
jadi murid saat sudah punya anak-istri. Saya mau menjadi murid karena tergetar
pada kemagisan musik ini," papar Tarigan. Kompas pun merasa serasa di alam
lain saat mendengar Tarigan memainkan sepotong musik Limapuluh Kurang Satu
dengan satu serunai saja.
Menurut
Tarigan, saat ini generasi muda Indonesia cenderung menyukai musik modern yang
mudah dicerna tanpa banyak merenungkannya. Saat ini, pada acara Karo apa pun,
umumnya alat musik keyboard yang dipakai dengan lagu-lagu pop dinyanyikan
sambil bergoyang.
"Tanpa
ingin menyalahkan aliran musik apa pun, kenyataannya generasi sekarang tidak
pernah mau repot terlibat dengan musik tradisional yang sering mereka sebut
kampungan dan ketinggalan zaman," jelas Tarigan.
Kalaupun
ada orang yang tertarik belajar musik Limapuluh Kurang Dua saat ini, orang itu
pun pasti akan terbentur pada masalah waktu. Mempelajari musik ini sungguh
butuh konsentrasi yang luar biasa tinggi. Semua lagu harus dihapal luar kepala
karena memang belum ada notasi untuk itu.
Secara
total, musik Limapuluh Kurang Dua membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk
menyelesaikannya. Ada beberapa jeda di antara lagu-lagu itu, dan jeda-jeda ini
pun sudah ada standarnya.
"Untuk
mempelajarinya jelas butuh waktu lama. Walau diturunkan secara lisan, musik ini
punya pakem yang tetap dan tidak boleh dimodifikasi," jelas Tarigan.
Pemusik
Karo, difoto di Brastagi dengan gunung berapi Sibajak di latar belakang
Date
1914-1918
Source
: Tropenmuseum
Author
T. (Tassilo) Adam (Fotograaf/photographer)
|
***
MUSIK
Limapuluh Kurang Dua memang sebuah repertoir rumit. Selain harus didahului
dengan sesajen yang terdiri dari beras, sirih, tikar, pisau, uang dirham (koin
emas), dan kain putih, para pemainnya pun harus menyiapkan diri secara mental.
Ada pemusik pengiring yang berpuasa dulu sebelum memainkan musik ini.
"Pada
suku lain pun ada musik yang tidak bisa dimainkan sembarangan. Saya dengar di
Keraton Solo ada gamelan dan juga tari yang hanya dimainkan pada saat-saat
khusus," ujar Tarigan.
Setiap
memainkan musik Limapuluh Kurang Dua, Tarigan yang memainkan serunai buatannya
sendiri akan diiringi dua buah gendang, sebuah gong besar dan sebuah gong
kecil. Serunai mengeluarkan bunyi dari getaran daun kelapa hijau yang dijepit
di bibirnya.
Ada
beberapa tahapan dalam memainkan musik Limapuluh Kurang Dua. Seluruh tahapan
menggambarkan alam semesta, memadukan segenap elemen yang ada, serta
menggabungkannya dengan kehidupan secara total dalam delapan penjuru angin.
Tahapan
pertama adalah tahapan Persentabin atau pembukaan yang terdiri dari sembilan
lagu. Tahapan ini adalah penghormatan kepada segenap hadirin dan alam semesta.
Tahap
selanjutnya adalah Perang Belin yang terdiri dari empat lagu, lalu tahapan
Ndungu Gendang Sipitu yang sesuai namanya terdiri dari tujuh lagu.
Disusul
kemudian dengan Ndudu yang terdiri dari tujuh lagu, Pekekeken yang terdiri dari
sembilan lagu, Gendang Guru yang terdiri dari tujuh lagu, serta ditutup dengan
Katonengkatoneng sampai selesai.
***
BELUM
lama ini Tarigan agak bernapas lega. Seorang tokoh masyarakat Karo, Darwan
Perangin-angin, sudah merekam musik Limapuluh Kurang Dua ini ke dalam pita
magnetik. Menurut rencana, Darwan akan memindahkan rekaman magnetik itu ke
cakram compact disk agar lebih awet dan bisa disebarluaskan.
"Tetapi,
saya tetap khawatir. Rekaman itu tidak mengajarkan apa-apa. Orang tidak bisa
belajar musik ini dari sekadar mendengarkan. Ada teknik yang harus dipelajari
dengan tatap mata kepada gurunya," kata Tarigan.
Untuk
menyambung rekaman ini, Darwan Perangin-angin berencana merekam dengan pita
video agar bisa terekam pula teknik-teknik peniupan serunai. Bagi Tarigan,
setidaknya rekaman ini adalah sarana mencegah kepunahan musik Limapuluh Kurang
Dua.
"Barangkali
nanti ada ahli musik yang bisa menotasikannya. Saya harapkan agar musik ini
bisa dimainkan sampai kapan pun dari notasi itu," kata Tarigan setelah
mendengarkan rekaman permainannya.
Kini,
sambil tetap berharap agar ada orang mau belajar musik Limapuluh Kurang Dua,
Tarigan melakukan berbagai upaya dengan caranya sendiri agar musik Karo tidak
punah. Mantan tukang cukur dan pensiunan guru ini setiap hari terus membuat
alat musik serunai.
Berbahan
kayu selantam, cangkang bulus, dan daun kelapa hijau, setiap tiga bulan ia
menghasilkan sebuah serunai halus. Umumnya serunai buatan Tarigan dibeli
pemusik-pemusik tradisional yang jumlahnya juga sudah tidak banyak lagi saat
ini.
"Saya
cinta sekali pada musik Karo. Segala upaya akan saya lakukan agar dia
lestari," kata Tarigan. (ARBAIN RAMBEY)
Sumber
Harian Cetak Kompas.
Tanggapan
Antropolog Juara Ginting pada milis Tanah Karo :
Mejuah-juah,
Gendang
50-2 mulai diperkenalkan oleh Tingtang Sinuraya, Pa Renda (bukan Renda
Sinuraya), seperti yang dikakatakan oleh bengkilangku Kebun Tarigan. Tingtang
Sinuraya adalah penarune Bunuraya yang dulunya mengiringi perkolong-kolong
terkenal seperti Malem Pagi Ginting, Bengkel Perangin-angin, Sinek br Karo,
Norma br Karo dll. Pewaris langsung Gendang 50-2 adalah Pa Sanggup
Perangin-angin (Kuta Buluh, yg nantinya tinggal dgn istri ke dua di Tiga Nderket)
dan Pa Sanggup Ginting (Lingga). Keduanya telah meninggal. Masri Singarimbun
pernah merekam 50-2 yang dimainkan oleh Pa Sanggup Kuta Buluh. Tahun 1982,
Philip Yampolsky (sekarang perwakilan Ford Foundation di Jakarta), Mary Steedly
(sekarang profesor di Harvard) dan Juara Ginting merekam 50-2 dari Pa Sanggup
Kuta Buluh di sebuah gubuk perladangan Kacaribu. Juara Ginting pernah menulis
artikel tentang 50-2 ini dalam kaitannya dengan Bulung-bulung pangir 50-2,
Karah-karahen 50-2 dan perhitungan matematis jumlah mas kawin (dari 5 ke 6, 11,
12, 16, 24, 48, 60 dan 120). Semuanya didasarkan pada perhitungan hari di atas
skema Desa Si Waluh.
Saya
kenal baik dengan bengkila Kebun Tarigan. Dulu dia mengatakan bahwa dia belajar
sendiri 50-2 dari rekaman Tingtang Sinuraya yang direkam Remaja Record Kaban
Jahe. Satu copy rekaman 50-2 yang kami kerjakan ada pada Sanggup Perangin-angin
(juga penarune dan penggual), anaknya Pa Sanggup Perangin-angin (dulu tinggal
di Psr 7 P. Bulan Medan).
Jumlah
lagu 50-2 adalah 50. Lagu pertama Mangmang Persentabin (Pembukaan) dan lagu
Penutup terserah penarunenya (versi Pa Sanggup Kuta Buluh, Rimo Malem). 50-2
terutama dimainkan pada mengket rumah dan penghantaran jenajah raja ke kuburan.
Angka itu merepresentasikan "the society at large".
Sekedar
tambahan informasi.
Juara
Ginting
Comments
Hidup Kebudaayan Etnis Karo, Mejuah-juah.
Terima kasih Bang Eliasta Tarigan dan Bang Juara Ginting.
Rekamannya saya rasa ada pada Philip Yampolsky .
Sewaktu Revitalisasi Oleh Ford Foundation, Prof. Ramon Santos (University of Philiphine) juga disebutkan seperti itu..!!
me Bage mamaku !?!?!
Karena aku juga, pernah bertanya sama Bapak (Alm. Djasa Tarigan) , dia juga tidak mengingat dimana Gendang 50-2 itu pernah di Rekamkan..!!
> Hubungan baik antara Tabloid SORA SIRULO dengan
> lembaga-lembaga maupun organisasi-organisasi lainnya
> menghasilkan dua bentuk kerjasama dalam rangka pelestarian
> dan pengembangan budaya Karo:
>
> 1. Acara penutupan program revitalisasi musik tradisional
> Karo dilaksanakan atas kerjasama USU, Yayasan Semai, Ford
> Foundation dan Tabloid SORA SIRULO di Restauran Kenanga
> Indonesia Jl. Djamin Gintings (Km 12, 5), Medan (Selasa 25
> November 2005).
>
> Bertindak sebagai Ketua Panitia Pelaksana adalah Pemimpin
> Umum SORA SIRULO Juara R. Ginting.
>
> Gambaran ringkas acara ini silahkan lihat attachment atau
> klik
> http://groups.yahoo.com/group/tanahkaro/files/undangan%20program%20revitalisasi%\20karo%20%281%29.doc
>
> 2. Pemilihan Putra Putri Karo yang akan dilaksanakan pada
> 28 Pebruari 2009 di Hotel Danau, Medan, atas kerjasama
> Effata Travel dengan Tabloid SORA SIRULO.
>
> Berita selengkapnya lihat di SORA SIRULO edisi Desember
> 2008.
>
> Salam,
>
> Ita Apulina Tarigan