Gambar President Taxi. |
Orang Karo dan Kebanggaannya.
Oleh Abdurrahman Wahid.
Majalah Tempo, Sabtu, 13 Agustus
1983.
Sehari-hari ia mangkal di depan
terminal bis kota Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Taksi yang dikemudikannya
bercat kuning tua, dan ia sendiri memakai seragam biru, "baju
kebesaran" sopir President Taxi. Raut wajahnya mengeras, buah pergulatan
tidak berkeputusan dengan kehidupan, terombang-ambing antara keharusan memenuhi
uang setoran dan tuntutan kebutuhan rumah tangga.
Dan begitu taksi, bergerak,
segera beralun sebuah lagu merdu dari cassette
recorder. Tancap! .... Dibawanya kendaraan asuhannya dengan santai. Lagu
yang berkumandang bukan lagu Barat, bukan pula irama dangdut. "Lagu daerah
saya sendiri Pak! Hitung-hitung obat rindu. Tidak dapat pulang ke kampung tahun
ini."
Dilanjutkannya, lagu itu dibawakan
seorang penyanyi remaja yang baru mulai manggung di Medan, bernama Agustino
Tarigan. Saya komentari bahwa suaranya bagus, bakatnya besar, dengan back up aransemen musik yang baik. Masa
depannya cukup punya harapan. "Lagunya diciptakan kakaknya sendiri Pak,
Hosea Tarigan," sahutnya -- dengan bangga. "Benar-benar satu kampung
Pak! Dulu saya tinggalkan masih kecil."
Ketika seorang biduanita
membawakan sebuah lagu yang terasa cengeng di telinga saya, tanpa ragu-ragu ia
menyatakan: "Ini suara Ermawati, Pak. Sudah tua dia, anaknya sudah dua.
Suaminya juga penyanyi. Sudah tua juga." Ia memang tak memberi batasan
jelas antara golongan tua dan golongan muda dalam blantika musik pop daerah.
Di sela-sela berkumandangnya
serangkaian lagu Karo dalam perjalanan sekitar setengah jam itu, terungkaplah
drama sosial yang menarik hati. Itu bermula dari pengakuan akan beratnya
perjuangan hidup. "Bayangkan, Pak, sering tidak bisa bawa uang lebih
seribu perak ke rumah. Padahal sudah bekerja dari pagi sampai pukul sepuluh
malam!"
Ketika ditanya mengapa, ia
bukannya menjawab akibat resesi ekonomi -- yang mungkin jauh di luar jangkauan
pengertiannya. Juga bukan karena "muatan sepi". Atau karena orang
malas keluar malam -- maklum bulan puasa waktu itu. Walhasil bukan jawaban
konvensional. Lalu apa? "Karena memang sudah begini nasib orang Karo,
Pak!"
Seolah-olah berbau "rumusan
theologis" ! Adakah Tuhan bertindak pilih kasih, memberikan rezeki
berlebih kepada orang lain dan sisanya yang tak mencukupi kepada orang Karo?
Mengapa orang Karo harus menjalani hukuman seperti itu di dunia ini?
Orang Karo ternyata punya
pembawaan yang sebenarnya baik sekali: senang kendaraan bermotor. Sejak kecil
mereka sudah terbiasa mencintai mobil, truk, dan bis. "Lebih enam puluh
persen orang Karo menjadi sopir, Pak. Mereka tidak tahan bekerja dengan diam di
satu tempat saja. Harus berkeliling dengan kendaraan, baru puas." Sebuah
kecenderungan profesional yang tidak kalah mulia dari kecenderungan pandai
emas, perajin ukiran kayu maupun pembuat sepatu Cibaduyut.
"Orang Karo, yang sudah
berpangkat atau memiliki kekayaan berlimpah, tentu punya sebuah kendaraan tua.
Hanya untuk meluruskan pikirannya saja, Pak!" Sungguh mati, ungkapan itu
hak paten sang sopir taksi. Kalau ia bilang "mengembangkan intelektualitasnya",
tentu saya juga akan pingsan mendengarnya.
Kendaraan tua atau bekas, sekadar
untuk melepaskan keinginan memelihara mesin dan merawat onderdil mobil!
"Mungkin, yang jadi jenderal juga masih begitu, Pak." Siapa saja
orang Karo yang jadi jenderal? "Ada juga, Pak. Seperti Djamin Ginting,
Selamat Ginting. Juga yang namanya Sitepu, dari kepolisian." Sudah tentu
sulit dibuktikan, benarkah rata-rata orang Karo yang berpangkat dan kaya punya
mobil tua.
Kisah sopir itu menunjukkan
sebuah aspek menonjol dalam kehidupan kita. Yakni, tidak bersambungnya beberapa
bagian dari apa yang secara umum dapat dinamai 'proses modernisasi'.
Di satu pihak abad ini membawakan
sebuah sisi sangat positif: penumbuhan sikap menghargai kerja profesional.
Bahwa di pedalaman Pulau Sumatera ada masyarakat yang begitu cinta kendaraan
bermotor, dan menjadikan dunia permotoran sebagai tumpuan perhatian
profesional, tak terbayangkan tanpa adanya modernisasi. Penghargaan kepada
mesin, keterampilan dan mobilitas fisik sebagai akibat logis dari kecintaan
itu, tentunya bukan sesuatu yang negatif.
Namun proses modernisasi juga
membawakan aspek lain, yang dapat berakibat negatif bagi sekelompok masyarakat.
Yakni: keharusan mengembangkan modernitas yang semula dimiliki itu menjadi
sebuah kekuatan sosial-ekonomis yang cukup tangguh untuk bersaing. Dalam kasus
orang Karo, kalau benar laporan sopir kita, keterampilan mengendarai dan
merawat mesin mobil tetnyata tidak berkembang lebih jauh -- umpamanya menjadi
keterampilan mengelola usaha permotoran di semua tempat mukim mereka.
Berapa banyakkah kenyataan
seperti ini, kesenjangan antara modernitas 'semula' dan kenyataan keras setelah
adanya tuntutan modernitas 'susulan', didatangkan dan dikaji secara mendalam?
Kalau telah ada kajian pendahuluan, sudah sampai seberapa jauh kesimpulan yang
ditarik dijadikan pertimbangan utama dalam penentuan kebijaksanaan
ketenagakerjaan? Rasa-rasanya, tanpa kemampuan menelusuri kenyataan seperti
'kasus orang Karo' (tingkat bawah) itu secara tuntas, tak akan banyak dapat dilakukan
untuk membenahi masalah itu.
Ternyata kebanggaan orang Karo
patut direnungkan Pak Domo dan Pak Nugroho. Karena masalahnya tak dapat
ditangani dari rumusan-rumusan abstrak belaka seperti Hubungan Kerja Pancasila
dan Humaniora.
Orang Karo dan Kebanggaannya
Oleh Abdurrahman Wahid
Majalah Tempo, Sabtu, 13 Agustus
1983
|
Comments