Oleh: Suprayitno
Dosen Sejarah Fakultas Sastra USU Medan
PADA April 2008, Tim Peneliti Gabungan dari Indonesia,
Singapura, dan Amerika Serikat menemukan situs Kota Rantang yang terletak di
Kec. Hamparan Perak, Deli Serdang. Temuan itu berupa keramik, potongan kayu
bekas kapal, batu bata dan nisan. Koordinator kegiatan penggalian situs, Nani H
Wibisono dalam salah satu media Jakarta terbitan 24 April 2008 mengatakan,
aneka keramik yang ditemukan paling banyak berasal dari Dinasti Yuan abad
ke-13-14. Selain itu ada keramik dari Dinasti Ming abad ke-15, keramik Vietnam
abad ke-14-16, keramik Thailand abad ke-14-16, keramik Burma abad ke-14-16, dan
keramik Khmer abad ke-12- 14. Adapun batu nisan yang ditemukan di lokasi
bergaya Islam bertuliskan syahadat tanpa ada angka tahun.
Temuan situs Kota Rantang kembali mengingatkan kita kepada
temuan situs Kota China di Labuhan Deli yang ditemukan pada tahun 1970-an. Yang
menarik dari komentar para ahli sejarah dan arkeologi tentang temuan itu
adalah, temuan di kedua situs itu selalu dihubungkaitkan dengan keberadaan
Kerajaan Aru. Pertanyaannya: benarkah demikian? Bagaimanakah temuan-temuan di
lokasi tersebut berkaitan dengan Kerajaan Aru, dan bisa dipahami oleh publik
secara logik? Tulisan singkat ini berupaya menjawab soalan itu berdasarkan batu
nisan Aceh yang berada di situs Kota Rantang.
Kerajaan Aru
Dimanakah lokasi Kerajaan Aru dan benarkah Kerajaan Aru itu
wujud dalam sejarah Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Jika benar, siapakah
nama rajanya, bagaimanakah kehidupan sosial-ekonomi penduduk dan hasil bumi
negeri itu. Pertanyaan ini penting untuk dijelaskan lebih awal sebagai entri
point untuk menjelaskan isu tersebut diatas. Sebagaimana diketahui, catatan
atau rekord tentang Kerajaan Aru sangat terbatas sekali. Menurut Ma Huan dalam
Ying Yai Sheng Lan (1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang
dikenal dengan “fresh water estuary”. A.H. Gilles sebagaimana dikutip J.V.G.
Mills menyatakan “fresh water estuary” adalah muara Sungai Deli. Oleh karena
itu Gilles menegaskan bahwa lokasi Aru berada di sekitar Belawan (3o 47` U 98o
41` T) wilayah Deli Pantai Timur Sumatera. Di sebelah selatan, Aru berbatasan
dengan Bukit Barisan, di sebelah utara dengan Laut, di sebelah barat
bertetangga dengan Sumentala (Samudera Pasai) dan di sebelah timur berbatasan
dengan tanah datar. Untuk sampai ke
Kerajaan Aru, dibutuhkan pelayaran dari Melaka selama 4 hari 4 malam dengan
kondisi angin yang baik.
Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru
berseberangan dengan Pulau Sembilan (wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia),
dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan
kondisi angin yang baik. Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)
Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan
dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari. Semua sumber China
itu mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah Sumatera Utara,
karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai. Samudera Pasai sudah
jelas terbukti berdasarkan bukti arekologi berupa makam Sultan Malik Al-Saleh
posisinya berada di daerah antara Sungai Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan
Sungai Pasai (Krueng Pase) di Aceh Utara.
Namun, lokasi pusat Kerajaan Aru yang disebutkan dalam sumber
China itu memang belum dapat dikenali pasti karena, bukti-bukti pendukung
lainnya, khususnya bekas istana, makam-makam diraja Aru dsb. belum ditemukan.
Dua lokasi tempat ditemukannya sisa-sisa keramik China, nisan, dan lain-lainnya
sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini belum dapat dijadikan bukti yang
kuat. Hasil-hasil penggalian di kota China (Labuhan Deli) dan Kota Rantang
sementara hanya membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang
penting sebagai tempat aktifitas perdagangan dengan para pedagang asing dari
China, Siam dan lain-lain.
Ada beberapa pendapat tentang lokasi Kerajaan Aru.
Groeneveldt (1960:95) menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara
Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara
ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu
(Teluk Haru/Langkat). Pendapat terakhir ini tampaknya sesuai dengan keterangan
geografi dari salah satu sumber China di atas, yakni berhadapan dengan Pulau
Sembilan di Pantai Perak Malaysia. Memang apabila ditarik garis lurus dari
Pulau Sembilan menyeberangi Selat Melaka akan bertemu dengan Teluk Haru yang
terletak di Muara Sungai Wampu. Tetapi hingga hari ini didaerah itu belum ada
ditemukan bukti-bukti arkeologis yang dapat mendukung pernyataan tersebut.
Sesuai dengan sistem transportasi zaman dahulu yang masih
bertumpu kepada jalur sungai, dapat kita pastikan bahwa bandar-bandar
perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah kekuasaan politik
(kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai. Dalam konteks ini, maka di
sepanjang pantai Sumatera Timur, ada beberapa sungai besar yang bermuara ke
Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun, Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai
Bedera. Dua sungai yang disebut terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya
(Hamparan Perak). Jika demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal,
apalagi dihubungkaitkan dengan beberapa temuan-temuan arkeologis di Kota
Rantang dan Labuhan Deli.
Tiga buah sungai yang disebutkan terakhir itu juga merupakan
jalur lalulintas penting sepanjang sejarah, setidaknya sebelum penjajah Belanda
membangun jalan raya pada awal abad ke-20, bagi orang-orang Karo untuk
berniaga, sekaligus bermigrasi ke pesisir pantai Sumatera Timur/Selat Melaka.
Dalam sejarah Melayu, ada disebutkan tentang nama-nama pembesar Aru yang erat
kaitannya dengan nama-nama/marga orang Karo, seperti Serbanyaman Raja Purba dan
Raja Kembat dan nama Aru atau Haru juga dapat dikaitkan dengan Karo. Jika
informasi ini dikaitkan, maka pusat Kerajaan Aru memang berada di muara-muara
sungai tersebut. Namun, secara pasti belum dapat ditetapkan, apakah di sekitar
Muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat) atau di sekitar Belawan.
Dalam Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin, pada sekitar abad
ke-15 M wilayah Kerajaan Aru meliputi seluruh Pesisir Timur Sumatera dari
Tamiang sampai ke Rokan dan bahkan sampai ke Mandailing dan Barus. Jika begitu
yang boleh kita pastikan adalah wilayah Kerajaan Aru berada di sebagian Pantai
Timur Sumatera yang sekarang menjadi wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penguasa.
Siapakah penguasa Kerajaan Aru? Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang
(1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488 dipimpin oleh
Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di kota
Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai karena Raja Pasai menghina
utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Pasai.
T.Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya
adalah Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut beliau ada
kesalahan tulis antara wau pada akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat
adalah “…yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota
Hilir. Dari nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah Melayu,
seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip
dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada daerah bernama
Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang
berasal dari Suku Karo. Tetapi nama tokoh Maharaja Diraja anak Sultan Sujak
masih perlu diperbandingkan dengan sumber lain untuk membuktikan kebenarannya.
Sebutan Maharaja Diraja adalah sebuah gelar bagi seorang raja, bukan nama
sebenarnya dan apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru yang pertama atau apakah
itu gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini sukar untuk memastikannya.
Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja
Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa
upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber
bandingannya dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun
demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat
dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu. Sulutang
Hutsin adalah sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin. Nama
Sultan Husin juga telah disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai
penguasa Aru sekaligus menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir
1488-1528.
Disebutkan, Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama
dengan Raja-raja Melayu lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas
undangan Sultan Mahmud Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di
Kampar karena Melaka sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi Melayu
melawan Portugis. Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan bahwa nama Sultan
Husin sebagaimana disebut dalam catatan China dan Sejarah Melayu secara
historis dapat dibenarkan. Dengan demikian hanya itulah nama-nama yang tercatat
sebagai penguasa Aru. Namun nama itu secara arkeologis hingga hari ini belum
dapat dibuktikan, maksudnya belum ada temuan berupa batu nisan atau mata uang
yang memuat nama tersebut.
Sosial Ekonomi
Bagaimanakah keadaan sosial-ekonomi penduduk Aru? Raja Aru
dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai
Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu,
kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya
merupakan pendakwah dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah
Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13. Oleh karena itu, dapat
dipastikan agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak sejak abad ke-13.
Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa batu nisan Sultan
Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh 1270-1297, dan kunjungan
Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber itu sudah valid dan
kredibel.
Sumber-sumber China menyebutkan bahwa adat istiadat seperti
perkawinan, adat penguburan mayat, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Kerajaan
Aru sama dengan Kerajaan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian
penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena
tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar
penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti
kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya
juga sudah mengkonsumsi susu (maksudnya mungkin susu kambing). Apabila pergi ke
hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan
laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas
terbuka. Hasil-hasil bumi negeri itu mereka barter dengan barang-barang dari
pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain.
(Groeneveldt, 1960: 94-96).
Kerajaan Aru telah terwujud pada abad ke-13, sebagaimana
beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan
1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam
Kompas, 24 April 2008). Ketika itu telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang
berusaha mendominasi wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia
Tenggara). Singosari berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan
melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar
China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari, seperti
Melayu (Jambi) dan Aru/Haru. Sementara
dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik.
Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca
bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit,
termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan
Madahaling.
Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi
kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat
Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan
1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu
membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata
kaisar China. Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah
berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat
Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim
utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri yang merdeka
saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau
persembahan/surat kepada Kaisar China.
Oleh karena itu dapat dipastikan Kerajaan Aru pada abad ke-15
adalah negeri yang merdeka dan berusaha pula untuk mendominasi perdagangan di
sekitar Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai dan
menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah Melayu.
Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding dengan
Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua
utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran
kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah
itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan
kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad
ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan
politik.
Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk dijadikan
sekutu melawan Melaka. Akan tetapi
hubungan Aru dengan Melaka tetap harmonis. Pada saat Sultan Melaka (Sultan
Mahmud Shah) diserang oleh Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang
membantu Melaka. Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan
Mahmud Shah pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi
putri Sultan Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi
medan pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang
pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian
menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang
Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan November 1539.
Aru berhasil dikuasai Aceh dan Sultan Abdullah ditempatkan
sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru melarikan diri ke Melaka untuk
meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis, Pero de Faria. (M.Said, 2007:
164). Dengan bukti-bukti itu secara tertulis, jelas Kerajaan Aru memang pernah
wujud di Pantai Timur Sumatera paling tidak sejak abad ke 13 hingga awal abad
ke-16. Namun benarkah istananya terdapat disekitar Belawan (Muara Sungai Deli)
atau di Muara Sungai Barumun di Padang Lawas, masih perlu dikaji lebih teliti
dengan memerlukan banyak bukti.
(wns)
sumber: WASPADA ONLINE, Minggu, 18 Mei 2008 00:59 WIB
Catatan:
Terdapat kesalahan yang menurut EE. McKinnon, nama tersebut
bukan ‘Kota Rantang’ tetapi ‘Kota Rentang’. Hal ini didasarkan kepada
sumber-sumber Melayu klasik.
Comments