Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2013

Hanging Without a Rope

  Judul Buku : Hanging Without A Rope (Narative Experience in Colonial and Postcolonia Karoland), New Jersey : Princeton University Press, 1993 Nama Penulis : Mary Margaret Steedly. Hanging Without a Rope sebuah prolog "Ini Nini kita, yang dari gunung", kata Nande Randal, dia telah menjadi perantara roh dan dukun selama lebih dari empat puluh tahun, pedagang sayur, awalnya di kota pasar Berastagi dan kemudian, setelah akhir Revolusi Indonesia tahun 1950, di Pasar Sentral besar di kota Medan. Dengan bantuan roh, dia dan suaminya telah memperoleh dana cukup untuk berinvestasi dalam armada minibus. Tapi anak-anak mereka telah menyia-nyiakan uang mereka, dan akhirnya minibus tersebut harus dijual. Sekarang mereka mengusahakan sebuah peternakan kecil di luar kota. Saat Juara R Ginting dan Merry tiba untuk mengunjunginya. Dia menyambut dengan riang dan langsung beristirahat dari pekerjaannya. Peternakan Nande Randal di tepi kota Pancur Batu. Nande Randa

Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701

Ini adalah halaman pertama dari dokumen asli.  Koleksi Arsip Digital. Sumber Arsip, ANRI HR 2521, fols 113-114. Sumber tulisan : Arsip Nasional Republik Indonesia DARI: CATATAN HARIAN KASTIL BATAVIA, 1 MARET 1701 [MULAI FOL. 113.] Kita telah minta keterangan dari orang Cina yang kemarin dulu tiba dari Pantai Barat Sumatra dan sudah tinggal untuk beberapa waktu lamanya di pegunungan Angkola, dan hari ini apa yang telah dituturkannya itu dicatat di Sekretariat Jenderal, seperti yang dapat dibaca dalam tulisan berikut ini. Hasil pemeriksaan orang Cina ’t Singko, yang baru saja tiba dari Baros lewat Padang dengan kapal jenis “chialoup” milik seorang Cina Thieko, yang mengatakan sebagai berikut ini. Bahwa sepuluh tahun lalu dia menumpang kapal yang dinakhodai oleh seorang Cina bernama Khintsijko, dan berlayar dari tempat ini ke Malaka dan dari sana ke Pande yang terletak di sekitar Dilly; di tempat tersebut, nakhoda kapal menjual barang-barang dagangannya kepada pendud

Adakah Kesenian Tradisional Batak?

Adakah Kesenian Tradisional Batak? (Tempo, 7 Oktober 1989) Kehadiran acara Gita Remaja di layar TVRI yang disajikan mirip dengan Berpacu Dalam Melodi disambut gembira sebagai salah satu wadah pembinaan generasi muda. Yang menarik perhatian saya adalah ketika pembawa acara menyebutkan penampilan kelompok kesenian tradisional dari Sumatera Utara, yang menyuguhkan “Musik Tradisional Batak” (Acara Gita Remaja tanggal 14 Agustus 1989). Apakah ada kesenian atau kebudayaan “Batak” ? Dari mana datangnya istilah “Batak” dan apa yang dimaksud “Batak” itu sendiri. Suku bangsa Mandailing, Angkola, Simalungun, Pak-pak/Dairi, Toba, Karo, itukah yang dimaksud dengan “Batak”  ? Coba sekali-sekali anda berwisata ke Sumatera Utara. Ajaklah berdialog masyarakat Mandailing, Angkola atau Karo. Tanyakan apakah mereka orang Batak. Umumnya anda akan memperoleh jawaban : “Tidak.” Suku bangsa itu masing-masing memiliki budaya dan adat yang berbeda. Kenyataan ini dapat dibuktikan dari segi sej

Bambang Ginting : Di Surabaya Tidak Ada Penari

“Di Surabaya tidak ada penari.” Tentu saja ucapan Bambang Ginting ini membuat banyak orang kebakaran jenggot.  Bambang Ginting  (4 Maret 1959 - 9 September 2003) Seniman Tari : Bambang Ginting Bernama asli Bambang Haryanto Ginting. Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 4 Maret 1959, ia merupakan jebolan Jurusan Tari Fakultas Kesenian Institut Kesenian Jakarta, program Tari Studi Dasar (D3). Beberapa karya tari yang pernah diciptakannya antara lain ‘Langen Roso’, ‘Ujungan’ (1979), ‘Reinkarnasi’ (1980), ‘Garis I’ dan ‘Garis II’ (1983), ‘Maria Magdalena I’, ‘Rabuni’, ‘Maria Magdalena II’ (1984), ‘Langgam Jakarta’, ‘Talenta’ (1985), ‘Manunggal’, ‘Sodoran’ (1986). Ketika kembali ke Surabaya tahun 1986, ia memiliki paradigma yang berbeda dengan rata-rata koreografer Jawa Timur waktu itu. Kedekatannya dengan Afrizal Malna, Boedi Otong, Taufik Rahzen, Farida Faisol dan tokoh-tokoh lainnya, membuatnya lebih ‘menasional’ dalam memahami dunia tari. Bahwasanya seorang penari, katan

"Turang” bukan dari Tapanuli

Kompas , Jumat, 2 Juni 1989 “Turang” bukan dari Tapanuli Dalam acara Berpacu Dalam Melodi tayangan TVRI tanggal 27 Mei 1989, ada kesalahan yang dibuat oleh pembina acara ini. Kesalahan tersebut menyangkut asal daerah lagu Turang yang oleh salah satu peserta dinyatakan berasal dari daerah Tapanuli dan Bung Koes Hendratmo yang bertindak sebagai pembawa acara membenarkannya. Lagu tersebut bukan berasal dari daerah Tapanuli tapi dari daerah Tanah Karo. Untuk pembina acara ini saya sarankan untuk dapat lebih mengenal keragaman dari suku-suku yang mendiami bumi Indonesia tercinta ini, sehingga kesalahan seperti itu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Tiarta Sebayang, SE Dept. Keuangan Jakarta #surat senada juga dikirim oleh Suang Karo-Karo yang beralamat di Jl. Ampera Raya, Cilandak III, Jakarta Selatan. Tulisan ini juga dapat dibaca dalam buku “Mengenal Orang Karo” yang disusun oleh Roberto Bangun. Buku “Mengenal Orang Karo” adalah cetakan p