Pada akhir abad ke-19, orang
terkemuka dari pedalaman Pesisir Timur adalah pemimpin-pemimpin tradisional
yang terkenal berkat wewenang dan ketangguhan bersenjata mereka. Ketika Kruijt
melakukan perjalanan eksplorasi untuk tinggal di Dusun tahun 1890, penduduk Buluh
Hawar berpikir bahwa ia pasti akan menemui Pak Mbelgah, (1) sibayak Kabanjahe.
Reputasi Pa Mbelgah sebagai pria kuat, kokoh, berani, pandai memimpin dan bertindak,
tampaknya sudah terkenal dari Dusun sampai urung Tran di dataran tinggi, di
kaki gunung Sinabung. Kemasyhurannya ini terutama diperoleh berkat kemenangan yang
baru didapatnya atas sebuah pasukan dari Aceh.
Ia dikabarkan telah membunuh dengan tangannya sendiri empat orang Aceh, satu
diantaranya seorang tengku.(2) (Silahkan baca tulisan lainnya tentang Pa Mbelgah Klik)
Ketika dataran tinggi di utara
Danau Toba dimasukkan dalam wilayah pemerintahan kolonial tahun 1907, tampaknya
sibayak Lingga, Pa Sendi, adalah
yang paling terlibat dalam kerjasama dengan pemerintahan kolonial untuk
membangun dataran tinggi. Anak Tempas Raja ini menandatangani “Pernyataan pendek” (Korte Verklaring) bulan September
1907. Kecerdasan, kharisma, kemajuan ekonomi demi kesejahteraan wilayahnya,
dengan cepat menghantarkannya menjadi pemimpin setempat yang terpenting di
seluruh onderafdeeling Karolanden. Untuk mempertahankan wewenangnya di
hadapan orang yang dipandang arogan dan brutal, ia berusaha mencegah imigrasi besar-besaran orang asal Pulau Samosir
dan bagian selatan Danau Toba yang datang ke Kabanjahe untuk mengajar di
sekolah-sekolah atau untuk mengembangkan budi daya sayuran. (3)
Pa Sendi, Sibayak Lingga, istri dan anaknya |
(5) dan juga bengkel
besi di Lingga.(6)
Pa Sendi meninggal tahun 1934 di
Lingga dan ketika tahun berikutnya gubernur Pesisir Timur mengangkat anaknya, Raja Kelelong, sebagai sibayak Lingga yang baru, upacara
penobatannya ditandai dengan menonjolkan beberapa tanda identitas, seperti
pengangkatan sumpah menurut adat setempat, panggung resmi beratap khas daerah,
berkibarnya “bendera nasional” onderafdeeling Karolanden (bintang lima putih berlatar belakang hitam),
baris-baris orang ayu berbusana
tradisional penuh perhiasan emas, pusaka
kerajaan, tari-tarian dengan iringan musik gendang, dll.(7)
Raja Kelelong, dengan bendera nasional Karolanden |
Di antara keturunan sibayak-sibayak Lingga lain yang
kehilangan jabatannya, perlu disebut Ngianken
Sinoelinggga dan Geleren Sinoelingga,
yang memiliki sebuah usaha dagang di Medan bernama Poetra Karo. Perusahaan ini antara lain menerbitkan majalah Neratja mulai tahun 1935.(8)
Di antara pemimpin-pemimpin
pedalaman lain, diketahui bahwa tahun 1925, sibayak Lau Cih bernama Pa ‘Kelewet
memimpin sebuah “kongsi” di Arnhemia, bersama jaksa kerapatan kota itu.(9)
Sumber : Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut oleh Daniel Perret (halaman 330-332)
(1) Mbelgah berarti “besar”
(Neumann, 1951, halaman 40)
(2) Kruijt, 1891, halaman 313,
325 dan 379.
(3) Berg, Mvo Karolanden, 1934,
halaman 10 dan 13
(4) Tideman, 1932, halam 14-15
(5) Liere, Mvo Karolanden, 1931
halaman 38 dan 39
(6) Berg, Mvo Karolanden, 1934
halaman 51
(7) Ruiter, 1990, halaman 15-17. Dua
tahun sebelumnya, sudah diselenggarakan sebuah pesta dilengkapi pasar malam
untuk merayakan 25 tahun kerjasama Pa Sendi dengan pemerintah. Asisten-residen
dan banyak raja ikut hadir (KOSI, 1932, halaman 19 dan 71).
(8) PvMr 294x/1935
(9) Tjermin Karo, ?/06/1925
Comments
Dan sedikit, hehehe... Kalau tidak salah dibelakan Raja Kelelong itu benderanya Taneh Karo(Karolanden) kan?