Skip to main content

Perempuan Karo dalam Kemerdekaan



Dari tahun 1982 hingga 1985, Prof. Dr. Mary Steedly, guru besar Antropologi di Universitas Harvard (USA), melakukan penelitian mengenai Karo di Medan, Deliserdang dan Kabupaten Karo yang kemudian menghasilkan buku berjudul Haging Without A Rope: Narrative Experience in Colonial and Post Colonial Karoland (1993). Kini, Steedly menerbitan sebuah buku baru berjudul Rifle Reports: A Story of Indonesian Independence. Buku ini berisikan sejarah etnografis mengenai perjuangan kemerdekaan RI (1945-50) di Dataran Tinggi Karo.

Laporan Rifle merajut kenangan pribadi dan keluarga, lagu dan cerita, memoar dan sejarah lokal, foto, dan monumen, bagaimana perempuan dan laki-laki Karo berkontribusi pada pendirian bangsa Indonesia. Perjuangan nun jauh dari ibukota negeri ini.

The routes they followed are divergent, difficult, sometimes wavering, and rarely obvious, but they are clearly marked with the signs of gender. This innovative historical study of nationalism and decolonization is an anthropological exploration of the gendering of wartime experience, as well as an inquiry into the work of storytelling as memory practice and ethnographic genre.

-------------------
On August 17, 1945, Indonesia proclaimed its independence from Dutch colonial rule. Five years later, the Republic of Indonesia was recognized as a unified, sovereign state. The period in between was a time of aspiration, mobilization, and violence, in which nationalists fought to expel the Dutch while also trying to come to grips with the meaning of "independence." Rifle Reports is an ethnographic history of this extraordinary time as it was experienced on the outskirts of the nation among Karo Batak villagers in the rural highlands of North Sumatra. Based on extensive interviews and conversations with Karo veterans, Rifle Reports interweaves personal and family memories, songs and stories, memoirs and local histories, photographs and monuments, to trace the variously tangled and perhaps incompletely understood ways that Karo women and men contributed to the founding of the Indonesian nation. The routes they followed are divergent, difficult, sometimes wavering, and rarely obvious, but they are clearly marked with the signs of gender. This innovative historical study of nationalism and decolonization is an anthropological exploration of the gendering of wartime experience, as well as an inquiry into the work of storytelling as memory practice and ethnographic genre.

Editorial Reviews
From the Inside Flap
"Steedly's project is not just to read history against the grain, but to significantly interrupt the national history of Indonesia, with fragments of remembered pasts from what she calls the outskirts of the nation. Her narrative opens to the complexity of the past and brings us to a place where the granularity of detail is left to generate multiple puzzlements. Rifle Reports reflects upon material experiences of the past refracted across remembered stories in a precise and telling manner that reveals the authorized history of the nation to be just one of those stories."--Nancy Florida, University of Michigan

About the Author
Mary Steedly is Professor of Anthropology at Harvard University and the author of Hanging without a Rope: Narrative Experience in Colonial and Postcolonial Karoland.

Product Details
Paperback: 414 pages
Publisher: University of California Press (May 10, 2013)
Language: English
ISBN-10: 0520274873
ISBN-13: 978-0520274877
Product Dimensions: 9 x 6 x 1 inches

Source : Amazon.com

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu