Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2011

Padung-padung

Perhiasan perempuan Karo jaman dulu salah satunya adalah bernama "Padung-padung." Anting-anting yang terbuat dari perak dan terkadang emas ini panjangnya berkisar 15,5 cm. (sumber klik ) dan beratnya berkisar 2 Kg (sumber klik ). Namun karena disangkutkan juga ke tudung atau kain penutup kepala, maka beban telinga jadi berkurang. Berikut foto-foto serta pemakaiannya :  

Video : "Mencangkul" di Tanah Karo (1925)

Persiapan lahan tanah dengan menggunakan tongkat runcing. Primitieve oorspronkelijke grondbewerking met puntige stokken Bij de Bataks was een groot deel van de bewerking van de (sawah)gronden in handen van de vrouwen. De tamelijk dichtbevolkte Batakhoogvlakte was al in de 19e eeuw grotendeels ontbost, zodat ladangbouw er niet meer mogelijk was. De rijst teelt werd hier dan ook grotendeels op sawahs bedreven. Voor grondbewerking had men vaak buffels (karbouwen) die een ploeg trokken of de al natte grond met hun poten tot een gelijkmatige brei omwoelden. Waren er geen buffels (of waren de regens laat), dan werd de grond met de hak bewerkt. Op Sumatra sprak men van 'tjankollen' (van cangkul), op Java (meestal) van 'patjollen' (pacul). (P. Boomgaard, 2001). Tjangkollen door vrouwen, Karo-Hoogvlakte date : 1914-1919 Source : Tropenmuseum

Foto Berwarna Karo Siadi (1930)

Bila selama ini kita selalu menemukan foto-foto hitam putih akan keberadaan masa lalu masyarakat Karo, maka kali ini dapat dilihat dalam foto-foto yang berwarna. Tehnik  untuk menghasilkan foto berwarna awalnya dikenal dengan sebutan Autochrome process. Dan teknik ini telah ditemukan sejak tahun 1907 walau dengan biaya mahal dan warna belum begitu sempurna. Dalam majalah  National Geographic   Febuari 1930 , ditemukan foto-foto berwarna masyarakat Karo yang dihasilkan dengan memakai lensa positif Autochrome oleh W. Robert Moore . Berikut foto-foto dan keterangannya : A young Karo woman sits on a rock, dressed in traditional clothing. Location:              Sumatra, Indonesia. Photographer:  W. ROBERT MOORE/National Geographic Stock Dignity distinguishes the Karo Girl. This young woman has a clear complexion, large brown eyes, and regular features, but her mouth has been marred by the chipping or filing of her teeth to the level of her gums. She wears a costume of

Karo Tahun 1920 dalam Majalah National Geograpic (bagian 3)

A Sumatran family stands outside their large communal house. Location:              Kampong Kinalang, Sumatra, Indonesia. Photographer:  MELVIN A. HALL/National Geographic Stock Perhatikan atap jerami tertambat, membangkitkan ingatan vila-vila batu di Swiss. Banyak rumah di desa-desa Sumatera berkarakter komunal, tiga atau empat keluarga yang tinggal di tempat tinggal yang sama. Di tempat-tempat di mana penduduk asli telah melakukan kontak dengan Belanda, interior rumah mereka tanpa peralatan modren, seperti tempat tidur, bantal, dan kanopi. Namun rumah-rumah ini lebih nyaman dibandingkan dengan setiap orang lain di Hindia Belanda. Note the means by wich the thatched roof is anchored, awakening recollections of the stone-weighted chalets of Switzerland. many of the houses in Sumatran villages are communal in character, three or four families living in the same dwelling. In places where the natives have come in contact with the Dutch, the interiors of their homes are n

Karo Tahun 1920 dalam Majalah National Geographic (bagian 2)

Perempuan membantu membangun Women help build a structure around a Sumatran (KARO) village. Location:              Sumatra, Indonesia. Photographer:  MELVIN A. HALL/National Geographic Stock Seorang perempuan muda Sumatera (KARO) membawa sebuah kemasan di kepalanya. A young Sumatran (KARO) woman carries a bundle upon her head in the street. Location:              Sumatra, Indonesia. Photographer:  MELVIN A. HALL/National Geographic Stock I bu muda Sumatra (KARO) selalu mengenakan anting-anting perak. Much significance attaches to the wearing of earrings in the island. Young girls wear them or not, as they choose. Upon marriage the bride must wear the big silver buttons, much after the fashion of our wedding rings. After the birth of the first child or when five years have elapsed, she must remove them. The sagging, buttonless ears of the old women are among their ugliest features. A Sumatran (KARO) woman walks along her bamboo porch. Location:  

Karo Tahun 1920 dalam Majalah National Geographic (bagian 1)

Majalah National Geographic  pernah memuat tulisan, "By Motor Through The East Coast and Batak Higlands of Sumatra" yang ditulis oleh Melvin A. Hall. Majalah ini adalah volume XXXVII Januari 1920 .  Melvin menembus Sumatera menuju Dataran Tinggi Tanah Karo dengan sepeda motornya. Berikut ini 28 foto yang dimuat dalam edisi tersebut. Foto-foto ini adalah hasil jepretan Melvin A. Hall sepanjang perjalanannya, berikut urutan fotonya dan beberapa kalimat tanggapan Melivin A. Hall : Majalah  National Geographic   volume  XXXVII Januari 1920 . A Sumatran caravan makes its way through the highlands Photographer:  MELVIN A. HALL/National Geographic Stock Iringan angkutan memasuki dataran tinggi, di latar belakang terlihat Gunung Sibayak yang merupakan salah satu gunung berapi.  Jalan yang baik hampir tidak dikenal di wilayah sentral sumatra, tapi sepanjang kedua pantai timur dan barat ada dapat ditemukan jalan raya seperti ini, mobil dan motor tidak lagi me

Upacara Muncang di Dusun Namo Rindang, Kec. Sibiru-biru, Kab. Deli Serdang

Oleh Cox Haleluya Dusun Namo Rindang, Desa Mbarue, Kecamatan sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang mengadakan ritual muncang yang diadakan di Balai Desa Mbarue pada hari Jumat (28/10/2011). Acara Muncang ini merupakan sebuah upacara ritual yang dilakukan sebagai wujud penghargaan kepada leluhur kampung dan juga sebagai ajang membersihkan kampung dari roh-roh jahat. Kegiatan ini dilakukan warga setelah mengadakan rapat desa karena adanya seorang warga yang mengaku mendapat perintah dari leluhur mereka melalui mimpi agar melakukan upacara ritual ini. Mereka menamakan leluhur mereka tersebut dengan sebutan Datuk. Sebelum upacara dimulai warga terlebih dahulu membersihkan makam leluhur yang terletak di kawasan desa tersebut. Setelah itu warga bersama-sama menuju makam dan mengelilingi makam sambil menarikan dikkar , sebuah tarian masyarakat Karo yang gerakannya seperti gerakan silat dan dipimpin oleh 2 orang guru , sebutan bagi seseorang yang menjadi mediator antara ro

Kuta Kalak Karo

Pengangkatan Sibayak Sarinembah

Pengangkatan Sibayak Sarinembah, November 1926. Sumber foto : Tropenmuseum Tamu dari Eropah saat pengangkatan Sibayak Sarinembah Tamu pesta dengan latar belakang gunung Sinabung (Feestgangers tijdens de benoeming van de Sibayak van Sarinembah, met op de achtergrond de vulkaan Sinabung) Seorang pawang hujan selama perayaan untuk menandai pengangkatan Sibayak Sarinembah (Een regenbezweerder tijdens de feesten ter gelegenheid van de benoeming van de Sibayak van Sarinembah) Pidato oleh inspektur upacara saat Pengangkatan Sibayak Sarinembah. (Toespraak van de controleur tijdens de benoeming van de Sibayak van Sarinembah)

Perkawinan Putra Sibayak Lingga

Perkawinan Putra Sibayak Lingga, 18 April 1927. Sumber foto : Tropenmuseum Saat pernikahan  ditampilkan si Gale-gale dari Toba Tijdens het huwelijksfeest van de zoon van de raja van Lingga geven marionetten uit Toba een voorstelling, Karo, Noord-Sumatra Een boeienkoning danst tijdens het huwelijksfeest van de zoon van de raja van Lingga, Karo, Noord-Sumatra Guru-guru Karo dengan tongkatnya di pernikahan anak Sibayak Lingga Karo-goeroe's met toverstaven geven een presentatie tijdens het huwelijksfeest van de zoon van de raja van Lingga, Karo, Noord-Sumatra Pa Sendi dan keluarga berada dalam panggung/tenda khusus  Het huwelijksfeest van de zoon van de raja van Lingga wordt gevierd in een bruiloftstent, waarin het bruidspaar Pasendi in de opening is te zien, Karo, Sumatra Pa Sendi, Sibayak Lingga berserta istri dan keluarga Date : 1914-1919 Source  : Tropenmuseum Author  : T. (Tassilo) Adam (Fotograaf/photographer).

Peran Pa Mbelgah, Pa Sendi hingga Pa 'Kelewet

Pada akhir abad ke-19, orang terkemuka dari pedalaman Pesisir Timur adalah pemimpin-pemimpin tradisional yang terkenal berkat wewenang dan ketangguhan bersenjata mereka. Ketika Kruijt melakukan perjalanan eksplorasi untuk tinggal di Dusun tahun 1890 , penduduk Buluh Hawar berpikir bahwa ia pasti akan menemui Pak Mbelgah, (1) sibayak Kabanjahe. Reputasi Pa Mbelgah sebagai pria kuat, kokoh, berani, pandai memimpin dan bertindak, tampaknya sudah terkenal dari Dusun sampai urung Tran di dataran tinggi, di kaki gunung Sinabung. Kemasyhurannya ini terutama diperoleh berkat kemenangan yang baru didapatnya atas sebuah pasukan dari Aceh . Ia dikabarkan telah membunuh dengan tangannya sendiri empat orang Aceh, satu diantaranya seorang tengku .(2) (Silahkan baca tulisan lainnya tentang Pa Mbelgah Klik ) Ketika dataran tinggi di utara Danau Toba dimasukkan dalam wilayah pemerintahan kolonial tahun 1907, tampaknya sibayak Lingga, Pa Sendi, adalah yang paling terlibat dalam kerjasama den

Kecemasan di Awal 1920 : Usaha Pelestarian Adat Istiadat dan Bahasa Karo

Pelestarian Adat Istiadat dan Bahasa Bagi penduduk asli, paling tidak sejak 1918, sudah ada perasaan bahwa memiliki aksara sendiri adalah suatu tanda “bangsa” yang maju. (1) Bulan Oktober 1924, sebuah tulisan menyatakan bahwa “bangsa Karo” kaya, karena memiliki sebuah bahasa, sebuah adat dan sebuah aksara. Akan tetapi “miskin dan tidak layak, karena tidak menggunakan atau menghormatinya ketiganya.” (2) Sebelumnya awal tahun 1920, seorang koresponden koran Pewarta Deli menyesalkan bahwa bangsa Karo Langkat Hulu membiarkan sebuah “bangsa” lain mengurus perdagangan hasil pertaniannya. Bagi penulis ini, hal itu adalah bukti bahwa “bangsa” ketinggalan dan menjelaskan reputasi buruk bangsa Karo Langkat Hulu di mata “bangsa-bangsa” lain. (3) Ini terjadi semenjak Agustus 1916, banyak orang Melayu di Labuhandeli memutuskan untuk menjual tanah mereka kepada orang Tionghoa dan kemudian menetap di Langkat, dekat Tanjungpura. Beberapa bulan kemudian, gelombang penjualan, yang bahkan

Tentang Pa Mbelgah

Pa Mbelgah Oleh Ita Kaban Dalam buku “Sejarah Karo dari zaman ke zaman” karya Brahma Putro (Kongsi Brahmana) terbitan tahun 1979, pada jilid ke-3 (dari 5 jilid) ada dituliskan riwayat Pa Pelita Purba dan Pa Mbelgah Purba. Berikut sekelumit kisah dari beberapa halaman dari buku tersebut : Dalam tahun 1895 sepasukan Laskar Simbisa dari Urung XII Kuta Kabanjahe pimpinan Sibayak Pa Mbelgah dan Sibayak Pa Landas , turun ke Liang Muda, membantu rakyat yang sedang melawan Kompeni Belanda dan tentara Sultan Serdang. Lalu terjadi voorcontak antara pasukan Sibayak Pa Mbelgah dengan tentara Sultan Serdang dan militer Belanda. Pertempuran berlangsung beberapa hari dengan serunya. Di Liang Muda, ada sampai sekarang tumbuh sepohon kayu ‘Cingkam’, separoh batangnya sebelah atas sudah putus karena gencarnya tembakan-tembakan pasukan Sibayak Pa Mbelgah. Mengenai Perang Liang Muda ini, T.Lukman Sinar , SH menerangkan dalam bukunya “Sari Sejarah Serdang” , antara lain sebagai b

Karo, 1915