Di seberang masjid Al Osmani dulu, ada Istana
Kerajaan Melayu Deli. Istana kerajaan itu dibangun ketika Tuanku Panglima
Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu
itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli. Pemindahan itu dilakukan
setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah
kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.
Masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan
dengan Istana Kerajaan Melayu di Labuhan Deli berlangsung pada 1728-1761, yang
kemudian diteruskan putranya Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805) dan
Sultan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850). Lalu Sultan Osman Perkasa Alam
(1850-1858), Sulthan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873), dan Sultan Ma'mum Al
Rasyid Perkasa Alam (1873-1924). Pada masa Sultan Maâmum Al Rasyid Perkasa Alam
itulah Istana Kerajaan Melayu dipindah kembali ke daerah Padang Datar.
Lokasi istana sultan berada tidak jauh dari
Pekan dan Labuhan. Tentang bangunan istana sultan, Veth menuliskannya sebagai
berikut :
bahwa
bangunan istana sultan yang berbentuk rumah panggung dan terbuat dari papan ini
sangat luas. Istana ini berdiri di atas tiang yang tingginya hampir 4 meter di
atas tanah. Ruang depan istana ini tidak memiliki tiang di tengahnya ditutupi
oleh bubungan atap yang tinggi sehingga menggambarkan ruang yang lebar dan
nyaman dengan dinding yang diberi jeruji. Ruang ini dapat menampung ratusan
orang yang datang pada upacara-upacara tertentu di istana sultan. Antara ruang
depan dan ruang belakang dihubungkan oleh koridor beratap yang memanjang.
Istana ini
dipagari oleh tonggak-tonggak kayu dengan ujung yang tajam. Di samping pintu
gerbang yang berfungsi sebagai jalan masuk, terdapat bangunan rumah mayat orang
Batak (Karo) yang berdiri di atas empat tiang yang rendah, beratap ijuk dengan
hiasan-hiasan warna khas Batak (Karo).
Rumah mayat
ini dibangun oleh kepala suku-kepala suku Batak (Karo) sebagai tanda pengakuan
terhadap wewenang sultan, sehingga jika ada seorang sultan yang meninggal
mereka akan membangun rumah itu sesuai dengan tradisi dalam kepercayaan mereka
walaupun mayat sultan tidak ditempatkan di situ.
(P.J. Verth,
“Het Landschap Deli op Sumatera”; TNAG,
Deel II, 1877.)
Sumber :
Diskusi di Group FB Jamburta Merga Silima :
- Juara R Ginting Siapa informan Tuan Veth? Saya pernah membaca literatur yang lebih tua (mungkin tapi belum pasti di John Anderson) di mana sultan mengatakan kepada seorang pengunjung (orang Barat), bahwa itu adalah tempat penyimpanan tulang belulang nenek moyangnya (yang digali kembali dari kuburan), bukan tempat mayat sultan. Geriten adalah representasi dari "rumah" (ancestral house) yang berada di dunia nenek moyang (ancestors) atau di antropologi sering disebut the world of the death atau juga the world of ancestors. Raja-raja Karo membangun tempat itu kepada sultan sebagai hadiah (gift) dari seorang kalimbubu ke anak beru. Kalimbubu adalah representasi dari nenek moyang (ancestor) alias dibata ni idah. "Enda enggo sikap bahan kami rumahndu ras ninindu i JADAH," begitulah kira2 ungkapan raja-raja Karo khususnya Datuk Sunggal sebagai kalimbubu/ ulun jandi dari Deli. Kalau ada yang mengatakan itu pertanda takluk pada sultan, maka kita orang Karo yang mewakili nenek moyang sultan Deli berani berkata: "TAKAL NINIM KAL, YA!"
- Edi Sembiring hahahhaa..... padahal yang dimaksud, kuterima kau kembali ke haribaan nini-ninimu hahha..
- Juara R Ginting Betul sekali, Di. Ini pemutarabalikan. Sama dengan Karo yang secara resmi menjadi Ulon Jandi dari Deli (ulon jandi sama artinya dengan anak taneh), dikatakan pula sebagai migrant ke Deli agar Sultan Deli yang menerima sewa tanah. Jadilah Perang Sunggal tu, wak.
- Edi Sembiring Perkiraan teliti pertama tentang jumlah penduduk Kesultanan Deli pada 1876 mencatat 11.963 orang Melayu, 20.060 Karo dan 4.543 Cina dan lain-lainnya.
Dari : E.A. Halewijn, "Geographische en Ethnographishe gegevens betreffende het Rijk van Deli," TBG, 23, halaman 147-158.
Sebagian besar perkiraan penduduk seluruh Sumatera Timur sebelum tahun 1880 mencatat angka kurang dari 150.000.
Catatan kaki di halaman 113 dari buku "Sumatera, Revolusi dan Elite Tradisional," karangan Anthony Reid, Komunitas Bambu, 2011.
http://karosiadi.blogspot.com/2012/07/orang-karo-lebih-banyak-di-kesultanan.html
- Juara R Ginting Itu di tahun 1876, ya. Perkebunan asing di Deli baru mulai tahun 1862, itu pun masih percobaan di dekat rumah sultan di Labuhan Deli. Bayangkan, jumlah penduduk Karo sudah jauh lebih tinggi dari Melayu di Deli pada tahun 1876 (Belum ada buruh Tamil maupun Jawa, masih China dan belum ada orang Batak manapun juga). Itu pula yang dikatakan sebagai pendatang ke Deli. Kusu kula. Saat itu belum ada alasan orang Karo bermigrasi ke Deli oleh karena pertumbuhan perkebunan asing. Itu memang Taneh Karo.
- Juara R Ginting Ingat, Permaisuri Deli adalah Nang Baluan br Surbakti berasal dari Sunggal. Kedudukan Nang Baluan diantara semua istri dari Sultan adalah seperti kedudukan Puang Bolon di Simalungun. Karena itu, Sunggal berperan sebagai Ulon Jandi (Kalimbubu Simbelin) dan Sultan Deli sebagai Anak Beru Tua. Hubungan dasar adalah anakberu--kalimbubu. Ingat, hubungan seperti ini terjadi di mana-mana di Asia Tenggara (Indonesia, Malysia, Philipina, dll) termasuk berlaku di Kerajaan Majapahit. Di kampung-kampung Karo sebelum kolonial juga menganut double leadership (pengulu bale dan pengulu si lebe merdang).
- Edi Sembiring bang penulisan sejarah oleh dinas pariwisata medan ini sudah benar :
sejarah Kota Medan dalam lintasan sejarah Urung-Urung yang meliputi : - Urung Hamparan Perak XII Kuta, - Urung Serbanyaman, - Urung Sukapiring, dan - Urung Senembah Urung adalah kerajaan-kerajaan kecil suku Karo dengan Raja Urung Datuk itam (dari Urung serbanyaman) sebagai raja Urung yang terkuat dan memiliki wilayah Urung yang terluas pula.
Urung Serbanyaman merupakan kalimbubu dalam sejarah Kesultanan Deli. Kampung-kampung Karo yang baru didirikan disebut kuta yang menjadi kepala kampungnya adalah marga yang membuka kampung tersebut di mana para kepala kampung masih menjalin hubugan yang erat dengan para kepala kampung induknya di dataran tinggi (Sinar, 2009).
Kampung-kampung yang baru layaknya sebagai koloni baru bersifat otonom. Kalau sebuah kampung didirikan oleh dua atau beberapa marga, maka masing-masing marga akan mengepalai satu koloni yang disebut dengan kesain dari kampung bersangkutan. Kepala kampung ini disebut penghulu atau raja dan bila ia berasal dari keturunan bangsawan disebut dengan sibayak. Dalam menjalankan tugasnya, seorang penghulu didampingi oleh Anak Beru, Senina, Kalimbubu, Anak Beru Menteri, dan Pertua Kuta.
Apabila suatu “kuta” baru didirikan oleh orang dari kampung induk, maka kampung tersebut “Perbapaan” yaitu tempat penduduk di “kuta” yang baru mengadu bila terjadi permasalahan pada masyarakatnya. Tingkatan lebih tinggi dari “Perbapaan” disebut “Urung”.
“Urung” empat suku di Deli (nama Kota Medan dahulu) yaitu Sunggal, Sepuluh Dua Kuta Hamparan Perak, Senenbah dan Sukapiring, dibagi lagi atas dua wilayah yaitu: 1. Sinuan Bunga yang meliputi daerah-daerah yang berbatasan dengan dataran pesisir tempat bermukim suku Melayu, dan 2. Sinuan Gambir yang meliputi wilayah-wilayah masyarakat Karo yang berbatasan dan bersatu dengan daerah hulu sampai ke dataran tinggi Karo.
..........................
http://www.disbudpar.pemkomedan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=360&Itemid=109
- Juara R Ginting Sudah lumayan benar (karena sang penulis adalah keturunan dari Nang Baluan br Surbakti yang nantinya menjadi Sultan Serdang). Tapi ada beberapa hal yang masih perlu dikoreksi. Urung Hamparan Perak XII seharusnya diganti menjadi Urung XII Lau Cih karena XII Kuta Hamparan Perak adalah Kejuruan (alias Melayu), bukan urung. KOreksi lainnya, daerah Sinuan Gambir itu hanya sebatas Karo Jahe bagian Hulu, tidak sampai ke Karo Gugung. Karo Jahe terbagi dua, yaitu: Sinuan Bunga (daerah perkebunan kapas) dan Sinuan Gambir (daerah perkebunan gambir).
- Juara R Ginting Koreksi lainnya, kampung Karo selalu didirikan oleh paling sedikit 4 merga yang berhubungan satu sama lain sebagai sembuyak, anak beru, kalimbubu dan senina (terpancar di susunan jabu suki rumah adat Karo: Sembuyak= Bena Kayu; Anak Beru= Ujung Kayu; Kalimbubu= Lepar Bena Kayu; Senina= Lepar Ujung Kayu).
- Juara R Ginting Sebuah pemukiman disebut kuta bila pernah di situ didirikan rumah adat paling tidak siempat jabu agar tercapai ikatan sembuyak, anak beru, kalimbubu dan senina (orang Karo pre kolonial tak mengenal sangkep sitelu tapi yang ada Nini Siempat Terpuk).
Catatan tambahan :
Jauh sebelum Belanda menguasai Deli, bandar Labuhan
Deli sudah menjadi pelabuhan sungai penting yang ramai dan malah menjadi
“jembatan” penghubung antara Sumatera Timur dengan Pantai Melayu. Bandar ini
pun sudah mampu menampung kegiatan ekspor impor barang-barang dagangan dari dan
ke luar wilayah Kerajaan Deli.
Bandar ini pun sudah mampu menampung kegiatan
ekspor impor barang-barang dagangan dari dan ke luar wilayah Kerajaan Deli.
Ketika Anderson berkunjung ke Deli (1823) ia mencatat barang-barang yang telah
diekspor dari bandar ini antara lain: lada, beras, tembakau, ikan kering,
gambir, kapur barus, hasil-hasil hutan, dan emas. Adapun barang-barang impor
yang masuk melalui bandar ini misalnya: tekstil, candu, barang pecah belah,
senapan, dan mesiu.
Gambar : Lokasi Labuhan Deli
Sumber: Tengku H.M. Lah Husny, Lintasan
Peradaban, Medan: BP Husny, hal. 29
|
Tidak jauh dari bandar itu terdapat pekan sebagai
tempat bertemunya pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi dagang. Pekan
ini berada di pinggir kiri kanan jalan yang memanjang sehingga seakan-akan
membentuk suatu perkampungan. Di pasar itu terdapat bangunan-bangunan rumah
panggung yang saling bersentuhan.
Rumah ini dibangun di atas tiangtiang yang
tingginya 1 meter di atas tanah, dengan atap rendah yang terbuat dari daun nipah.
Untuk memasukkan sinar atau udara, atau untuk mengeluarkan asap, atap-atap ini diberi
sebuah lubang yang diberi klep.
Sebagian besar rumah-rumah ini terbuat dari
bambu, atau nibung, atau kajang, walau ada juga yang dari kayu. Di hampir semua
rumah terdapat barang-barang yang diperdagangkan yang diletakkan di atas bangku
dari bambu. Barang-barang yang diperdagangkan di pasar itu bermacam-macam, ada
buah-buahan, ikan asin. keperluan mengunyah sirih, tekstil dari Aceh dan Eropa,
hasil-hasil kerajinan barang-barang dari besi, dan lain sebagainya. Di beberapa
rumah diproduksi minyak kelapa yang murah harganya tetapi baik mutunya.
Perdagangan dilakukan dengan sistem barter,
terutama dengan penduduk pedalaman, atau pembayaran. Sebelum kedatangan
Belanda, mata uang yang beredar di Deli adalah pilaar matten (dolar
Spanyol), yang banyak disukai oleh orang-orang Batak. Uang ringgit burung
biasanya dipakai di Penang dan mata uang Deli yang disebut haartjes
duiten yang telah dibuat sejak zaman nenek moyang Deli.
Para pedagang tidak hanya penduduk pribumi
tetapi ada orang-orang Cina yang pada awalnya
berjumlah lebih kurang 20 orang. Mereka umumnya menjual emas, dan
beberapa dari mereka telah memiliki bangunan toko-toko kecil, yang sekaligus
dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka. Di samping orang-orang Cina ada
juga migran orang-orang keling dan Melayu dari Penang serta Kedah, Malaysia
yang mencoba peruntungan di Labuhan Deli.
Beberapa waktu sebelum kedatangan kontrolir
pertama Belanda J.A.M. de Cats Baron de
Raet ke Labuhan (1864), pekan ini bersama satu gudang yang penuh berisi pala
yang akan diekspor terbakar sehingga hampir menghentikan aktivitas perdagangan di
situ. Hanya beberapa orang Batak (Karo) yang
datang untuk menjual kuda dan menukarkannya dengan kain sebelum mereka kembali
ke gunung. Akan tetapi setelah Reat ditempatkan sebagai kontrolir di situ,
kegiatan pekan diaktifkan kembali.
Penduduk pekan mulai membangun kembali warung-warung/kedai
dan toko-toko (ruko). Adapun toko-toko dibangun secara lebih permanen dan
teratur, menggunakan bahan bata dan mortar dengan kolom-kolom yang masif dan
berdinding tebal. Elemen Cina pada bangunan ruko ini sangat kental, ditandai
dengan garbel melengkung dan granit di bagian corbels-nya.
Toko-toko ini terletak berderet memanjang di
kiri-kanan jalan. Pada bagian paling ujung dari salah satu deretan toko ini
terdapat satu bangunan bergaya kolonial dengan bentuk pintu melengkung. Menurut
informasi tempat ini dulu dipergunakan sebagai tempat penjualan candu bagi orang-orang Cina, dan memang tidak jauh
dari tempat itu pernah ada lokasi pembuatan arak yang dikenal dengan sebutan
pajak arak.
Mayoritas yang menempati bagunan ini adalah
orang-orang Cina yang jumlahnya pada waktu itu sudah mencapai 1000 orang. Untuk
keperluan beribadat orangorang Cina, maka tidak jauh dari tempat permukiman
mereka terdapat bangunan klenteng. Biasanya bangunan klenteng dibuat dari bahan
batu bata, dan dihiasi dengan berbagai ornamen, benda-benda porselen, serta
keramik Cina.
Sumber : Labuhan Deli : Riwayatmu Dulu oleh Ratna (Staff Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU)
Comments