Skip to main content

Tentang Pa Mbelgah


Pa Mbelgah
Oleh Ita Kaban

Dalam buku “Sejarah Karo dari zaman ke zaman” karya Brahma Putro (Kongsi Brahmana) terbitan tahun 1979, pada jilid ke-3 (dari 5 jilid) ada dituliskan riwayat Pa Pelita Purba dan Pa Mbelgah Purba. Berikut sekelumit kisah dari beberapa halaman dari buku tersebut :

Dalam tahun 1895 sepasukan Laskar Simbisa dari Urung XII Kuta Kabanjahe pimpinan Sibayak Pa Mbelgah dan Sibayak Pa Landas, turun ke Liang Muda, membantu rakyat yang sedang melawan Kompeni Belanda dan tentara Sultan Serdang.

Lalu terjadi voorcontak antara pasukan Sibayak Pa Mbelgah dengan tentara Sultan Serdang dan militer Belanda. Pertempuran berlangsung beberapa hari dengan serunya. Di Liang Muda, ada sampai sekarang tumbuh sepohon kayu ‘Cingkam’, separoh batangnya sebelah atas sudah putus karena gencarnya tembakan-tembakan pasukan Sibayak Pa Mbelgah.

Mengenai Perang Liang Muda ini, T.Lukman Sinar , SH menerangkan dalam bukunya “Sari Sejarah Serdang”, antara lain sebagai berikut :

“Di dalam tahun 1895 terjadi suatu perselisihan di antara perbapaan (kepala daerah dusun) Liang dengan perbapaan dari Bakbak (Bahbah BP), dimana yang pertama ini di pimpin oleh seorang petualang dari Tanah Karo yang bernama Pa Mbelgah ….

Pa Mbelgah
Nama Sibayak Pa Mbelgah raja besar dari Tanah Tinggi Karo itu, sangat termashur di daerah Sinambah Tanjung Muda Hulu dan HIlir, di Deli, Langkat Hulu. Kegagahan, keperkasaan serta kewibawaan Sibayak Pa Mbelgah tidak ada tandingannya dalam raja-raja di Karo di waktu itu, namun suatu sesalan sejarah telah terlukis olehnya, karena menjelang akhir tahun 1902 Sibayak Pa Mbelgah yang gagah perkasa dan saudaranya Sibayak Pa Pelita yang ulung berdiplomasi itu, bekerjasama dengan pihak pemerintah Belanda.

Rumah Pa Mbelgah
Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda dapat memahami dan mengerti tentang psikologi orang Karo yang berwatak orisinil, kepala batu, pantang dihina oleh siapapun. Tetapi dibalik itu hatinya berdenyut selembut kapas putih, bila mana orang-orang berbuat baik, dan cepat mengerti. Oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda dalam memperluas jajahannya , memakai dua sistem siasat. Satu dengan kekerasan senjata, dan satu sistem lagi dengan cara menebarkan ajaran kerohanian, terutama ajaran Calvinis atau Lutheran. Menebarkan ajaran kerohanian dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukan kedua raja besar tersebut.

Selanjutnya K.S. Depari menulis sebagai berikut :

“Rupanya Pa Pelita dan Pa Mbelgah ini adalah pendekar dan pejuang yang selalu menyesuaikan langkah kepada kondisi dan situasi. Selama lebih kurang 10 tahun (1894-1904), trio Pa Mbelgah, Pa Pelita dan Westenberg menurut cara masing-masing menentukan “perang atau damai” di Tanah Karo gunung dan dusun. Pa Mbelgah dan Pa Pelita dari marga Karo-karo Purba keduanya adalah Sibayak Kabanjahe tapi “rivalen” yang satu tidak mengakui keunggulan yang lain. Yang pertama adalah seorang panglima, yang kedua orator dan politikus. Pertentangan antara Sibayak Pa Pelita dan Sibayak Pa Mbelgah adalah suatu jalan dan dalih bagi pemerintah kolonial Belanda masuk ke Tanah Tinggi Karo, untuk mendamaikannya, katanya.

Mengenai trio Sibayak Pa Mbelgah , Sibayak Pa Pelita , Westenberg yang disebutkan mulai tahun 1894-1904, hal ini perlu diselidiki kembali, karena dalam tahun 1895 pasukan-pasukan Sibayak Pa Mbelgah masih berada dalam front pertempuran melawan pasukan Sultan Serdang dan Militer Belanda di Liang Muda Serdang Hulu sebagaimana yang diuraikan oleh Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya Sari Sejarah Serdang. Kemungkinan sekali setelah terjadi Perang Liang yang termasyur itu (1895) barulah beberapa tahun kemudian menjelang tahun 1902, terjadi trio Sibayak Pa Mbelgah, Sibayak Pa Pelita dan Westenberg .

Menurut M.Muhammad Said dalam harian Waspada 28 April 1973, sebagai berikut :

“Atas fasilitas perkebunan dan pembesar Belanda di Medan dan diawal tahun 1908, Pdt. Guillaume sudah berada di wilayah tersebut dan ia rupanya sudah demikian mujur karena telah berhasil membujuk dua orang raja (Sibayak) di tanah Karo, yakni Pa Pelita dan Pa Mbelgah untuk membolehkannya membuka rumah ibadat (gereja) disana. Berdasarkan persetujuan tersebut, Guillaume mulailah membangun “markasnya” di Kabanjahe. Tapi Tanah Karo bukanlah dimiliki dua Sibayak ini, banyak raja disana semuanya mereka kecuali yang dua ini, menentang masuknya pengembangan agama Kristen (dengan cara seperti ini sekaligus menentang ekspansi kolonialisme Belanda).

Sumber : Klik.

Catatan tambahan :

Menurut buku Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo 1890-2000 karya Dk.Em.P.Sinuraya, kabar baik mulai melanda masyarakat Karo pada tahun 1890 yang bermula dari Karo Jahe. Di dalam buku yang ditulis Dk.Em.P.Sinuraya tersebut, dikisahkan pada tahun 1911 masyarakat Karo di Kaban Jahe telah dibaptis sebanyak 70 orang, salah satu tokoh Karo terkenal yang ikut dibaptis adalah Sibayak Pa Mbelgah (Sibayak Rumah Kaban Jahe).

Namun sangat disayangkan Sibayak Pa Mbelgah tak lama kemudian keluar dari gereja karena ada perbedaan/pertentangan pendapat antara Pa Mbelgah dengan pendeta. Pada waktu itu sebagai raja ketika menerima tamu undangan biasanya disambut dengan gendang dan menari sebagai penghormatan terhadap tamu tersebut.

Ketika kebiasaan tersebut ditanyakan Pa Mbelgah kepada pendeta apakah dibolehkan atau tidak, pendeta menjelaskan tidak boleh karena gendang tersebut dianggap mengandung unsur kekafiran, dan unsur kekafiran tidak boleh dikawinkan dengan agama Kristen. Sangat disayangkan P.Sinuraya tidak menulis apa yang dimaksud dengan unsur-unsur kekafiran tersebut.

Sumber : Klik

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu