Laki-laki separoh baya itu digiring ke rumah pamanku. Dia menunduk malu dengan wajah bengkak bekas tonjokan, dan luka lecet disana sini. Dalam sekejab beranda rumah paman sudah dipenuhi orang-orang kampung yang ingin tahu. Seorang laki-laki berusia kira-kira tiga puluhan maju menghadap paman, menceritakan peristiwa yang terjadi dengan suara bergetar penuh emosi.
Beberapa waktu belakangan ini dia menaruh curiga pada sang
isteri yang bertingkah laku tidak seperti biasanya dan menurut bisik-bisik
tetangga, sang istri ada ‘main’ dengan laki-laki separoh baya yang juga sudah
beristri dan beranak pinak itu. Sang suami yang bekerja sebagai buruh, setiap
pagi berangkat bekerja menderes pohon-pohon karet milik perkebunan PT Lonsum (PT London Sumatera).
Hari itu dia bekerja dengan hati gelisah, timbul
kecurigaannya apakah laki-laki separoh baya itu sedang melakukan pertemuan
sembunyi-sembunyi dengan sang istri yang sekarang tinggal sendirian di rumah?
Sang suami minta ijin pada mandor untuk pulang kerumah sebentar, dan
kecurigaannya pun terbukti, sang istri sedang……………………………………. (waktu itu aku masih kecil jadi gak paham
istilah ............, emangnya lagi ngapain? :)) Kejadian berikutnya… anda
tentu sudah bisa membayangkan dan melanjutkan ceritanya sendiri, hehehe...
Kampung itu terletak di tengah perkebunan karet milik PT
Lonsum di daerah Langkat. Kakek buyut emakku dari Tanah Karo yang
pertama kali merantau dan membuka hutan di daerah itu. Semua suku Karo yang
mendiami kampung masih ada hubungan saudara. Setiap kepala keluarga mempunyai
lahan lumayan cukup untuk di tanami karet, cengkeh, padi atau tanaman lainnya. Suku Karo mendiami sepanjang sisi jalan
dengan berbagai model rumah.
Ada rumah panggung seperti rumah-rumah orang Melayu/Deli,
model rumah agak modern berjendela kaca atau model rumah toko/ruko.
Berseberangan dengan kediaman suku Karo terdapat perumahan buruh perkebunan
yang disebut dengan istilah “Pondok”. Perumahan ini terbuat dari papan dengan
model seragam, tersusun rapi di sepanjang sisi jalan berjajar ke belakang.
Pada umumnya buruh perkebunan ini anak keturunan para “Koeli kontrak” yang di datangkan dari
Jawa pada jaman kolonial untuk dipekerjakan di “Onderneming” tembakau di
tanah Deli. Pola perikatan kerja tempo dulu yang disebut “Koeli kontrak” memaksa secara tidak langsung para koeli untuk
“betah” tinggal di “Onderneming”. Karena kenyataannya mereka lebih banyak
berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada tabungan untuk modal
beralih ke pekerjaan lain, untuk membeli rumah, kebun atau pulang ke kampung
halaman.
Perkampungan Karo di Namorambe
(Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890
|
Cara yang ditempuh untuk mempertahankan kelangsungan hidup
adalah menyetujui “rekruitmen” warisan melanjutkan “sistem kontrak”. Anak para
koeli yang hidup pas-pasan dan dibesarkan dalam kondisi yang jauh dari
kecukupan, sejak kecil sudah harus membantu orang-tuanya mencari uang dengan
memetik tembakau. Sehingga nasib mereka pun sama seperti generasi orang-tuanya,
setelah menginjak dewasa menjadi koeli sampai kepada keturunan mereka sekarang
menjadi buruh di perkebunan-perkebunan, salah satunya di perkebunan milik PT
Lonsum di kampung emakku.
Pamanku adalah kepala
kampung yang
tugasnya antara lain menyelesaikan
masalah-masalah yang menimpa warganya. Masalah pencurian, pertikaian kecil
atau perselingkuhan kadang mewarnai kehidupan di kampung itu yang melibatkan
dua suku, tapi tidak pernah sampai
menimbulkan perselisihan antara suku Karo dan Jawa. Dalam banyak hal justru
kedua suku ini saling bantu dan dukung.
Paman mengambil orang-orang pondok untuk mengurus kebunnya
dan menganggap mereka sudah seperti keluarga sendiri. Paman juga punya toko
kelontong yang menyediakan segala kebutuhan sehari-hari. Orang-orang ‘Pondok’
belanja di toko paman dan biasanya membayarnya setelah gajian. Di ujung pondok
ada bangunan cukup besar tanpa dinding, dilengkapi panggung dan ruang ganti.
Pada saat gajian atau pada peringatan-peringatan hari besar
disitu digelar pasar yang menjual segala macam barang, mainan anak-anak,
makanan, juga menampilkan berbagai kesenian secara bergilir seperti Ketoprak, Ronggeng, Ludruk atau Wayang.
Saudara-saudara sepupuku yang kost dan sekolah di kota biasanya pulang, ikut
menggelar dagangan untuk menambah uang jajan. Mereka juga sudah sangat akrab
dengan kesenian-kesenian ini, bahkan bisa begadang semalam suntuk untuk menyaksikan
pegelaran wayang.
Dikampung yang didiami suku Karo masih ada bekas sisa-sisa
kepercayaan lama yang lazim disebut, Pemena,
Pelbegu dan lain-lain. Ini terlihat dari diselenggarakannya secara rutin
upacara-upacara yang berhubungan dengan roh-roh atau tendi. Seperti dalam
upacara “Erpangir ku Lau” yaitu
upacara untuk memulihkan rezeki dengan berlangir ke sungai.
“Ndilo Tendi” adalah pemanggilan tendi dari orang
yang dianggap telah mengembara. Upacara
Pe (te) rumah Nini’, yang kurang lebih merupakan upacara pemanggilan roh nenek
moyang untuk memasuki raga Guru si Baso, sehingga si nini bisa berdialog dengan
keturunannya. Upacara-upacara sedemikian, lengkap diikuti dengan segala
macam “Sesajen” dan menampilkan seni musik Karo tradisionil. Pada malam harinya
ada acara ‘’Guro guro Aron” semalam
suntuk, kesempatan untuk bujang dan gadis berkenalan atau ikut ‘’Landek” dan
“Rende” ( menari dan menyanyi). Pada saat acara-acara seperti ini, orang-orang
yang tinggal di pondok bergabung dengan masyarakat Karo, ikut menyaksikan
sebagai hiburan yang menyenangkan.
Sekarang kampung emakku
sudah sepi. Sejak
paman dan istrinya meninggal, rumah kosong karena anak-anaknya semua hidup di
perantauan. Begitu juga dengan keturunan dari keluarga Karo lainnya, banyak
yang pergi merantau meninggalkan kampung. Upacara-upacara
tidak pernah lagi diselenggarakan kecuali “Guro guro Aron” karena hampir semua
suku Karo yang mendiami kampung itu sudah menganut agama Islam. “Pondok”
yang berseberangan dengan kampung pun sudah berubah menjadi kebun kelapa sawit.
Semoga saja dengan semakin luasnya kebun, buruhnya pun ikut terkena imbas,
taraf kehidupannya semakin meningkat. Semoga…..
‘Tiara’ b lampung 27 maret 2010
Comments