Skip to main content

"Karomergana" oleh Henry Guntur Tarigan (1958)

Saat itu di tahun 1958, seorang mahasiswa jurusan bahasa bernama Henry Guntur Tarigan dengan berani melakukan suatu koreksi atas buku “Adat Istiadat Karo” karangan P. Tambun mengenai ungkapannya bahwa Suku Karo berasal (turunan) dari Batak Toba dari sudut Etimologi bahasa berjudul “KAROMERGANA” (Majalah Bahasa dan Budaya Tahun ke VII No. 1/1958, Jakarta). Berikut tulisannya :

“KAROMERGANA”
oleh Henry Guntur Tarigan

Di Seribu Dolok pernah saya lihat sebuah oto gerobak (Vrachtauto) sedang berhenti di simpang empat. Pada dinding gerobaknya tertulis huruf besar-besar Karomergana. Apakah gerangan arti merek itu? Bagaimana oto gerobak itu bernama (merek) demikian? Hal ini barangkali dapat diselidiki dan dipandang dari sejarah setempat; penyelidikan itu mungkin ada manfaatnya.

  1. Karomergana terdiri dari : Karo + merga + na oleh P Tambun dalam bukunya Adat Istiadat Karo, Balai Pustaka no. 1872 halaman 64-65 menuliskan; Adapun dalam tulisan (huruf Batak)  huruf pertama ialah ho, artinya awal. Ada orang menerangkan bahwa perkataan Karo berasal dari pada kata haroh, artinya pertama datang (ha  = pertama, roh = datang). Kemudian perkataan haroh berubah menjadi Karo. Agaknya (pasti!) P. Tambun  sudah di ikat erat-erat oleh suatu paham, yang mengatakan bahwa suku Karo itu, berasal (turunan) dari Suku batak Toba. Kata-kata ha dan roh itu adalah bahasa Toba, bukan bahasa Karo. Tentang manakah lebih tua, bahasa Karo ataukah bahasa Tobakah, sangat sulit menyelidikinya.

Tapi mari kita kutip apa kata R. Brandstetter, Ph.D.  dalam bukunya “Root and World” dibawah no. 19 tentang bahasa Karo yaitu : ……terutama bahasa Karolah yang masuk bahasa-bahasa yang dimaksudkan itu. Bahasa itu tak banyak berubah sehingga belum terasing dari bahasa Indonesia asli. Hal ini nyata benar jika kita bandingkan bahasa Karo dengan bahasa Toba yang erat bertali padanya (kursif dari Henry Guntur Tarigan). Bunyi e asli Indonesia masih terdapat dalam bahasa Karo, tetapi menjadi o dalam bahasa Toba.

  • Bunyi k asli Indonesia masih terdapat dalam bahasa Karo, tetapi menjadi h dalam bahasa Toba
  • Bunyi h asli Indonesia masih terdapat dalam bahasa karo, tetapi aneh hilang dalam bahasa Toba.

Semua hukum itu dapat diterangkan benar dengan contoh yang berikut : kata Indonesia asli kesah  (bernafas….engah-engah) yang terdapat juga dalam bahasa Melayu, Gayo, dsb, tetap merupakan kesah dalam bahasa Karo, akan tetapi menjadi hosa dalam bahasa Toba. Di sini nampak pertentangan-pertentangan yang menyolok mata. Mari kita perhatikan pertentangan itu :

ha menjadi ka, aturan ka menjadi ha
roh bahasa Toba = reh bahasa Karo


Kemudian roh menjadi ro, apa alasan membuang h itu? Timbul pertanyaan : mengapa etimologi kata Karo ini, mesti diambil dari bahasa Toba dan ucapan P. Tambun itu sangat gegagah, tetapi ini dapat dimaafkan sebab dia sendiri berkata, hal itu kata orang lain yang menerangkan, bukan dirinya.

  1. Dalam majalah Medan Bahasa no. 8 tahun VI Agustus 1956 halaman 20 dalam keterangan ringkas dari W.Hutagalung atas tulisan Henry Guntur Tarigan : Beberapa untai pantun Karo, beliau menulis sebagai berikut ; “Bahwa menurut cerita Suku Karo itu pada jaman purba berkembang biak di Langkat dan sekitarnya di tepi sebelah timur kota labuhan Aroe (kursif dari Henry Guntur Tarigan), letaknya di tepi sungai itu; amat ramai, banyak pedagang dari luar, misalnya dari Deli, Asahan, Aceh, pendatang dengan perahu layar untuk menjajakan barang jualannya, pada jaman itu bercampur baur bahasa Karo dengan bahasa Aceh dan bahasa Melayu. Tetapi pada akhir abad ke XVI datanglah orang-orang Aceh-Bugis, kebanyakan bajak laut memerangi AROE (kursif oleh Henry Guntur Tarigan). Penduduk itu lari mengungsi  (=mburo dalam bahasa Karo, Henry Guntur Tarigan) ke pegunungan seperti Berastagi, Sibolangit, Alas dan lain sekitarnya.

  1. Kata AROE yang terdapat dua kali dalam tulisan W. Hutagalung di atas, mendapat penghargaan/istimewa dari saya (Henry Guntur Tarigan). Setelah membaca, mengkaji dalam-dalam I dan II, maka dapatlah kita mencari etimologi kata KARO itu. Begini : Karo = kalak Aroe = kalak Karo (K + Aroe, e hilang) = Orang yang mengungsi dari AROE. Hal inilah lebih sesuai karena ro adalah sebuah akar kata dalam bahasa Karo; mbu-ro = lari pontang panting, berpencar-pencar, karena takut akan serangan, mengungsi, mu-ro = menghalau burung pipit di sawah, menggera pipit.

Demikian anggapan saya (Henry Guntur Tarigan) yang serba jauh dari sempurna, barangkali dipandang oleh pelbagai ahli tidak menurut pengetahuan. Terserah! Tetapi di hati kecil saya berkata : Sayapun mau jadi sarjana, bukan itu saja, malahan sarjana besar.

Tulisan ini juga dapat dibaca dalam buku “Mengenal Orang Karo” yang disusun oleh Roberto Bangun. Buku “Mengenal Orang Karo” adalah cetakan pertama (1989). Dan dicetak ulang tahun 2006 dengan merevisi judul menjadi “Mengenal Suku Karo.”

---www.karosiadi.blogspot.com-------www.karosiadi.blogspot.com-----www.karosiadi.blogspot.com---

Prof. DR. Henry Guntur Tarigan dilahirkan tanggal 23 September 1933 di Linggajulu, Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatra Utara. Ayahnya bernama Rulo Tarigan dan ibunya bernama Kawali beru Surbakti. Henry Guntur Tarigan menikah dengan M. Intan Sisdewatu Purba tanggal 14 Agustus 1957 di Berastagi, Sumatra Utara.

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Bandung tahun 1960; Sarjana Pendidikan pada FKIP Universitas Padjajdjaran Bandung tahun 1962; mengikuti Studi Pasca Sarjana Linguistik di Universitas Leiden, Nederland tahun 1971 -1973; meraih gelar Doktor dalam bidang Linguistik pada Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta tahun 1975 dengan disertasi yang berjudul Morfologi Bahasa Simalungun.

Pernah menjadi pengajar tetap pada FPBS-IKIP Bandung, pada Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung, dosen luar biasa dalam mata kuliah "Kemahiran Berbahasa Indonesia" pada Fakultas Sastra Universitas Leiden dan pada Hendrik Kraemer Institut Oegstgeest, Belanda (1972-1973); dosen luar biasa STIA-LAN-RI Bandung (1980-1983); dosen terbang/luar biasa pada Universitas Palangkaraya. Kalimantan Tengah; dosen luar biasa pada Universitas Katolik Parahyangan; Guru Besar pada FPBS IKIP Bandung.

Beliau sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya di dalam maupun di luar negeri dalam bidang kebahasaan antara lain di Hull (Inggris, 1972), Hasselt (Belgia, 1972), Paris (Perancis, 1973), Leiden (Belanda, 1973), Hamburg (Jerman Barat, 1981), Chicago (Amerika Serikat, 1987), Columbus, Ohio (Amerika Serikat, 1987), Tallahassee (Florida, USA, 1987).



Karya-karyanya antara lain adalah Struktur Sosial Masyarakat Simalungun, Morfologi Bahasa Simalungun, Prinsip-Prinsip Dasar Puisi, Prinsip-Prinsip Dasar Fiksi, Prinsip-Prinsip Dasar Drama, Prinsip-Prinsip Dasar Kritik Sastra, Pengantar Sintaksis, Bahasa Karo, Sastra Lisan Karo, Percikan Budaya Karo, Psikolinguistik, Tata BahasaTagmemik, Linguinstik Konstratif, Menyimak (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), Membaca (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), Menulis (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), dan Tatarucingan Sunda.
Selebihnya dapat dilihat pada link berikut : klik

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu