Oleh Muhammad Takari
Ketua Jurusan Etnomusikologi F. Ilmu Budaya USU 2011
SETIAP kumpulan masyarakat di dunia ini, dalam bentuk etnik, religi, tas, society, bangsa, dan lainnya selalu memiliki ciri-ciri, cita-cita, atau tujuan yang sama, atau didukung oleh gagasan kolektif yang bersamaan. Mereka membentuk kebudayaan atau peradaban yang digunakan untuk menanggapi tantangan yang datang baik dari luar maupun dari dalam kebudayaannya. Mereka mengekspresikan wujud kebudayaan dalam tiga bentuk, yaitu: ide, aktivitas, dan artifak. Sementara isi kebudayaan manusia di dunia ini terdiri dari tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: agama, organisasi sosial, teknologi, pendidikan, bahasa, ekonomi, dan kesenian. Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia yang berhubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Setiap masyarakat di dunia ini selalu memiliki kesenian sebagai bagian dari pemenuhan fungsional akan rasa keindahan. Demikian pula kesenian dalam masyarakat Karo.
Masyarakat Karo telah menyumbangkan identitas budaya Sumatera Utara ke tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Kini kita mengenal dengan baik genre keyboard Karo, lagu-lagu Karo seperti Biring Manggis, Mbuah Page, Lasam, komponis Djaga Depari, landek, dan lain-lainnya. Bahkan melalui album Dua Dimensi dengan penyanyi kenamaan Melayu Syaiful Amri dan Laila Hasyim kita dapat sekilas menikmati pertunjukan landek dan melodi-melodi dari etnik Karo yang dimainkan oleh Ismed Barus. Dalam album ini terjadi fusi secara menarik antara seni pertunjukan masyarakat Melayu dan Karo. Selanjutnya, tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum keberadaan masyarakat Karo di Sumatera Utara dan seni pertunjukannya.
Masyarakat Karo
Masyarakat Karo, berdasarkan etnosains mereka, membagi wilayah budayanya ke dalam dua kategori: (a) Karo gugung atau orang-orang Karo yang berada di wilayah pegunungan, terutama di kawasan Kabupaten Karo, Langkat, dan Deli Serdang, (b) Karo jahe, yaitu mereka yang berada di kawasan pesisir terutama di wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Masyarakat Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan KaroJahe lebih banyak mengalami akulturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama dengan etnik Melayu. Misalnya Guru Patimpus yang mendirikan Medan. Satu hal yang paling penting dalam masyarakat Karo adalah adanya sistem klen eksogamus, yang mendasarkan hubungan perkawinan kepada kelompok klen luarnya.
Seperti halnya suku-suku lain, masyarakat Karo mempunyai sistem kemasyarakatan. Pada masyarakat Karo sistem kemasyarakatan dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem merga (klen). Merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah (1) Karo-karo, (2) Tarigan, (3) Ginting, (4) Sembiring, dan (5) Peranginangin. Kelim merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak, tetapi adakalanya merga diberikan kepada seseorang yang diabsahkan secara adat, misalnya beberapa waktu yang lalu Tengku Rizal Nurdin diberi merga Barus oleh masyarakat Karo (lebih jauh lihat Tridah Bangun 1990).
Bagi masyarakat Karo, merga sangat penting gunanya dalam kehidupan. Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta hubungannya dengan ertutur (mencari hubungan kekerabatan). Merga dan beru dipakai di belakang nama diri. Di samping itu, masyarakat Karo tidak hanya mempunyai merga atau beru saja, tetapi sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi setiap pribadi mempunyai merga atau beru dan bere-bere. Lain halnya dengan orang Karo yang melakukan kawin campuran atau kawin antaretnik.
Jika dilihat sepintas, sebagian orang beranggapan bahwa masyarakat Karo menarik garis keturunan patrilineal absolut, akan tetapi kalau diteliti lebih mendalam lagi barulah dimengerti letak kekhasan masyarakat Karo dalam menarik garis keturunannya. Mereka bukan patrilineal absolut melainkan juga menganut sedikit sistem parental (bilateral) yang menarik garis keturunan melalui ayah dan ibu sekaligus (lihat Roberto Bangun 1989).
Namun demikian, dalam pelaksanaan sehari-hari bere-bere tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam kegiatan ertutur, untuk mengetahui hubungan kekeluargaan seseorang. Walaupun masyarakat Karo mempunyai sistem parental akan tetapi yang paling penting adalah merga dan beru. Hal ini terbukti bahwa merga dan beru tetap dicantumkan setelah seseorang meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal yang lazim bagi masyarakat Karo. Oleh sebab itu setiap orang Karo mencantumkan merga dan berunya telah menunjukkan pembuktian bahwa ia orang Karo.
Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermerga sama, maka mereka disebut ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Perangin-angin.
Kekerabatan dalam masyarakat Karo disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas, jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari silsilahnya maka akan terjadi hubungan kekerabatan.
Walau pada dasarnya hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga, namun dua hal yang penting mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Karena kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dan dekatnya hubungan kekerabatan di dalam masyarakatnya.
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (1) kalimbubu, (2) anak beru, dan (3) senina. Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan: (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) sembuyak, (5) senina sipemeren, (6) senina sepengalon/sendalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri. Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut. (1) Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang. (2) Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi: a. Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung. b. Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya. c. Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan. (3) Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama. (4) Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat). (5) Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak sibaribanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara. (6) Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama. (7) Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri lagi: a. anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat. b. Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama. (8) Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Sistem Religi
Sebelum masuknya agama-agama samawiyah, masyarakat Karo mempunyai sistem religinya sendiri, yang disebut perbegu. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah ciptaan oleh Dibata, yang disebut Dibata Kaci-kaci, berjenis kelamin wanita. Dibata Kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas, tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut Sitelu. Berdasarkan tempatnya memerintah, orang Karo percaya kepada Dibata Datas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa). Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah.
Religi Perbegu mempercayai bahwa setiap orang mempunyai tendi (roh). Apabila seseorang meninggal dunia, maka tendi tersebut berubah menjadi begu. Agama perbegu di daerah Karo pada tahun 1946 diganti namanya menjadi pemena oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin. Perubahan nama ini disebabkan karena banyak mendapat tekanan-tekanan pahit dari pemerintah Belanda bersama penyiar-penyiar agama yang dibawa bangsa Eropa yang menyebut perbegu sebagai agama penyembah setan-setan (Putro 1979:32). Kini masyarakat Karo sebagian besar telah beragama Protestan, Katolik, Islam, dan Hindu.
Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan atau seni persembahan dalam kebudayaan masyarakat Karo mencakup seni musik yang lazim disebut dengan gendang, seni tari yang lazim disebut dengan landek, dan seni teater yang didukung oleh genre tembut-tembut atau gundala-gundala terutama di daerah Seberaya.
Gendang Lima Sidalanen
Dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk pemusik (musician) adalah sierjabaten, yang secara denotatif artinya adalah yang memiliki tugas. Sierjabaten terdiri dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik, dalam etnosains tradisional Karo mereka memiliki nama masing-masing, yaitu; pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggua, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho.
(A) Sarune, alat musik ini adalah sebagai pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sidalanen atau ensambel gendang sarune. Alat musik ini dapat diklasifikasikan ke dalam golongan aerofon reed ganda berbentuk konis. Sarune ini terbuat dari bahan kayu mahoni (Swetenia mahagoni) atau yang sejenisnya. Sarune ini secara taksonomis (struktrual) terdiri dari:
a. anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut,
b. tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara satu lobang nada dengan nada yang lain pada lobang sarune,
c. ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dnegan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,
d. batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang 1 ke lobang adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm.
e. gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.
B. Gendang, alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk).
Gendang singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah: a. tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang endang. Bingkainya terbuat dari bambu, b. Tali gendang lazim disebut dengan tarik gendang terbuat dari kayu nangka (Artocarpus integra sp).
Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruhan 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penampang dan penampung relatif 2 cm.
Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.
C. Gung dan penganak, yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung ini diklasifikasikan ke dalam kategori idiofon yang terbuat dari logam yang cara memainkannya digantung. Gung terbuat dari tembaga, berbentuk bundar mempunyai pencu. Gung dalam musik tradisional Karo terbagi dua yaitu gung penganak dan gung. Salah satu contoh ukuran gung penganak diameternya 15,6 cm dengan pencu 4 cm dan ketebalan sisi lingkarannya 2,8 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapis dengan karet. Gung mempunyai diameter 65 cm dengan pencu berdiameter 15 cm dan tebal sisi lingkarannya 10 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi karet.
Landek
Istilah landek dalam bahasa Karo adalah memiliki denotasi yang hampir sama dengan tari dalam bahasa Indonesia. Menurut masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang dengan orang lain di dalam kehidupan sosialnya.
Menurut Bujur Sitepu secara garis besar tari Karo dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu; 1. tari religius, 2. Tari adat, dan 3. tari muda-mudi. Di antara tari religius adalah: tari guru, mulih-mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut. Tari-tarian tersebut biasanya dibawakan oleh golongan dukun atau guru. Tarian adat biasanya dilakukan pada upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah golongan keluarga dekat, antara lain anak beru, kalimbubu, dan sanina. Jadi tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan penuh penghormatan.
Pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tak begitu mengikat. hanya usaha untuk menunjukkan kelincahan dan keindahan menari. Tari ini lebih menekankan fungsi hiburannya, oleh karena itu sering dilakukan bersama-sama dengan perkolong-kolong dengan membentuk pasangan menari.
Dalam setiap aktivitas tari di Karo, baik tari religius, adat, maupun muda-mudi, terdapat tiga aspek pokok berkaitan dengan gerak tari. Ketiga aspek ini dapat dikategorikan sebagai unsur pembentuk tari Karo, yaitu gerak: endek (turun dan naik), jole (yaitu goyang badan), dan lampir tan (yaitu lentik jari).
Sedangkan geseran kaki, gerak pinggang, dan main mata biasanya tidak banyak dieksplorasi dan diperkenankan menurut norma adat istiadat Karo, karena dipandang tidak sopan. Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya Karo dalam konteks global. Di antara makna-makna perlambangan dalam tari Karo adalah sebagai berikut.
1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum terbuat,
2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu,
3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, ataupun tak kenal maka ta sayang,
4. gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,
5. gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,
6. gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,
7. gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,
8. gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, 9. gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.
bersambung ke Teater Tembut-tembut
Sumber : Harian Waspada
Etnomusikologian.wordpress.com
bersambung ke Teater Tembut-tembut
Sumber : Harian Waspada
Etnomusikologian.wordpress.com
Comments