Skip to main content

Charles Sayers Melukis di Karo (1939)




 
Charles Eugene Henry Sayers (1901-1943)

Charles Eugene Henry Sayers lahir pada tanggal 14 Oktober 1901 di Gemoeh, Jawa Tengah. Ayahnya bekerja di  perusahaan gula yang berlokasi di Gemoeh. Saat berusia sebelas tahun, ia dikirim ayahnya ke Belanda untuk sekolah. Dari tahun 1920 sampai 1923 ia belajar di Academy of Fine Arts di Amsterdam, di mana ia belajar pada Roland Holst, Derkinderen Jurres dan van der Waay.
 
Akhir 1923 ia menerima penghargaan. Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada seniman yang telah memperoleh prestasi terbaik. Lalu ia mendaftar di Académie des Beaux Arts di Paris dan belajar pada pelukis Lucien Simon dan Baudouin. Sebelum ia kembali ke Jawa pada tahun 1927, ia pergi ke Mesir pada tahun 1926. Pada tahun 1928, karyanya dipamerkan di Lingkaran Seni Batavia dan Surabaya.

Pada tahun 1928 ia kembali ke Paris dan karyanya  dipamerkan di Galerie Bernheim Jeune,  Quotidien, Le Salon des Artistes Français dan di  Le Salon des Artistes Independants. Para kritikus seni, termasuk Gustave Kahn, memberi kata-kata pujian untuk karyanya. Pada tahun 1929 ia melakukan perjalanan ke Italia. Pada tahun 1931 ia diberi tugas untuk mendekorasi aula utama Belanda di East Indian Pavilion pada Pameran Kolonial Internasional di Paris. Ia membuat tiga mural besar. Sayangnya, lukisan-lukisan ini telah lenyap ketika paviliun dilalap api.  Lalu ia melukis "Perjalanan Istana Raja Hayam Wuruk"  saat paviliun dibangun kembali, paviliun yang baru berukuran kecil.

Di Paris ia bertemu Olga Stern dan mereka menikah. Mereka kembali ke Hindia. Setelah kelahiran putri mereka (Wilhelmina Eveline, Bandung 21-11-1931),  mereka sekeluarga menetap di Bali.


Potret Charles Sayers, Olga Stern dan putri mereka Wilhelmina Eveline
Tahun 1933
 Sumber : Tropenmuseum
Pada tahun 1934 ia kembali ke Jawa. Selama di Jawa, ia menerima sejumlah tugas resmi yang penting.  Di Istana Rijswijk  ia melukis empat buah potret Gubernur Jenderal. Di aula Surabaya ia melukis enam buah potret dari walikota kota itu. Untuk paviliun Belanda di India di pameran Expo Dunia di San Francisco, ia menghasilkan empat mural besar pada tahun 1938. Pada tahun 1939 seluruh keluarga pindah ke Sumatera dan Sayers menyewa rumah di Kaban Djahe.


Di sini ia menghasilkan beberapa lukisan, diantaranya :

 

Perkampungan Karo, Sumatera
lukisan oleh Charles Eugene Henry Sayers (1901-1943)
Tahun  1939-1942
Sumber : Venduehuis.com


Dukun in Trance Karo, Sumatera
lukisan oleh Charles Eugene Henry Sayers (1901-1943)
Tahun  1939-1942

Memanen Jagung, Karo, Sumatera
lukisan oleh Charles Eugene Henry Sayers (1901-1943)
Tahun  1939-1942
Sumber : Tropenmuseum
 

Charles Sayers dengan latar belakang Geriten (rumah tengkorak)
Sumber : Tropenmuseum
Ia beberapa kali bekerja di Batavia. Ketika Jepang menyerang Hindia, Sayers ditangkap dan ditahan lalu dibawa ke Burma  untuk bekerja di kereta api Burma. Oleh karena tubuhnya lemah karena kekurangan gizi dan akibat terkena malaria, ia meninggal pada tanggal 15 November 1943, di usia 41 tahun. Ia meninggal di “Kamp Km.114,” Thambyazajat, Burma. 



Charles Sayers termasuk salah satu pionir pelukis di Hindia Belanda. Lukisannya berjumlah lebih dari 320 lukisan, belum termasuk beberapa mural monumental.

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu