Risalah rapat umum / Dewan Perhimpunan Seni dan
Ilmu Pengetahuan Batavia, Edisi 36, 1 Januari 1898
Lampiran IV
Lampiran IV
KETERANGAN
BEBERAPA
BENDA KARAUW,
DITAWARKAN OLEH
DATOEQ Seri Indra LELA SETIJA
RADJA, Wazir SAPOELOEH Doewa Kotta (HADJI MOHAMMAD NOER OF Hamparan Perak).
Informasi yang disediakan oleh
Sibajak dari Sungei Sipoet (Bekalla) serta Semaloen Semina dari Taboeran.
No. 1. Tjapah. (Karauw dan Melayu). Sebuah benda berbahan kayu bulat untuk
tempat hidangan makanan, yang dibuat oleh orang-orang dari banir kajoe (bongkol pada akar beberapa pohon) dari berbagai kayu. Bentuk bulat tersebut diperoleh dengan
cara meletakkan paku di tengah potongan kayu lalu dengan dipasang tali untuk
menggambar lingkaran. Pengolahan lebih lanjut dilakukan dengan memakai sekin (Melayu : parang), sebuah raoet (Mal : pisauw raoet) dan pahat
(Mal : pahat = pahat). Waktu pembuatan: dua hari.
Catatan yang dibuat:
Para Karauw makan dua kali
sehari, sekitar jam 7 di pagi hari dan sekitar jam 7 di malam hari. Mereka
bekerja di hutan, dari jam 10:00 hingga jam 07:00 malam. Saat makan malam jam,
kumpul keluarga di sekitar "tjapah,”
dimana nasi hangat terhidang menunggu diraup dan terhidang juga seperti makanan
yang berbahan babi, kerbau atau daging rusa, dll, dan sajoer : Goelai-goelai2
(Karauw).
Karawu makan dengan menggunakan tangan .
Yang juga dimakan : Kerang : tjih (Kar.) = Sipoet (Mal), kura-kura sungai : lebauw (Kar.) = Labi-labi (Mal), anjing: Bijang (Kar.), Kucing : koetjing (Kar. dan Mal.), semua jenis ikan sungai dan ikan laut. Ikan: binoeroeng (Kar.); monyet : Kera (berekor panjang), beng kala (berekor pendek), iembauw (Kar. dan Mal .) lotoang (Kar. dan Mal.) koelikap (Kar.) = Kiah-Kiah (Mal).
Dinyatakan Karauw
tidak pernah makan daging manusia. Ular dimakan oleh orang Timur dan Teba
(Toba) Batak, tetapi tidak oleh Karauw dan karena alasan berikut : Karauw,
mengatakan sekali waktu timbul sukacita dan takjub, bahwa kuantitas tanaman
padi dalam : Keben
(Kar.) = koelit (Mal) tidak berkurang. Penyebab terjadinya fenomena ini dicari,
ditemukan adanya ular. Sejak temuan itu, pembunuhan terhadap spesies ular
adalah : Pantang (Mal) = kemali (Kar.).
Kemudian, dengan perluasan (untuk menghindari kesalahan) memasukkan semua
spesies ular dalam hal berpantang membunuhnya.
Jika seorang
gadis Karauw menikah, dia mendapat dari
orangtuanya : mangkuk putih: peboerihan
(. Kar.) = Basoeh Tangan (Mal) seperti mangkuk, sebuah koedin atau koelin:
prioek (Mal) tembaga atau besi, tikar: Amak
(Kar.) dan selanjutnya padi selama setahun.
No. 2. Lesoeng (Mal dan Kar.) = Tempat Menumbuk Padi.
Bahan Lesoeng
sebagian besar berasal dari Teras Kajoe
atau batang nangka, dibuat oleh seorang pandei (Kar.) = Toekang (Mal) bersama
warga kampong : koeta (Kar.). Jumlah
lobangnya 11 - 9 – 7 -5 – 3 – 1 (jumlah
ganjil) lubang, dalam kampong-kampong besar biasanya berada tengah koeta, di kampung kecil berada di sepanjang salah satu
dari deretan rumah-rumah, dan ditempatkan pada tingkat yang relatif lebih tinggi
dari tanah. Dibuatlah perancah kayu, untuk mencegah beras kotor oleh babi,
anjing, sapi atau kuda. Pada permulaan pemakaian Lesoeng yang diproduksi,
seorang pria sebagai kepala pandei melakukan penghormatan pada penunggu kayu
tersebut.
Dikurbankan untuk
penunggu atau roh itu. Kurban ini terdiri atas dari darah, kuku, jantung, lambung, hati dan usus ayam merah: manoek (ayam) saboegan (laki-laki) megara
(merah) bersama dengan tjabe: latjina
(Kar.) dan garam: sira (Kar.). Ramuan
ini sedikit dilumuri sepanjang mulut Lesoeng oleh pandei, atau guru, yang
kemudian berkata, "saya menawarkan Anda makan ini untuk memohon
berdasarkan permintaan penduduk kampong agar tidak datang penyakit atau kecelakaan
dari pembuatan beras ini.”
Jika mantra
ini berakhir, Lesoeng siap untuk digunakan, beberapa hasil dari penumbukan
beras dicampur dengan gula: goela toewalah (Kar.), menghasilkan kelezatan: tjempa gab-gabo panas serta dikonsumsi
oleh penduduk koeta - tjempa (Kar.) =
tepoeng (Mal). Malam harinya di tempat menumbuk beras ini , selama proses
penumbukan beras, biasanya antara anak perempuan dan laki-laki muda dari koeta tersebut mengambil kesempatan berpacaran.
No. 3. Sëngkir atau sangkirbelioeng (Kar.) = kapak bergagang. Belioeng tersebut,
ditempa dari besi, dibeli ke Medan. Oleh Pandei, batangnya biasanya diukir. Alat
ini digunakan untuk menebang pohon.
No. 4. Koelin atau koedin (Kar.) - terbuat dari tanah, panci untuk nasi atau sajoer. Dibuat dengan tangan oleh
perempuan, berbahan tanah daah (tanah
liat) serta kersik (pasir).
Pembentukan berlangsung dengan menyimpan bola berongga tanah liat dengan
potongan datar dari kayu dan menggosok dengan kain. Permukaan halus yang
diperoleh pot ini terbentuk, maka dijemur dua atau tiga hari, dan kemudian
dibakar dengan api menggunakan ilalang kering - pembakaran: toetoeng (Kar.) Pot tanah liat dijual di
Goenoeng seharga 8 sampai 10 sen
masing-masing.
Pot ini
dibuat oleh orang Karauw di koeta Djoehar,
Merdiendieng serta Boelan Djahe.
Bersambung ke bahagian 2
Catatan :
Sibajak Sipoet yang dimaksud di
tulisan itu adalah Sibayak Lau Cih (Sungai Siput) yang berkedudukan di Lau Cih.
Lau Cih berada sekitar 12 Km dari pusat Kota Medan (Kantor Pos) ke arah
Berastagi. Belum sampai Pancurbatu. Di masa kolonial, banyak rumah adat Karo di
Lau Cih yang dibakar oleh laskar pada masa Agresi Militer Belanda II (1949).
Tulisan dalam bahasa Belanda selengkapnya di Tentang Karo dari Sibajak dariSungai Sipoet (Bekala) 1898, dan mohon maaf bila penterjemahan belum begitu baik. Bujur.
Comments