Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2018

Dari Pacuan Kuda Hingga Pacuan Adu Nasib di Tuntungan (1972)

Ilustrasi Pacuan Kuda (sumber foto : Unsplash.com ) Awal bulan Mei tahun 1972, Medan mempunyai arena pacuan kuda baru yang diresmikan oleh Gubernur Marah Halim . Letaknya di Tuntungan. Sebenarnya di jaman kolonial Belanda pun, Medan sudah punya arena pacuan kuda. Pada tahun 1898, Medan sudah memiliki Race Baan (Arena Balap) untuk pacuan kuda. Lokasinya berada di sebelah kanan dari Lapangan Esplanade (sekarang dinamakan Lapangan Merdeka ).   Kala itu, setiap 2 kali setahun diadakan perlombaan pacuan kuda.   Race Baan tahun 1898 di Medan (sumber : tembakaudeli.blogspot.com ) Arena pacuan kuda baru yang berada di Tuntungan ini dulunnja adalah milik Kodam II Bukit Barisan dan kini sudah dirubah namanya   menjadi Medan Racing Company (MRC). MRC adalah hasil kerjasama antara Hewett, Spicer & Selman (HSS) dari Australia dengan PT. Peternakan Sumut   yang dipimpin   oleh Kolonel Nelang Sembiring . MRC didirikan sebagai upaya   dari maksud untuk menarik

Keyakinan Besar Monang Sinulingga (1972)

Master-Master Cari Sponsor. Majalah Tempo, Sabtu, 8 Juli 1972. Begitu matanja melek, pagi itu djuga sasarannja ke kedai kopi. Disitu ia membentang papan tjatur. Di Tanah Karo, ini konon berarti tantangan jang demi kehormatan (adat) harus didjawab pula. Dan seperti biasa, ada sadja jang mau meladeni tantangan itu. Pada saat itulah Monang Sinulingga tidak menunggu lebih lama untuk memesan setjangkir kopi dan sepiring nasi. Persoalan perutpun pagi itu teratasi oleh pertaruhan jang dimenangkan Monang terhadap lawannja. Tanpa disadari, pola kehidupan jang didjalankan Monang sedjak 1961 merupakan awal dari satu proses jang mengangkat dirinja ke- echelon tertinggi dunia tjatur Indonesia - setelah setjara kebetulan pemuda 26 tahun asal Namutrasi (Kabupaten Langkat) ini diberi kesempatan mewakili Tanah Karo ke kedjuaraan Sumatera Utara. Buku. Apa jang membikin Monang tjepat melondjak bukan karena teori dari buku-buku tjatur. Sebab "di Tanah Karo mana ada buk

Orang Karo dan Kebanggaannya

Gambar President Taxi. Orang Karo dan Kebanggaannya. Oleh Abdurrahman Wahid. Majalah Tempo, Sabtu, 13 Agustus 1983. Sehari-hari ia mangkal di depan terminal bis kota Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Taksi yang dikemudikannya bercat kuning tua, dan ia sendiri memakai seragam biru, "baju kebesaran" sopir President Taxi. Raut wajahnya mengeras, buah pergulatan tidak berkeputusan dengan kehidupan, terombang-ambing antara keharusan memenuhi uang setoran dan tuntutan kebutuhan rumah tangga. Dan begitu taksi, bergerak, segera beralun sebuah lagu merdu dari cassette recorder . Tancap! .... Dibawanya kendaraan asuhannya dengan santai. Lagu yang berkumandang bukan lagu Barat, bukan pula irama dangdut. "Lagu daerah saya sendiri Pak! Hitung-hitung obat rindu. Tidak dapat pulang ke kampung tahun ini." Dilanjutkannya, lagu itu dibawakan seorang penyanyi remaja yang baru mulai manggung di Medan, bernama Agustino Tarigan. Saya komentari bahwa suaranya