CULTURAL TRANSFORM DI SITUS BENTENG PUTRI HIJAU
Oleh Stanov
Purnawibowo (Balai Arkeologi Medan)
Situs Benteng Putri Hijau sendiri
terletak di sebuah dataran yang berada di bagian atas lembah Sungai/Lau Tani, bagian atas Sungai Deli yang berhulu di
daerah Sibolangit dan bermuara di Selat Malaka. Situs ini terletak di antara N
3° 28’ hingga N 3° 29’ dan E 98°40’, memanjang utara-selatan di tebing barat
Lau Tani, yang mengalir ke arah selatan.
Secara administrasi situs ini berada di Desa Deli Tua Kampung, Kecamatan Namorambe,
Kabupaten Deli Serdang. Saat ini
sebagian areal Benteng Putri
Hijau digunakan untuk pembangunan perumahan Perum Perumnas Regional I Sumbagut.
Situs ini dihubungkan dengan legenda
Putri Hijau dan kejayaan Kerajaan Haru.
Bagian yang mengagumkan dari Benteng
Putri Hijau ini ada pada pemanfaatan tebing sungai sebagai pagar benteng
(Koestoro, 2010: 120).
Berdasarkan indikasi
data artefaktualnya, situs Benteng Putri Hijau dapat diduga pernah menjadi
lokasi aktivitas kehidupan masyarakat
yang dinamis dalam rentang waktu yang cukup panjang, mulai dari masa
budaya prasejarah hingga masa pengaruh Kolonial. Aktivitas arkeologis atas
situs ini telah dimulai sejak tahun 1996 berupa survei arkeologis, kemudian pada
tahun 2008 pihak BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Banda Aceh dan Balai Arkeologi Medan melakukan
penggalian penyelamatan. Selanjutnya pada tahun 2009 diadakan penelitian
komprehensif oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Deli Serdang yang
melibatkan multidisiplin ilmu di situs tersebut.
Data artefaktual yang berhasil
didapat dari situs ini terdiri dari berbagai macam ragam dan jenis. Ditinjau
dari aspek formal/bentuk, jenis artefak lepas
yang dijumpai berupa tembikar, keramik, logam, serta alat batu. Jenis
artefak berbahan tanah yang dibakar seperti tembikar dan keramik ditemukan
dalam kondisi fragmentaris, baik yang berasal dari permukaan tanah maupun hasil
ekskavasi. Jenis artefak ini sebagian besar
merupakan wadah yang umum dipakai dalam aktivitas sehari-hari, seperti:
mangkok, kendi, guci, tempayan, pasu, piring, serta teko. Adapun artefak
berbahan logam yang ditemukan di sekitar situs berupa uang logam berbahan emas,
selongsong peluru, peluru bulat, alat berbahan logam yang diidentifikasi
sebagai grathul (Jawa, alat pertanian untuk membersihkan tanaman dari gulma), serta
kerak besi seberat 7 gram yang ditemukan di kebun coklat/kakao (Theobroma cacao
L.) milik warga pada penelitian tahun 2008. Adapun artefak alat batu sumatralith
berbahan batuan beku juga ditemukan berjumlah 3 buah pada penelitian
tahun 2008.
Ditinjau dari aspek temporal,
data artefaktual yang ditemukan berasal dari berbagai rentang masa. Jenis
artefak sumatralith berasal dari masa
pengaruh budaya prasejarah yang diidentifikasi pernah ada di situs tersebut.
Adapun jenis artefak fragmen tembikar dan keramik diidentifikasi berasal dari
rentang masa abad XIII -- XVIII. Sedangkan untuk artefak logam berupa: mata uang emas diduga berasal dari
Aceh abad XVII; selongsong peluru berasal dari masa abad XX yang digunakan
untuk senapan serbu laras panjang CIPS FNC, Kaliber (KL) 5,56 mm buatan Belgia;
proyektil bulat berbahan logam timah hitam berasal dari masa abad XV – XX; serta
grathul dari masa saat daerah
tersebut merupakan lokasi perkebunan
tembakau pada akhir abad XIX hingga awal XX (BP3, 2008, dan Tim Peneliti,2009).
Berkenaan dengan aspek spatial temuan artefaknya,
diidentifikasi berasal dari luar daerah situs. Hal ini diidentifikasi karena
belum ditemukannya indikasi tempat produksi artefak tersebut di sekitar lokasi
penelitian. Adapun temuan fragmen keramik berasal dari Cina dan Thailand. Mata
uang emas berasal dari Aceh, serta selongsong peluru buatan Belgia. Sedangkan
alat batu, pelor timah hitam, kerak besi dan grathul belum dapat diketahui
secara pasti (BP3, 2008, dan Tim Peneliti, 2009).
Data kontekstual yang didapat
dari hasil penelitian tersebut di atas, secara garis besarnya merupakan perpaduan
antara data artefaktual dengan data lingkungan di situs tersebut. Seperti yang
telah disebutkan di atas, data kontekstual yang terdapat di situs Benteng Putri
Hijau mayoritas didominasi oleh temuan fragmen tembikar dan keramik, selebihnya
dalam kuantitas yang sedikit berupa artefak berbahan logam dan artefak berbahan
batu. Tentu saja hal ini sangat lazim, apabila situs tersebut diidentifikasi
sebagai sebuah situs permukiman yang menempati areal yang cukup luas di masa
lalu.
Berdasarkan uraian di atas, situs
Benteng Puteri Hijau telah menunjukkan bahwa manusia secara naluriah memiliki
kearifan lingkungan. Dalam memilih lokasi untuk kegiatannya, manusia telah
memperhitungkan kondisi kontur/topografi, ketersediaan air, kesuburan tanah dan
keamanan (terhadap musuh, binatang buas, bencana alam). Pemilihan lokasi disesuaikan
dengan bentuk lahan bagi aktivitas tertentu. Misalnya, pemukiman menempati: dataran
aluvial, tanggul alam sungai, dataran fluviogunungapi, beting gisik laguna dan
lereng kaki, sedangkan untuk tempat beraktivitasfisik dipilih tempat yang
tinggi seperti di perbukitan, puncak gunung, atau pada pertemuan dua sungai dan
yang lain (Tim, 2009).
Secara strategis, kawasan ini
memenuhi semua persyaratan umum bagi sebuah daerah permukiman. Aspek keamanan
dapat dilihat dari sisa keberadaan benteng tanah dan parit keliling, serta
kedekatan dengan sumber air sebagai salah satu kebutuhan hidup utama, serta Lau
Petani yang merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Sungai Deli sebagai
jalur transportasi utama dari dan menuju daerah tersebut. Sebagai
sebuah lokasi permukiman, dapat ditelusuri melalui temuan beberapa artefak yang
diindikasikan berfungsi sebagai alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun bentuk cultural transform
yang menyebabkan perubahan data arkeologi berdasarkan uraian di atas terdiri
dari pengolahan lahan yang bertujuan untuk budidaya tanaman dengan nilai
ekonomi tinggi, pembuatan sarana permukiman penduduk, serta pembentukan benteng
itu sendiri. Sedangkan jenis konteks arkeologi yang terjadi akibat proses
transformasi budaya tersebut adalah use-related secondary context dan natural
secondary context.
Bentuk transformasi budaya dan
jenis konteks arkeologi yang melingkupi data di situs tersebut dapat memberikan
informasi bahwa data yang ada telah mengalami perubahan hingga saat ditemukan
disebabkan oleh faktor manusia. Artinya, cultural transformlah yang berlangsung
sehingga perubahan tersebut terjadi.
Dengan diketahuinya berbagai bentuk
transformasi budaya di lokasi situs tersebut, diharapkan penelaahan lebih jauh
mengenai kajian arkeologi dan sejarah terhadap situs Benteng Putri Hijau dapat
meminimalisir aspek bias data arkeologi.
Tulisan di atas adalah potongan
dari tulisan berjudul “CULTURAL TRANSFORM DI SITUS BENTENG PUTRI HIJAU.” Selengkapnya
dapat di baca di sini : Indonesian Scientific Journal Database
Comments