Skip to main content

Atap Rumah Adat Karo di Atap Gereja Pohsarang (Kediri)

Gereja Pohsarang atau Puhsarang adalah sebuah Gereja Katolik Roma yang terletak di desa Pohsarang, kecamatan Semen, Kediri, di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur. Gereja ini didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal Henri MacLaine Pont pada tahun 1936. Keindahan arsitektur Gereja Pohsarang melekat pada dua nama ini.

Henricus MacLaine Pont sangat pandai dalam membentuk keindahan bangunan Gereja yang mengukir kebudayaan Jawa; sementara Romo Wolters sebagai inisiator memberi roh pengertian mendalam tentang makna sebuah bangunan Gereja dengan banyak simbolisme untuk katekese iman Katolik. Dalam konteks karya misi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, Romo Wolters dikenal sebagai "rasul Jawa" (bersama Romo van Megen CM dan Romo Anton Bastiaensen CM). Disebut "rasul Jawa", karena sebagai misionaris Belanda ia sangat mencintai dan menghormati orang Jawa, bahasa Jawa dan kebudayaan serta nilai-nilai kejawaan. 

Sedikit tentang Henri Maclaine Pont
Henri MacLaine Pont (lahir di Meester Cornelis (Jatinegara), 21 Juni 1885 – meninggal di Den Haag, 2 Desember 1971 pada umur 86 tahun) adalah arsitek populer di Hindia Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Dari garis ibu ia memiliki keturunan orang Buru, sementara dari garis ayah mengalir darah Skotlandia, Spanyol, dan Huguenot (Perancis). 

Pendidikan arsitektur ia peroleh dari Institut Teknologi Delft (TH Delft), Belanda. Setelah lulus ia kembali ke Hindia Belanda dan mendirikan suatu firma perancangan bangunan.

Pada masa awal, konsep bangunannya adalah memodifikasi gaya bangunan Eropa untuk kondisi tropika yang lembap, bersuhu tinggi, dan bercurah hujan tinggi. Namun demikian, pengalamannya dalam menangani berbagai bangunan candi (terutama di Trowulan) membuatnya mengubah konsep menjadi berusaha memodernisasi konsep bangunan tradisional lokal Hindia (Indonesia) yang dikenal sebagai gaya Indisch. Dalam gaya ini namanya dapat disejajarkan dengan Thomas Karsten, seorang arsitek dan penata ruang lingkungan yang juga rekan kerjanya. Kompleks kampus ITB, Stasiun Poncol di Semarang, Stasiun Tegal di Tegal, dan Gereja Pohsarang di Kabupaten Kediri adalah beberapa dari banyak bangunan rancangannya.

Atap Karo di atas Gereja Pohsarang dan Gedung THS Bandung (ITB Bandung)

 Technische Hoogeschool te Bandoeng 1929

Foto, potongan dan tampak depan. Foto Aula Barat oleh Mohammad Rizal.
(anisavitri.wordpress.com)
Ketika Henri MacLaine Pont merancang bangunan THS Bandung pada tahun 1918, ia merencanakan agar pembangunan gedung-gedung di THS tidak menghalangi pemandangan ke Gunung Tangkuban Perahu. Gedung-gedung utama kampus, yakni Aula Barat dan Aula Timur yang dirancangnya juga berusaha dengan memadukan arsitektur tradisional dengan kemajuan teknologi konsturksi modern.

Dari atapnya terlihat memadukan atap rumah adat suku Minangkabau dan Karo. Tak hanya memadukan arsitektur kebudayaan local setempat dengan konstruksi modern. 

Bangunan ini menerima respons dari Prof. C.P. Wolff Schoemaker dengan mempertanyakan “Mengapa justru di tanah Jawa, saudara Ir. MP membangun bangunan dengan atap dari Minangkabau ?…”

Sebaliknya, karya ini mengundang tanggapan positif pada harian Preangerbode dari seseorang dengan inisial G. Menurut dugaan Haryoto Kunto orang tersebut adalah Ir. J. Gerber, arsitek yang merancang Gedung Sate, Bandung. Arsitek Belanda H.P. Berlage yang berkunjung ke Jawa pada catatan perjalannya menyanjung karya ini. Demikian pula ketika ia memberi ceramah di dalam pertemuan Koninklijke Ingenieur, ia menyambut gembira karya ini sebagai awal dari pencarian akan langgam Indo-Europeesche yang didambakannya.

Pada tahun 1936 Henri membantu Romo Jan Wolters CM mendirikan Gereja Pohsarang. Rancangan atapnya juga menunjukkan gaya yang tak mungkin ada di kebudayaan lokal. Atapnya mengadopsi dari arsitektur rumah adat di suku Karo. Antara lain :

Atapnya memakai model anjung-anjung atau si empat ayo dari arsitektur rumah adat Suku Karo  :

Gereja Katolik Santa Maria Puhsarang
(skyscrapercity.com)
Pohsarang Catholic Church, Kediri. Front elevation as photographed in the 1930s

Pohsarang Catholic Church, Kediri. Side elevation as photographed in the 1930s


Model atap rumah tersek dan model atap rumah si dua ayo dari arsitektur rumah adat Suku Karo : 
Gereja Pohsarang, Gereja "Keraton Jawa" 1937, Kediri. Sumber foto: SV-Missie 1937
(Wikipedia)


 Atapnya model anjung-anjung si empat ayo dari arsitektur rumah adat Suku Karo :
Romo Jan Wolters CM (kanan) bersama Ir. Henri Maclain Pont (?). Sumber foto: SV-Missie 1938
(Wikipedia)

Atapnya model anjung-anjung si empat ayo dari arsitektur rumah adat Suku Karo :


Santa Maria
(Sumber foto gemaeklesia.blogspot.com)
Hal ini diperkuat oleh tulisan Maria I.Hidayatun  dan Christine Wonoseputro (Arsitektur UK Petra, Surabaya) dalam tulisan berjudul “TELAAH ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR GEREJA PUHSARANG KEDIRI SEBUAH PENGAYAAN KOSA KATA ARSITEKTUR MELAYU (NUSANTARA)”  yang menyatakan :


Secara tampilan , bangunan gereja Puhsarang sebenarnya ingin menyiratkan 4 hal yaitu perpaduan antara :
- Elemen – elemen arsitektur Melayu( Nusantara ) , yang dalam hal ini banyak diwakili oleh konsep bangunan tradisional Jawa , dan bentukan dari atap dari Karo.

- Konsep Candi , yang menunjukan adanya citra rasa arsitektur yang tinggi semenjak jaman keemasan Hinda dan  Budha di tanah Melayu ( Nusantara ).

- Konsep Wayang , yang mempengaruhi konsepikrokosmos, makrokosmos , serta gunungan (dilambangkan sebagai pohon dalam pewayangan), yang dianggap sebagai pusat kosmis, sehingga kerap diidentikan sebagai tempat bersemedi dan mengheningkan cipta untuk merasakan kesatuan antara ciptaan dan sang pencipta.

- Serta aspek teologis gereja, spiritual, dan liturgis yang diturunkan secara nyata dalam  bentukan arsitektural.



Bandingkan dengan motif atap rumah adat Karo berikut ini :


Rumah komunal Pa Mbelgah (1918)
(Tropenmuseum)
Rumah adat Karo (1892-1922)
(Tropenmuseum)

Rumah Adat Karo (1914-1919)
(Tropenmuseum)
Gereja Katolik Inkulturasi St. Fransiskus Asisi, Brastagi, Tanah Karo,
 konstruksi bangunan modren dipadukan dengan arsitektur rumah adat suku Karo
Pada perjalanan waktun gereja ini mengalami renovasi hingga 4 kali. Dan bentuk yang terkini bisa dapat dilihat di video berikut ini.



Sumber bacaan :
Wikipedia : Gereja Pohsarang
Wikipedia : Henri MacLaine Pont

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu