Skip to main content

Karo Doesoen atau Karo Jahé adalah Taneh Karo


Perlajangen
oleh  Juara R. Ginting

Taneh Karo terdiri dari Karo Gugung dan Karo Jahé. Karo Gugung terbagi ke Karo Julu, Karo Berneh, Karo Gunung-gunung, Karo Singalorlau, dan Karo Baluren. Karo Jahé terbagi ke Karo Sinuan Bunga dan Karo Sinuan Gamber.

Pembagian Taneh Karo ke Karo Gugung dan Karo Jahé cukup unik. Dalam banyak kepustakaan Inggris, Karo Gugung diterjemahkan Karo Highlands, sedangkan di kepustakaan Indonesia disebut Dataran Tinggi Karo. Kedua terjemahan Inggris dan Indonesia ini sangat dipengaruhi kepustakaan Belanda yang menterjemahkan Karo Gugung dengan Karo Hoogvlaakte.

Terjemahan-terjemahan itu tepat karena gugung artinya dataran tinggi (highland dalam bahasa Inggris dan hoogvlaakte dalam bahasa Belanda). Persoalan terjadi ketika kepustakaan Inggris menyebut Karo Jahé dengan Karo Lowlands dan kepustakaan Indonesia dengan Dataran Rendah Karo. Adapun kepustakaan Belanda biasanya menyebut Karo Jahé dengan Karo Doesoen.

Sebenarnya sangat mengejutkan melihat kenyataan bahwa termasuk tulisan-tulisan antropolog menterjemahkan Karo Jahé dengan Karo Lowlands atau Dataran Rendah Karo. Soalnya, jahé artinya bukan dataran rendah, tapi hilir. Kalau mau mengikut jalan pikiran Karo  yang tersirat dalam kata jahé, Karo Jahé seharusnya dalam bahasa Inggris disebut Downstream Karo dan dalam bahasa Indonesia Karo Hilir. Bukan Karo Jahé melainkan Karo Berneh yang pantas disebut Karo Lowlands atau Dataran Rendah Karo. 

Kesalahan terjemahan seperti ini dapat ditelusuri ke perbedaan cara mengklafikasi wilayah. Klasifikasi Barat (yang asalnya adalah Eropah) biasanya membandingkan hal-hal sebanding (parable). Kiri, misalnya, sebanding dengan kanan, atas dengan bawah, dan tinggi dengan rendah. Lain halnya dengan Karo, Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) dibandingkan dengan Karo Jahé (Karo Hilir). Uniknya lagi, Karo Berneh (Dataran Rendah Karo) terletak di, dan menjadi bagian, Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo).

Mudah dan cepat sekali kita biasanya mengatakan klasifikasi Karo tidak logis tanpa berusaha menemukan logika apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya (karena kita sudah dididik untuk menganggap kebudayaan Barat lebih tinggi, dan lebih logis, dari kebudayaan sendiri).

Padahal, kesalahan terjemahan bisa berakibat fatal. Kelihatan masih berakar pada cara berpikir setempat padahal sudah jauh sekali lari dari pikiran setempat dan kadang malahan menghancurkan masyarakat setempat. Demikian terjadi dalam kepustakaan Belanda yang mengakibatkan Taneh Karo menjadi hanya Karo Gugung.

Orang-orang Karo memandang Karo Gugung sebagai taneh kemulihen dan Karo Jahé sebagai taneh perlajangen. Dalam tulisan-tulisan masa kolonial, taneh kemulihen diterjemahkan dengan ‘daerah asal’ dan taneh perlajangen dengan daerah rantau atau daerah penyebaran. Dengan terjemahan seperti ini, Karo Gugung ditetapkan sebagai wilayah asli orang Karo dan Karo Jahé sebagai daerah penyebarannya. Cocok sekali dengan klaim Sultan Deli yang mengatakan kepada pihak Belanda bahwa orang-orang Karo adalah pendatang di wilayah Deli.

Benarkah kemulihen artinya asal? Kemulihen berkata dasar mulih yang artinya pulang. Sekilas, kemulihen kelihatan berarti asal.

Mari kita pindah sejenak ke kata perlajangen. Kata ini berdasar pada lajang. Apa artinya lajang? Lajang artinya sedang tidak dalam ikatan sosial rumah (baca: rumah adat Karo). Seseorang yang bermalam di gubuknya di luar rumah kuta (pemukiman induk sebuah kampung) adalah lajang. Apakah seorang penduduk Kampung X yang bermalam di gubuknya yang terletak di Kampung X itu dapat dikatakan sedang merantau? Tidak. Berarti lajang tidak sama dengan merantau, dan taneh perlajangen bukan daerah rantau.

Bila perlajangen lawan katanya adalah kemulihen, sudah jelas bahwa pembagian Taneh Karo ke Taneh Perlajangen (Karo Jahé) dan Taneh Kemulihen (Karo Gugung) tidak dapat diterjemahkan menjadi Daerah Rantau dan Daerah Asal. Orang-orang Karo yang tinggal di Karo Jahé (Serdang Hulu, Deli Hulu dan Langkat Hulu) bukanlah perantau, tapi orang-orang Karo yang sedang ngelajangken bana, dan, ngelajangken bana adalah berada di luar rumah kuta.

Kampung Karo (kuta) terdiri dari rumah kuta (kemulihen) dan daraten bidé kuta (ingan lajang). Maka, Karo Jahé dan Karo Gugung adalah sama dengan satu kampung Karo atau, dengan kata lain, kampung-kampung tradisional Karo di Karo Jahé adalah bagian Taneh Karo bukan tempat penyebaran orang Karo.

 Kesimpulan, Karo Jahé adalah Taneh Karo.

Judul asli : Perlajangen
(Sumber: Tabloid Sora Sirulo VIII: Mei 2007)

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu