Guru patimpus dan sejarah Medan, Cahaya Medan yang Semakin Redup
Secara historis, Guru Patimpus yang mendirikan sebuah kampung yang belakangan disebut Medan. Tapi, seorang Belanda bernama Jacobus Nienhuys-lah yang menjadi pendorong Medan berubah menjadi sebuah kota besar yang terkenal seantero Eropa, Amerika dan Asia.
Oleh: Indrawan
Penetapan Guru Patimpus sebagai pendiri Medan berdasarkan kesimpulan Panitia Penyusunan Sejarah Kota Medan pada 12 Agustus 1972. Lalu, pada 10 September 1973, DPRD Kota Medan dalam rapat plenonya menerima keputusan yang diambil oleh Panitia Sejarah Kota Medan itu.
Selanjutnya, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590. Penetapan itu berdasarkan waktu pertama kali Guru Patimpus membuka kampung bernama Medan itu. Perkampungan itu posisinya terletak pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (di sekitar kawasan jalan Putri Hijau sekarang), yang diberi nama Medan Putri.
Selanjutnya, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590. Penetapan itu berdasarkan waktu pertama kali Guru Patimpus membuka kampung bernama Medan itu. Perkampungan itu posisinya terletak pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (di sekitar kawasan jalan Putri Hijau sekarang), yang diberi nama Medan Putri.
Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul. Di lokasi itu, diriwayatkan merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya. Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Jhon Anderson seorang Inggris yang melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823, mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam di pertemuan antara dua sungai tersebut.
Penetapan hari jadi itu diperkuat juga oleh tulisan Tengku Luckman Sinar (1991) dalam buku The History of Medan. Menurut “Hikayat Aceh” yang tertulis di buku itu, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590. Menurut Buku “Riwayat Hamparan Perak” karangan Tengku Lukman Sinar SH terbitan tahun 1971, Guru Patimpus merupakan nenek moyang dari Datuk Hamparan Perak dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli.
Riwayat Hamparan Perak, dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu. Tapi, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar 4 Maret 1946.
Peran Guru Patimpus disambung oleh beberapa orang yang mengembangkan Medan sebagai sebuah kota yang mempunyai bangunan indah dan infrastruktur lengkap.
Seorang yang bisa dikatakan berperan adalah seorang panglima Aceh keturunan India bernama Muhammad Dalik yang bergelar Cut Bintan. Dalam sebuah pelayaran, Cut Bintan yang juga disebut sebagai Gocah Pahlawan sampai di daerah Labuhan. Ia lalu menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar tahun 1632 dan menetap hingga ajalnya.
Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun tahun 1669 memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli. Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam “Daghregister” VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.
Kesultanan Deli menjalankan politik membuka hubungan dunia luar terutama dengan Belanda untuk mengurangi pengaruh Kerajaan Aceh dan Siak. Masa kejayaan politik luar negeri Kerajaan Deli berada di tangan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
Pada tanggal 6 Juli 1863, seorang pemuda Belanda, Jacobus Nienhuys dan beberapa wakil perusahaan dagang JF van Leeuwen en Mainz & Co membongkar sauh kapal Josephine di muara Sungai Deli.
Nienhuys tiba bersama Van der Valk dan Elliot. Ketiganya dipercaya oleh perusahaan yang sama. Tapi begitu melihat kondisi Medan atau tepatnya masih disebut sebagai Kerajaan Deli, Van der Valk dan Elliot memilih pulang ke Jawa. Deli masih hutan belantara. Di Jawa, mereka biasanya menyewa lahan rakyat yang sudah digarap dan siap tanam.
Nienhuys, mencoba bertahan dan berkenalan dengan Sultan Mahmud Perkasa Alam. Akhirnya Nienhuys diberikan hak pakai lahan selama 20 tahun tanpa perjanjian sewa. Lokasinya berada di Tanjung Sepassai seluas 4.000 bahu. Satu bahu sama dengan 8.000 meter bujur sangkar. Dari sinilah sejarah perkebunan dimulai di Sumatera Utara.
Pada Maret 1864, Nienhuys mengirimkan contoh panen tembakau pertama ke Rotterdam. Para pedagang di Eropa mengakui daun tembakau deli sebagai pembalut cerutu terbaik yang pernah ada pada waktu itu.
Reputasi tembakau deli segera bocor ke mana-mana, termasuk di Amerika. Pendatang dan pemodal mulai mengalir ke Deli. Kebun-kebun tembakau baru dibuka. Tapi, lahan yang cocok untuk tembakau deli hanyalah antara Sungai Ular di Deliserdang dan Sungai Wampu di Langkat.
Kegagalan penanaman tembakau di luar areal emas Sei Ular-Sei Wampu ternyata membawa hikmah sendiri. Para penanam modal yang tidak ingin rugi mengalihkan tanamannya ke karet, sawit dan teh.
Nienhuys akhirnya makin berkembang dan mendirikan perusahaan pertama yang berlokasi di Tanah Deli pada tahun 1868. Namanya De Deli Maatschappij atau Maskapai Deli.
Kehadiran Maskapai Deli telah memberikan karakter baru pada kehidupan sosial di Tanah Deli. Masyarakat dunia berbondong-bondong datang untuk bekerja atau berniaga. Mereka berasal dari Cina, India, Timur Tengah, Eropa, Afrika dan negara-negara tetangga. Deli saat itu benar-benar jadi primadona.
Hingga tahun 1891, tercatat 170 perkebunan telah beroperasi antara Asahan hingga Langkat. Untuk kelancaran usaha, mereka pun mulai membangun infrastruktur permanen. Jalan-jalan utama dibuka, sejumlah pelabuhan dibangun di pesisir pantai timur, dan terakhir jalur kereta api “moderen” ditarik dari Deli ke Labuhan.
Pada tahun 1867, orang masih tidak mengenal Kota Medan. Yang ada hanya Kota Labuhan.Ketika De Deli Maatschappij berkembang dan kebun-kebunnya meluas, Nienhuys memutuskan memindahkan kantornya ke kawasan Kesawan. Alasannya, lokasi itu lebih tinggi dan bebas dari banjir seperti yang sering terjadi di Labuhan. Untuk memasok kebutuhan perkebunan, para pedagang Cina, Minangkabau, Eropa, India pun ikut membangun pertokoan di sekitar Kampung Kesawan.
Lama-lama, kawasan antara kantor Maskapai Deli (Medan Putri) dan Kesawan menjadi ramai, dan terbentuklah Medan sebagai sebuah kota. Kota ini bisa dibilang kota paling moderen dan indah di Asia hingga tahun 1960-an. Perkembangan pesat Medan Putri sebagai pusat perdagangan mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. 1 Maret 1887, Ibukota Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Istana Kesultanan Deli yang berada di kampung Bahari (Labuhan) juga pindah ke Medan dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada 18 Mei 1891.
Salah satu pendatang yaitu Tjong A Fie. Ia datang dari Canton tahun 1875, mengadu peruntungannya di Tanah Deli bersama abangnya Tjong Yong Hian. Dia membangun hubungan baik dengan Sultan Deli dan kaum Belanda pemilik perkebunan, sehingga kemudia dia ditunjuk sebagai “Majoor der Chineezen” atau Pemimpin komunitas China. Rumah Tjong A Fie di Kesawan rampung sekitar tahun 1900-an, sebuah bangunan dengan perpaduan arsitektur, China-Eropa dan Art Deco. Tahun 1913 dia menyumbangkan jam kota untuk gedung Balai Kota.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan-Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, RS Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Bahkan, pada tahun 1879, sudah ada orang-orang Eropa yang akan menerbangkan pesawat ke tanah Deli. Pihak Deli Maskapai sudah menyediakan lahan pendaratan di lokasi Bandara Polonia sekarang. Namun, pendaratan baru terjadi pada 1924.Nama Polonia berasal dari nama negara asal para pembangunnya, Polandia (Polonia merupakan nama “Polandia” dalam bahasa Latin). Sebelum menjadi bandar udara, kawasan tersebut merupakan lahan perkebunan milik orang Polandia bernama Baron Michalsky. Tahun 1872 dia mendapat konsesi dari Pemerintah Belanda untuk membuka perkebunan tembakau di Sumatra Timur di daerah Medan. Kemudian dia menamakan daerah itu dengan nama Polonia.
Tahun 1879 karena suatu hal, konsesi atas tanah perkebunan itu berpindah tangan kepada Deli Maatschappij (Deli MIJ) atau NV Deli Maskapai. Pada tahun 1924, pesawat Fokker yang diawaki van der Hoop bersama VN Poelman dan van der Broeke mendarat di lapangan pacuan kuda yakni Deli Renvereeniging.
Setelah pesawat pertama mendarat di Medan, pembangunan Bandara Polonia pun digesa. Pada 1928 lapangan terbang Polonia dibuka secara resmi, ditandai dengan mendaratnya enam pesawat udara. Bahkan, sejak tahun 1930, perusahaan penerbangan Belanda KLM serta anak perusahaannya KNILM membuka jaringan penerbangan ke Medan secara berkala. Seandainya Nienhuys juga kembali ke Jawa, mungkin sejarah akan lain.(*)
sumber : Harian SumutPos.com
Comments