Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2011

Teater Tembut-tembut

Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara yang cukup terkenal dalam konteks pariwisata global adalah tembut-tembut dari budaya Karo. Di Simalungun terdapat teater Toping-toping atau Huda-huda. Sementara dalam kebudayaan Melayu contohnya adalah bangsawan, tonil, dan sandiwara. Pada masyarakat Toba adalah Opera Batak. Tembut-tembut di daerah Karo yang terkenal sampai sekarang adalah yang ada di daerah Karo yang terkenal sampai sekarang adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut tembut-tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya. Kapan terciptanya tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara tepat. Namun dapat diperkirakan berdasarkan tahun serta penyajiannya di  Batavia fair yaitu tahun 1920.  Berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan  terciptanya tembut-tembut adalah sekitar tahun 1915.  Awalnya berfungsi hiburan. Dalam arti digunakan untuk menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun dalam p

Masyarakat Karo dan Seni Pertunjukannya

Oleh Muhammad Takari Ketua Jurusan Etnomusikologi F. Ilmu Budaya USU 2011 SETIAP kumpulan masyarakat di dunia ini, dalam bentuk etnik, religi, tas, society, bangsa, dan lainnya selalu memiliki ciri-ciri, cita-cita, atau tujuan yang sama, atau didukung oleh gagasan kolektif yang bersamaan. Mereka membentuk kebudayaan atau peradaban yang digunakan untuk menanggapi tantangan yang datang baik dari luar maupun dari dalam kebudayaannya. Mereka mengekspresikan wujud kebudayaan dalam tiga bentuk, yaitu: ide, aktivitas, dan artifak. Sementara isi kebudayaan manusia di dunia ini terdiri dari tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: agama, organisasi sosial, teknologi, pendidikan, bahasa, ekonomi, dan kesenian. Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia yang berhubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Setiap masyarakat di dunia ini selalu memiliki kesenian sebagai bagian dari pemenuhan fungsional akan rasa keindahan. Demikian pula kesenian dalam masyarakat Karo. Masyarakat

Beru Dayang dan Padi dalam Kepercayaan Orang Karo

Sejarah Padi di Karo Sejarah darimana datangnya padi di Karo sampai saat ini masih belum di ketahui dengan pasti. Namun banyak pendapat-pendapat para ahli menerangkan asal mula padi di Karo. Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah di mulai sejak sebelum pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha datang ke Karo. (Brandes, 1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Ini diperkuat lagi dengan peninggalan-peninggalan yang masih di lihat dalam masyarakat Karo yaitu marga-marga yang ada di Karo. Sembiring Brahmana, Colia, Pandia, Manik, Dan Lingga. Dan sampai sekarang marga-marga ini masih di gunakan oleh orang Karo. Pendapat lain mengatakan bahwa penanaman padi dengan system perladangan diperkirakan   di kenal oleh orang Karo jauh sebelum sekitar 2500-1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalituk tua ke Indonesia (Golden, 1945:138-141). Namun dalam teorinya ini masih ada keraguan karena tidak disertakan dengan bukti-bukti yang kuat. Namun ada satu cerita dalam kebudayaan Karo bahwa padi itu

Sentabi kami man bandu Beru Dayang…

Upacara Merdang – “Sentabi kami man bandu Beru Dayang…” Dahulu sebelum agama Kristen memasuki Tanah Karo, masyarakat tradisional Karo merupakan masyarakat yang bersistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sama seperti masyarakat tradisional di daerah Sumatera Utara lainnya. Banyak ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Karo waktu itu untuk mencapai keselamatan mereka bersama, demi mempertahankan dan melestarikan hidupnya. Ritual-ritual tersebut antara lain: Upacara Mindo Udan (meminta hujan), Upacara Erpangkir Ngarkari (berkeramas membersihkan diri untuk membuang sial), atau Upacara Merdang (menabur benih). Apa dan Bagaimana Upacara Merdang Merdang adalah upacara yang diadakan pada saat pertama kalinya menanam bibit padi di ladang. Nama lain upacara ini adalah nuan page; nuan berarti menanam, page berarti padi, dan secara keseluruhan berarti upacara menanam padi. Maksud upacara ini adalah untuk memohon kepada beraspati taneh (dewa penguasa tanah) agar memelihara padi yang dita

Beru Dayang

The concept of female spirits and the movement of fertility in Karo Batak culture Source: Asian Folklore Studies Publication Date: 10/01/1997 Author: Goes, Beatriz van der COPYRIGHT 1997 Asian Folklore Studies This paper describes and analyzes the concept of a female spirit, called Beru Dayang, among the Karo, one of the six Batak peoples of North Sumatra, Indonesia. The term beru dayang(1) appears in ritual chants, in the process and rituals of growing dry rice, in the composition of equipment, and in elements that contribute to the constitution of human life. In Karo ritual chants the beru dayang are addressed as grandparents (nini).(2) They inhabit various parts of specific domains that belong to deities called beraspati.(3) In this paper I will present appearances of the beru dayang in the domains belonging to the deity of the land(scape), Beraspati Taneh, and the deity of the house, Beraspati Rumah. The concept of beru dayang or si dayang becomes eminently clear in the proces

Nama Warisan Marga

Secara umum nama warisan dalam masyarakat Karo dapat di bagi atas empat kategori. Keempat kategori ini, dibedakan atas jenis kelamin. Kategori pertama disebut umum. Nama warisan ini dapat dipergunakan sebagai sapaan kepada semua individu Karo, tanpa memandang siapa dia dan dibedakan hanya berdasarkan jenis kelamin. Seperti Tongat sapaan untuk anak laki-laki dan Ame sapaan untuk anak wanita. Penggunaannya dibedakan hanya berdasarkan derajat usia. Artinya orang yang usianya lebih tua dapat mempergunakan nama ini kepada orang yang usianya lebih muda darinya. Kategori kedua disebut umum khusus. Nama warisan ini dikenal dengan istilah Merga (Klen). Klen dalam masyarakat Karo dapat dibagi atas 5 klen, dan kelima klen ini dibagi lagi atas sub-sub klen. Secara garis besar kelima klen ini adalah Peranginangin, terdiri dari 21 sub klen.  Ginting, terdiri dari 15 sub klen.  Tarigan, terdiri dari 12 sub klen. Karo-Karo, terdiri dari 18 sub klen, dan  Sembiring, terdiri dari 19 sub klen. Penggu

Klen (Merga) dan Kampung Asal (Kuta Kemulihen)

Pada masyarakat Karo sistem kekerabatan ini dikenal dengan  merga silima (Klen yang lima). Setiap individu Karo mempunyai klen. Klen ini ditarik dari garis keturunan ayah. Klen dalam masyarakat Karo masing-masing induk mempunyai cabang yang disebut sub merga atau subklen. Merga (klen) adalah suatu organisasi kemasyarakatan berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal) yang bersifat genealogis dan teritorial yang terdiri dari berbagai komponen yang satu sama lain sejiwa dan senyawa.  Sebagai contoh, klenklen pada masyarakat Karo semuanya mempunyai kuta kemulihen (kampung asal).  Kuta Kemulihen ini bisa jadi hasil rintisan nenek moyangnya, bisa jadi pula diberikan oleh kelompok klen lain. Sebagai contoh subklen Brahmana, subklen   Brahmana  ini mempunyai dua kampung asal (kuta kemulihen) yang dibangun oleh nenek moyangnya dahulu pertama, di  desa Limang yang terletak di Kecamatan Tiga Binanga di daerah tingkat II Kabupaten Karo, dan kedua di desa Bekawar di daerah Tingkat II Langkat

Asal Usul Etnis dan Nama Karo.

Berdasarkan mitos yang ada, asal-usul suku di Sumatera Utara bervariasi, ada yang mengusut asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba), ada yang berasal dari lapisan yang paling indah yang disebut Tetoholi Ana'a   yang turun di wilayah Gomo (Nias), ada yang berasal dari turunan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Palembang (Melayu). Berdasarkan perkiraan-perkiraan yang disusun para ahli,   penduduk asli Sumatera Utara ini berasal dari Hindia Belakang yang datang ke kawasan ini secara bertahap. Hal inilah maka kemudian corak ragam budaya penduduk pribumi Sumatera Utara ditemukan perbedaan-perbedaaan. Dalam masyarakat Karo pun, ada ditemukan   mitos tentang asal usul etnis ini. Mitos ini tidak berkait erat dengan hal-hal   yang sulit ditelusuri oleh akal seperti yang mengusut asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba), atau    yang mengusul asal usulnya dan berkesimpulan dari lapisan yang pa

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Rebu

Rebu artinya pantangan, dilarang, tidak boleh, tidak dibenarkan melakukan sesuatu  menurut adat Karo. Siapa yang melanggar, dianggap tidak tahu adat, dan dahulu dicemooh oleh masyarakat.  Rebu pada masyarakat Karo, terbagi atas tiga pihak : 1.     Antara mami (mertua wanita) dengan kela (menantu pria). Dalam pengertian sempit,  mami adalah ibu dari istri ego, dalam pengertian luas, adalah para istri saudara laki-laki dari pihak ibu atau ibu ego dari istri ego). Sedangkan kela dalam pengertian sempit adalah suami dari anak wanita ego, dalam pengertian luas  adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah ego. Sebelum terjadi pernikahan, kela ini disebut bere-bere atau kemanakan. 2.      Antara  bengkila (mertua pria) dengan  permain (menantu wanita).  Bengkila dalam pengertian sempit adalah ayah dari suami seorang wanita, dalam pengertian luas suami dari saudara perempuan ayah seorang wanita. Sedangkan  permain dalam pengertian sempit adalah istri dari anak laki-laki orang ego. Dalam

Pantangan

Pantang dalam masyarakat Karo ada tiga yaitu pantang karena keyakinan, pantang karena penyakit dan pantang karena kehormatan. Pantang karena keyakinan misalnya yang terdapat pada beberapa subklen yang berpantang mengkonsumsi daging binatang tertentu. Misalnya pemantangan yang dilakukan oleh kelompok klen Sebayang terhadap memakan daging Kerbau Putih, Tarigan terhadap memakan daging Burung Balam  dan Brahmana terhadap memakan daging Anjing.  Pantang karena penyakit misalnya dilarang makan kenyang oleh dokter, dilarang mandi malam karena dapat kena penyakit paru-paru atau reumatik dan sebagainya. Pantang karena kehormatan misalnya bila berbicara dengan orang yang dituakan haruslah hormat, dilarang menyebut nama nenek dan kakek, atau nama ayah dan ibu. Kalau pun terpaksa disebutkan harus disertai kata ula meggelut tendina (jangan kaget rohnya), setelah menyebut kata tersebut di atas, lalu disebut namanya, dan sebagainya. Sumber : DRS. PERTAMPILAN S. BRAHMANA, M.SI ( library.usu.ac

Larangan dan Anjuran (Sumbang dan Suruhen)

Sumbang artinya tidak pada tempatnya, atau tidak sesuai dengan kedudukannya atau tidak seharusnya. Dalam masyarakat Karo,  sumbang  ini bervariasi. Namun setelah dirangkum pendapat Brahmana, (TT:36-37;44-46) dan Tarigan, (Ginting, 1989:41)  ada dua belas  sumbang, dan kemudian ada pula dua belas suruhen (anjuran).  1. Sopan  Bicara (Sumbang Sora Ngerana). Maksudnya kalau berbicara  sebaiknya hati-hati, jangan menampakkan ekspresi mau marah atau ekspresi jengkel, apalagi hal itu dilakukan di depan orang ramai, di depan mertua, di depan ipar, ini tidak sopan, maka dianjurkan agar selalu sopan berbicara. 2.  Sopan Cara Makan (Sumbang Perpan). Artinya kalau makan harus bersikap sopan, jangan terlalu tegak dan jangan terlalu menunduk, tidak boleh tergesa-tegas, maka dianjurkan agar selalu sopan bila sedang makan. 3.  Sopan Memandang (Sumbang Pernin Mata). Artinya tidak baik memandang mertua, ipar, berulang-ulang, ini tidak sopan, maka dianjurkan agar selalu sopan ketika memandang atau me

Tari Odak-Odak & Mejuah-Mejuah

Tari Odak-Odak dan Mejuah-Mejuah adalah tari Budaya SUku Karo, Sumatera, Indonesia dibawakan oleh Eunice Shertaria dan Gabriella Ginting di acara East Meets West yang diselenggarakan oleh prakarsa Yayasan Nusantara Amsterdam (dari East Culture) bekerjasama dengan Yayasan Abundacia (dari West Culture) di Bijlmer Theater Park Building, Amsterdam, 14 Mei 2010

Gendang Binge

Di upload ke Youtube oleh Gabriella Ginting. Gendang Karo di bagian kabupaten Langkat. Pemain musiknya berasal dari Rambong Langkat.

Kulcapi dan Keteng

Kulcapi : Keteng : Kulcapi dan Keteng :

Gurda-Gurdi (Gundala-Gundala)

Cerita yang pertama tentang Gurda-Gurdi Dimana dalam cerita ini diceritakan tentang, sebuah kerajaan yang ada di Tanah Karo. yang Dipimpin Oleh seorang raja dan di dampingi seorang permaisuri raja. Keluarga ini sangat bahagia sekali dengan kehadiran seorang Putri yang sangat cantik. Panglima raja yang gagah berani tetap setia menjaga keluarga ini. Seekor Manuk Sigurda-Gurdi (Burung Enggang) menambah nuansa keceriaan keluarga Raja, dengan Ekor yang panjang yang menarik perhatian semua orang. Karena keanggunan Manuk Sigurda-Gurdi terbersit keinginan sang Putri Raja untuk dapat membelai Sang Burung. Dan meminta kepada raja dan Permaisuri untuk membuat satu pesta yang besar dan mengajak burung untuk menari bersama Dengan diiringi Musik. Sang raja dan Permaisuri mengabulkan permintaan sang putri, memanggil semua masyarakat untuk berpesta bersama sesuai dengan permintaan Sang putri. Dalam kemeriahan pesta ada satu hal yang menjadi Pantangan bagi Manuk Sigurda Gurdi

Pujian Hatta pada Orang Karo

Sejarah Karo Zaman Kemerdekaan Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik  Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun. Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera  Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan,  wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kemba

Perkolong-kolong Kesenian Khas Karo ~ DELI TV

Nehken Uis ~ DELI TV

Mengenal Tradisi Kerja Tahun di Tanah Karo ~ DELI TV