.....saat itu beliau belum memiliki nama atau logo usaha. Sementara salah satu syarat dalam mengisi formulir adalah harus mencantumkan nama atau logo usaha yang terpilih. Tanpa ragu, LA Ginting menulis “Toko Ginting” dengan sebatang kapur tulis di sebuah papan, lalu menggantungkannya di depan tokonya........
Banyak kaum muda yang belum
mengenal LA Ginting. Beliau adalah salah seorang tokoh pejuang wiraniaga
sukses, yang memulai usahanya dari titik
nol. Dengan berbekal ketekunan, keuletan dan kegigihannya, beliau mampu
mencapai keberhasilan. Bermula sebagai
pedagang kecil, hingga akhirnya melonjak menjadi pedagang menengah, bahkan
menjadi importir dan eksportir yang go internasional.
Rahasia kesuksesannya terletak
pada keramahannya, kejujurannya, dan
sikapnya yang bersahabat kepada setiap orang. Beliau juga sangat menghargai
kepercayaan orang lain terhadapnya. Kepercayaan merupakan modal utama bagi
beliau dalam menjalankan usahanya.
Untuk itu, kisah hidupnya layak dituliskan kembali dan dibaca. Berikut sekilas perjalanan
hidupnya :
Masa Kecil
Lagak Andreas Ginting lahir
tanggal 10 Oktober 1918 di Desa Juhar Kabupaten
Karo, dari pasangan Rim Ginting dan Ngapul
Br Tarigan. Ayahanda beliau memberi nama putra sulungnya “Lagak,” yang dalam bahasa Karo artinya
seorang gentlemen. Sedangkan Andreas diambil dari Alkitab, dengan
harapan putranya bertumbu meniru sifat-sifat murid Tuhan Yesus.
Pada usia tiga tahun, LA Ginting
sudah ditinggalkan Ibunda tercinta. Tahun 1921, Ibundanya meninggal dunia saat
melahirkan putra kedua. Hingga ayahnya menikah lagi dengan Jejer Br Sembiring,
dan mendapatkan tiga adik lagi. Sebagai putra sulung dari 5 bersaudara, LA
Ginting mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap adik-adiknya.
Penderitaan di masa penjajahan
Belanda dan kepedihan di masa kecil tidak mematahkan semangatnya untuk tetap
belajar.
Menjadi Guru
Pada tahun 1927, beliau masuk
sekolah Zending di Pamah Kabupaten
Dairi. Tahun 1929 pindah ke Volkschool di Desa Sarinembah, tahun 1930 melanjutkan ke Vervolgschool (setara
SMP-red) di Tigabinanga dan tamat
tahun 1933.
Berkat pendidikannya di
Vervolgschool, beliau dipercaya mengajar di sekolah-sekolah rakyat yang aktif
pada zaman Belanda. Kondisi penjajahan saat itu menyebabkan beliau harus
menggunakan berbagai teknik, agar minat belajar murid tetap tinggi. Upayanya
memberantas buta huruf membuat dirinya mendapat julukan “bapak guru,” kemanapun
beliau pergi.
Di usianya yang ke-20, tepatnya
30 November 1938, beliau memutuskan menikah dengan Kinemkem Br Karo.
Masuknya Jepang pada tahun 1942
mengakibatkan sekolah-sekolah Belanda harus ditutup, termasuk sekolah Zending
di Gunung Sayang, tempat LA Ginting
mengajar.
Berdagang Tembakau
Untuk memenuhi kebutuhan hidup,
LA Ginting belajar berdagang tembakau. LA Ginting membeli tembakau dari petani
di Desa Gunung Sayang yang terkenal
sebagai penghasil tembakau, kemudian menjualnya kepada para agen yang
datang dari Medan.
Beralih profesi dari seorang guru
menjadi pedagang bukanlah sesuatu yang mudah. Namun dengan prinsip “dimana ada
kemauan disitu ada jalan,” LA Ginting terus berupaya pantang menyerah.
Satu-satunya modal yang
dimilikinya hanyalah modal kepercayaan.
Beliau harus sanggup mendapat kepercayaan dari para petani untuk membayar
tembakau mereka, setelah barang itu dijual kepada pedagang dari Medan.
Usaha beliau ternyata tidak
sia-sia. Hal itu terbukti dengan banyaknya masyarakat yang memberikan hasil pertaniannya
untuk dijual. Setelah itu, barulah beliau membayar kepada petani. Untuk
menanamkan rasa kepercayaan itu, beliau bahkan mengunjungi ladang-ladang
petani. Kadang-kadang, dalam sehari, 3 atau 4 kali beliau pergi ke ladang
mencari tembakau.
Karena sarana transportasi yang
belum memadai saat itu, LA Ginting harus memanggul
sendiri barang dagangannya seberat 20 kg dari ladang petani.
Tembakau itu kemudian dipajang di depan rumahnya. Para pedagang asal Medan yang melihat mutu
tembakaunya cukup bagus, mengatakan akan membeli tembakau lagi dari beliau.
Karena sudah terjual, sang “Bapak
Guru” segera kembali ke ladang petani dan
membayar hasil pertanian mereka.
Kepercayaan masyarakat kepada
beliau ternyata tidak sia-sia. Semakin hari semakin banyak masyarakat
menitipkan hasil pertaniannya untuk dijual kepada agen yang lebih besar.
Hari-hari LA Ginting disibukkan dengan transaksi tembakau yang semakin pesat.
Pesanan dari para agen tembakau juga semakin besar.
Karena usahanya semakin
berkembang, LA Ginting kemudian menyewa
gudang kepunyaan Kwan Sun Heng, pengusaha dagang di Pasar Ikan Lama Jalan
Kereta Api 104 Medan.
Segala penjualan tembakau
dititipkan kepada Kwan Sun Heng, sementara uangnya digunakan untuk membeli
barang yang akan dijual kembali di Dairi. Karena pada masa pemerintahan Jepang, para pedagang tembakau diharuskan
memasukkan barang-barang keperluan rakyat Dairi, baru mendapat izin dari Gun
Seibu.
Dalam mencari barang-barang yang
akan dibawa pulang ke Dairi itu, LA Ginting mendapat banyak bantuan dari Kwan
Sun Heng. Sedangkan uang hasil penjualan tembakau, terkadang dipakai toke Kwan Sun Heng hingga
berbulan-bulan.
Pada masa Agresi Belanda, Kota Medan ditutup, sehingga usaha perdagangan LA
Ginting dipindahkan ke Binjai dengan menyewa satu toko di Jalan Bangkatan
Binjai. Pemasaran tembakau waktu itu difokuskan ke Pangkalansusu, Pangkalanbrandan, Kwala Simpang, dan Langsa.
Berdagang Pecah Belah
Usai Agresi Militer tahun 1949,
LA Ginting memutuskan pindah dari Tiga
Lingga ke Sidikalang. Kejelian, ketelitian, dan berbagai perencanaan matang
melihat peluang berdagang tetap dipegangnya. Disamping berdagang tembakau yang
hanya terlaksana pada hari pekan, LA
Ginting juga membuka usaha kedai kopi.
Untuk menjalankan bisnis itu,
beliau dibantu seorang pegawainya, Lusius
Situmeang, seorang yatim piatu yang sudah dianggap sebagai anaknya.
Pada saat pernikahan Lusius,
tahun 1951, LA Ginting membawa peralatan pecah belah dari Medan, seperti
piring, cangkir, periuk, gelas, ember, dan lain-lain sebagai kado pernikahan
anak angkatnya itu.
Barang pecah belah yang semula menjadi kado pernikahan itu, ternyata
disukai para tetangga. Atas permintaan mereka, LA Ginting kembali ke Medan
untuk membeli barang-barang yang dipesan para tetangganya.
Keadaan itu mengilhami LA Ginting
untuk berdagang barang pecah belah. Namun berdagang seperti itu tentunya
membutuhkan modal yang lebih besar lagi. LA Ginting kemudian menceritakan hal
itu kepada agen barang pecah belah di Medan. Ternyata agen tersebut dengan
senang hati bersedia membantu usaha yang akan dijalankan beliau.
LA Ginting diizinkan membawa barang apa saja yang cocok dipasarkan di
Sidikalang. Mengenai uang muka, sang agen tidak mempemasalahkan, yang penting
usaha tersebut berjalan lancar. Begitu besarnya kepercayaan agen tersebut,
tidak heran jika LA Ginting membawa satu truk barang pecah belah. Bahkan sewa
pengangkutan ditanggung sang agen.
Sejak itu, usaha kedai kopi LA
Ginting berubah menjadi usaha dagang peralatan dapur. LA Ginting yang sangat
mengutamakan nilai seni, berusaha menata barang dagangannya dengan rapi, mulai
dari pengepakan sampai pada cara pemasarannya.
Dalam menjalankan bisnisnya, LA
Ginting tidak hanya menunggu pembeli, tetapi juga menjajakannya ke rumah-rumah.
Pekan-pekan yang ada di kawasan Dairi seperti di Tigalingga dan Sumbul
juga dikunjunginya.
Pejuang Kemerdekaan
Di samping berdagang, LA Ginting juga aktif menjadi Laskar Rakyat, yaitu sebagai Seksi
Perbekalan pada Pertahanan rakyat Semesta yang dikomandoi Mayor Selamat Ginting pada Sektor III/VII. Beliau ikut bergerilya
melawan Belanda. Sebagai seorang pejuang, LA
Ginting telah mendapat sejumlah anugerah penghargaan dari Pemerintah RI.
Diantaranya Tanda Jasa Pahlawan dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI Soekarno
tanggal 5 Oktober 1958. Selanjutnya Satya
Lencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu dan Kedua dari Menteri Pertahanan RI
tanggal 5 Oktober 1958, Anugerah Cikal
Bakal TNI oleh Presiden Soeharto tanggal 19 Februari 1998, serta sejumlah
penghargaan lainnya.
Menjadi Importir
Pada tahun 1953, tim survey dari
Departemen Perniagaan turun ke Sidikalang untuk memilih usaha yang akan dibantu
pemerintah. Melihat bentuk penataan
barang dagangan beliau yang sangat rapi, usaha LA Ginting pun terpilih
menjadi salah satu usaha yang harus dikembangkan.
Namun saat itu beliau belum
memiliki nama atau logo usaha. Sementara salah satu syarat dalam mengisi
formulir adalah harus mencantumkan nama atau logo usaha yang terpilih.
Tanpa ragu, LA Ginting menulis “Toko
Ginting”
dengan sebatang kapur tulis di sebuah papan, lalu menggantungkannya di depan tokonya. Sangat simpel dan ekonomis.
Hingga akhirnya beliau mendapat pengakuan dari Menteri Perdagangan sebagai
seorang “Importir Midden Stant.” Hak
untuk mengimpor barang dagangan itu hanya diberikan kepada orang tertentu yang
memenuhi persyaratan.
Namun untuk menjalankan tugasnya,
beliau belum mengerti, apalagi mengenai valuta asing.
LA Ginting kemudian bertanya
kepada Djamin Ginting, mantan
komandannya yang saat itu menjabat Kepala Staf TT I Bukit Barisan. Djamin
Ginting kemudian menyarankan beliau untuk mendatangi Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Hari itu juga LA Ginting
mendatangi pimpinan BDNI, Paras Nasution.
Atas saran Nasution, beliau membuka rekening di Bank tersebut atas nama Fa Ginting, setelah diaktekan
Notaris Sutan Pane Paruhum.
Akhirnya pegawai BDNI lah yang
membimbing beliau menjalankan impor
barang pecah belah (porselen) dari Jepang, dilanjutkan dengan mengimpor mesin
jahit yang diberi merk “Ginting.” Keikutsertaannya dalam “Importir Midden Stant” membuat beliau bisa
mendapatkan barang dengan harga relatif murah, dibandingkan sewaktu
berbelanja dari agen di Medan.
Pada tahun 1956, LA Ginting memindahkan usahanya ke Medan dengan akte
perubahan menjadi Fa Ginting & Co, tepatnya di Jalan Pattimura. Tahun
1960, lokasi usahanya kembali dipindahkan ke tempat yang lebih strategis, yaitu
di Jalan Pemuda baru I No.8 Medan.
Kegiatan perdagangannya telah
menampakkan hasil. Bahkan LA Ginting berhasil menyekolahkan delapan anaknya.
Menjadi Eksportir
Kecerdasan dan ketanggapan akan
lingkungannya tetap terlintas di benak LA Ginting. Melihat di lokasi usahanya
sangat mudah mendapatkan sayur mayur, beliau
berniat mengekspor sayur mayur ke Singapura dan Malaysia. Permohonan beliau
segera disetujui Departemen Perdagangan Medan, karena pemerintah sangat menginginkan ide-ide seperti yang diusulkannya.
Akhirnya beliau mulai bertugas
mengumpulkan berbagai macam sayur mayur
dari Kabanjahe dan Berastagi, seperti kol, tomat, bawang, jahe, dan lain-lain.
Modal kepercayaan yang diterapkannya sejak awal berdagang tetap
dipegang teguh. Beliau membeli hasil pertanian masyarakat, dan dibayar setelah
barang tersebut laku terjual.
Penutup
LA Ginting hanyalah seorang anak desa yang mengandalkan tekad dan
berkat Tuhan, sehingga semua jalan terbuka bagi beliau. Sepatah kata bahasa asing pun tak diketahuinya. Namun dia berhasil
mengembangkan sayap usahanya hingga ke luar negeri.
Di usia senja, dalam umur 74
tahun, beliau masih kreatif dan tetap bersemangat mengembangkan usahanya. Pada
tahun 1992, LA Ginting masih mampu
membuka perkebunan kelapa sawit puluhan hektar di Simalungun.
Kesetiaannya dalam melayani Tuhan
sejak masa mudanya juga membuat beliau berhak menerima gelar Emeritas, pada Sidang Sinode GBKP 1984 di Jakarta.
Hak Emeritas merupakan tanda kesetiaan dalam pelayanan Gereja selama 20 tahun
terus menerus atau sekurang-kurangnya 25 tahun bila pernah terputus.
Demikianlah kehidupan Bapak LA
Ginting sejak masa kecilnya hingga hari tuanya. Beliau selalu mengharapkan
belas kasihan Tuhan Yang Maha Esa. Beliau hanya mengandalkan Sang Pencipta
sebagai penunjuk jalan dan penerang hatinya dalam kegelapan.
Sumber : Pertua Emeritus LA Ginting, Pejuang Wiraniaga, Pejuang Kemerdekaan,
serta Pejuang Kerohanian, Dk Em P Sinuraya, Medan, 2003.
Sumber : Benziks.tblog.com
Disunting Oleh: Dk. Em. P. Sinuraya
Kata Sambutan
Masih segar dalam ingatan saya,
semua peristiwa-peristiwa masa lalu. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan
rasa takjub dan heran, betapa besarnya kasih Allah yang telah mejadikan hal-hal
yang indah dalam perjalanan keluarga kami pada masa lalu hingga hari ini.
Pengalaman pada masa kanak-kanak
terutama pengalaman menanggung derita oleh karena ibunda tercinta cepat
meninggal dunia. Almarhumah meninggalkan kami bersama seorang adik yang masih
berumur 16 hari. Semua itu kini menjadi kenangan indah yang penuh dengan
liku-liku kehidupan yang tak mudah melupakannya.
Pengalama pada masa muda yang
dilalui bersamaan dengan zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan tentara
Jepang dan masa perang Kemerdekaan RI. Masa muda itu telah melibatkan saya
turut dalam perjuangan kemerdekaan RI. Pengalaman dan pergumulan di bidang
ekonomi, sejak dari pedagang kecil, menengah bahkan menjadi importir dan
eksportir didukung pula dalam pengalaman mengabdikan diri dalam pelayanan
gereja, maka saya senantiasa mengucapkan syukur atas bimbingan dan anugerah
Allah yang sangat besar.
Pengalaman menjadi ayah, suami dan kakek juga merupakan
pengalaman yang sangat indahnya. Semua pengalaman yang penuh dengan suka/duka
tersebut diyakini merupakan dan pertolongan Tuhan, sehingga pada akhirnya kami
sekeluarga dapat melaksanakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan berupa
kebaktian ucapan syukur: ”Lima Windu
Perkawinan” kami “Pt. Em. L.A. Ginting dengan K. br Pinem” diikuti dengan
kebaktian ucapan syukur Jubelium 50 Tahun perkawin, yang juga disebut “Pesta
Emas” kami, serta kebaktian ucapan syukur pada “Pesta Perkawinan Berlian 60
Tahun” sekaligus peringatan ulang tahun saya yang ke-80. Ucapan syukur yang
tiada terhingga kepada Allah yang telah menuntun keluarga kami sampai saat ini.
Buku kecil ini masih jauh dari
sempurna, akan tetapi kami berharap agar buku ini bermanfaat dan menjadi
kenang-kenangan kepada keluarga, anak cucu dan teman-temean.
Akhirnya saya ucapkan terima
kasih kepada Henni Lumban Gaol dan Dk. Em. P. Sinuraya yang telah membantu
dalam pengadaan buku ini.
Sekian dan terima kasih
Syalom,
Medan, Januari 2003
Pt. Em. L.A. Ginting
Sumber : Daulatginting.wordpress.com
Comments