Upacara Merdang – “Sentabi kami man bandu Beru Dayang…”
Dahulu sebelum agama Kristen memasuki Tanah Karo, masyarakat tradisional Karo merupakan masyarakat yang bersistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sama seperti masyarakat tradisional di daerah Sumatera Utara lainnya.
Banyak ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Karo waktu itu untuk mencapai keselamatan mereka bersama, demi mempertahankan dan melestarikan hidupnya. Ritual-ritual tersebut antara lain: Upacara Mindo Udan (meminta hujan), Upacara Erpangkir Ngarkari (berkeramas membersihkan diri untuk membuang sial), atau Upacara Merdang (menabur benih).
Apa dan Bagaimana Upacara Merdang
Merdang adalah upacara yang diadakan pada saat pertama kalinya menanam bibit padi di ladang. Nama lain upacara ini adalah nuan page; nuan berarti menanam, page berarti padi, dan secara keseluruhan berarti upacara menanam padi.
Maksud upacara ini adalah untuk memohon kepada beraspati taneh (dewa penguasa tanah) agar memelihara padi yang ditanam, tumbuh subur dan hasilnya melimpah ruah. Bibit padi yang ditanam diumpamakan sebagai anak perempuan kecil, biasa disebut beru dayang. Agar beru dayang merasa betah tinggal di perladangan, maka harus dibuat tempat tinggalnya yaitu perbenihan (tempat persemaian).
Tempat ini ditanami dengan beberapa jenis tumbuhan sebagai tempat perlindungan beru dayang. Selain itu, maksud penyelenggaraan merdang adalah sebagai pernyataan terima kasih kepada beraspati taneh dan beru dayang yang disampaikan melalui persembahan sirih.
Upacara ini dilaksanakan setelah perladangan selesai dibersihkan dan telah siap untuk ditanami di perladangan yang akan ditanami. Hari pelaksanaannya tergantung kepada keinginan pemilik ladang.
Merdang dimulai sejak pagi hari, saat nangkih matawari (saat matahari terbit) dengan maksud agar rejeki juga menaik seperti matahari, hingga sore hari. Pihak-pihak yang terlibat dalam merdang antara lain: seluruh keluarga pemilik ladang, warga desa, kelompok aron (kelompok gotong royong yang mengerjakan ladang), dan juga mengundang pemuda-pemudi desa yang juga sering diundang untuk membantu mengerjakan perladangan. Dan yang memimpin upacara ini adalah ayah dalam keluarga pemilik ladang.
Menjelang diadakannya upacara ini, peralatan dan perlengkapannya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Sang ayah mempersiapkan perbenihen, istri dan anak-anak membantu mempersiapkan daliken (tungku) yang dibuat dari 2 potong kayu nderasi dan sepotong kayu lengit, daliken ini melambangkan sistim kekerabatan kalimbubu, senina, ras anak beru, kayu nderasi melambangkan kalimbubu dan senina, sedangkan kayu lengit melambangkan anak beru; terdapat pula beberapa jenis tumbuhan yang terdiri dari kayu besi sangkal sempilet, kalinjuhang, sere-sere, keciwer (kencur), dan tebu mentah. Selain itu dipersiapkan juga belo bujur (seperangkat sirih sebagai ucapan terimakasih), kampil indong-indong (tempat sirih), penggelebeng, dan benih padi terbaik secukupnya-benih ini kemudian dimasukkan ke dalam sumpit perdanaken (sumpit kecil terbuat dari pandan). Kemudian dipersiapkan juga uis ragi nteneng, cincin pijer, dan gelang tumbuk, semuanya itu sebagai perhiasan beru dayang.
Setelah persiapan-persiapan tersebut selesai barulah pemilik ladang dan peserta upacara lain berdangkat ke ladang. Sang ayah membawa daun-daunan kalinjuhang-melambangkan atap rumah beru dayang, daun besi sangkal sembilet-melambangkan kekuatan roh beru dayang, daun keciwer-melambangkan tawar (obat), sere-sere-melambangkan rambut beru dayang, dan tebu gara-melambangkan mainan beru dayang; dan tidak lupa dibwa juga bibit padi di dalam sumpit perdanaken.
Di tempat perbenihen, sang ayah berlutut menghadap matahari terbit, dan si ibu di sebelahnya. Mereka akan menyampaikan persembahan kepada beraspati taneh. Di atas perbenihen diletkkan sirih berisi kapur dan gambir, kemudian sang ayah mengucapkan sudip (doa upacara), sebagai berikut:
“Sentabi kami man bandu kam desa si waluh ras wari si telu puluh ras nembahken jari-jari sepuluh. Maka ni sembahken kami man kam Beraspati taneh sikenjahe ras sikenjulu ras ke ku bertengna tengah enda kepe tanah enggo ngeloh-nggelohken pagena buah merik manuk, mejuah-juah kami kerina i rumah.”
Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan persembahan kepada beru dayang. Uis ragi nteneng dihamparkan di atas perbenihen, di atasnya diletakkan perhiasan-perhiasan untuk beru dayang, dan di sebelahnya diletakkan bibit padi dalam sumpit perdanaken. Dalam keadaan masih berlutut ibu mengunyah sirih dan sang ayah kembali mengucapkan sudip sebagai berikut:
“Sentabi kami man bandu Beru dayang, ku enahken kam ku taneh pelayaran. Maka ntah lit gia pagi sora kalak megang, ntah taneh na meruntuh, ntah perkasa nduppang, ntah angina na ertiup-tiup, ntah kalak kegoncanganen dareh, ola kam mbiar beru dayang. Sebab enda kal kam kusuanken ingan ras lape-lapendu i jenda. Ntah sekaligia kami la tiap wari kujuma abadna wari mehulinge, sebab ijenda kucibalken erta-erta, I rumah cincin pijer, gelang tumbuk, uis ragi nteneng, kampil indong-indong man pengaleng tendi.”
Setelah itu ibu melakukan sembur gara dengan cara menyemburkan air sirih ke dalam sumpit perdanaken, sebagian padi kemudian menjadi berwarna merah. Ini dimaksudkan sebagai tawar penangkal ketakutan dari beru dayang. Lalu setelah bibit disembur, ibu mengucapkan sudip sebagai berikut:
“Enda kam enggo ku semburi O beru dayang, enda sembur si padi ras sembur ke dua, maka enda ku kataken nan bandu. Kami nande ras bapa ndu, ras kam enggo jadi anak kami, kaipe nina kalak ola kam tek, sebab enggo mbelin ingandu, bas jambur sendina gading, ingandu ergale-gale ras ergase gase.”
Selesai sudip terakhir itu diucapkan, sang ayah kemudian menanami perbenihen dengan dedaunan yang telah dipersiapkan, lalu tempatnya diberi batas kayu. Setelah itu baru dilanjutkan dengan menuga areal perladangan, dimulai dari sekitar perbenihen, karena tempat ini menjadi pusat dari ladang.
Selain melakukan jalannya upacara itu, adapula pantangan-pantangan yang harus dihindari peserta selama jalannya upacara. Pantangan-pantangan tersebut dianggap dapat merusak pertumbuhan padi. Bila ladang telah selesai ditanami, upacara merdang ini diakhiri dengan makan-makan bersama.
Ritual tradisional seperti merdang ini merupakan kekayaan budaya mayarakat Karo. Dengan mengetahui bagaimana susahnya mengusahakan agar hasil panen padi melimpahkan hasil yang baik, sekiranya kita sebagai masyarakat agraris dapat menjadi lebih menghargai beras, terutama beras buatan dalam negeri.
Sumber : Lacapitale.wordpress.com
Comments