Skip to main content

Seni Tari dan Seni Pahat Karo (bagian 2)


3. Seni Tari
Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian  Landek sangat kontekstual. Dengan  kata lain, keberadaan  Landek ditentukan dengan  konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambanganperlambangan dan makna-makna tertentu.

Adapun beberapa makna gerakan dalam  Landek  masyarakat Karo adalah sebagai berikut:
1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan  tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.
2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.
3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,
4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,
5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,
6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan  beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,
7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,
8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan
9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Penyajian  Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Konteks penyajian dalam adat istiadat
2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan
3. Konteks penyajian untuk hiburan.

Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan  ole atau  jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari).


Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam  permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi  endek dalam kaitannya dengan  buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau  pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau  pengodak, unsur  endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus  tetap terlihat, Maksudnya,  ketika penari melakukan  odak (melangkah),  penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik.

Sementara itu, Ole  atau  jemolah jemole  merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi  gung dan  penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan  endek,  odak, maupun  ole. Sedangkan, unsur-unsur  lempir tan maupun  ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari.  Lempir tan diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya  ketika  posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan  pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi.

Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, kerana dianggap tidak sopan dan melanggar norma-norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau  odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau  ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.

Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian  secara otomatis  terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global.

Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya  dibedakan  dalam tiga bagian, yaitu:

3.1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal
Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah  upacara  memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok  sukut (pemilik  hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari  dengan  posisi berhadap-hadapan. Bagi kelompok  sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat.

Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini  merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.

3.2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual
Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual.  Tari yang dibawakan oleh  Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat  (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya.

Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh  Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang  guru (dukun) memimpin upacara,  biasanya beliau memanggil jinujung-nya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirinya. Sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada  umumnya.
Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).

3.3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan
Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah:  Tari pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis, dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap.

Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar  (tari pencak silat),  Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang  Perkolong-kolong  dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

4. Seni Pahat (Ukir)
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang  “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan  sebagai media yang kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan.

Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja.  Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai  sesuatu yang memiliki  nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni.

Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain:
• Pada bangunan tradisional Karo  seperti  rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron,
• Pada benda-benda pecah-belah  seperti  gantang beru-beru, cimba lau, abalabal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan
• Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta
• Ukiran pada berbagai benda perhiasan  seperti  gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya.

Beberapa jenis pola dan gambar ukiran masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan.

• Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu)
Motif  : Terdiri dari bermacam-macam motif yang bergabung yaitu: Bunga Gundur, Duri Ikan, Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak-anjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala.
Fungsi  : Tolak bala / hiasan
Tempat : Pada anyaman ayo-ayo rumah adat.

• Ukiran pada Piso Tumbuk Lada


• Anyaman pada Gapura Makam Pahlawan Kabanjahe

• Tapak Raja Sulaiman
Motif :Geometris
Pelambang :Tolak bala
Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka


• Bindu Matagah

Motif : Geometris
Fungsi  : Tolak bala
Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

• Pahai
Motif : Geometris
Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken
Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl

• Bindu Matoguh
Motif : Geometris
Pelambang : Tolak bala
Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

• Lukisan Suki
Motif : Geometris
Pelambang : Hiasan
Tempat : Ujung kiri dan kanan Melmelen

Bila dilihat dari bentuk  dan  nama ukiran Karo tersebut, beberapa diantaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kitekite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing,  Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole,  Surat buta,  Pengretret,  Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu-kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk kerbau payung,  Bunga gundur,  Raja Sulaiman,  Bunga lawang,  Tudung teger, Lukisan umang, Lukisan para-para (gundur mangalata), Embun sikawiten II, Tulak paku, Lukisan kurung tendi, Osar-osar, Ukiren sisik kaperas, Galumbang sitepuken, Ukiren kaba-kaba, Likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.


Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu