Ada 38 unit bangunan yang dibuat di jaman Belanda terdapat di Brastagi terutama di Gundaling, Lau Debuk-debuk dan bahkan Bandar Baru. Bangunan-bangunan yang ada itu dibangun sejak tahun 1902 hingga tahun 1939. Ini bisa menjadi potensi Wisata Sejarah di Tanah Karo. Belum lagi bangunan-bangunan lainnya seperti Rumah Adat Suku Karo, gua-gua Umang, situs Putri Hijau, begitu juga Palas Sipitu Ruang.
Selain alamnya yang sejuk, panoramanya yang indah dan hijau, penduduknya yang ramah, wisatawan juga dapat menikmati sajian kuliner khas Suku Karo.
Melirik Potensi Wisata Sejarah Tanah Karo
Oleh: Erond L. Damanik
Daerah wisata Brastagi di Tanah Karo saat ini masih dikenal sebagai destinasi yang hanya menjual keindahan alam, yaitu iklim tropis dan sejuk. Iklim tropis khas daerah pegunungan dengan ketinggian 1400 mdpl dengan suhu rata-rata antara 18,4°C-19,3°C, dan kelembaban udara pada tahun 2012 adalah setinggi 88,39 persen, tersebar antara 86,3 persen sampai dengan 90,3 persen, membuat daerah ini memiliki iklim yang sejuk dan dingin. Keadaan ini didukung pula oleh hutan seluas 129.749 Ha atau sekitar 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo.
Oleh: Erond L. Damanik
Daerah wisata Brastagi di Tanah Karo saat ini masih dikenal sebagai destinasi yang hanya menjual keindahan alam, yaitu iklim tropis dan sejuk. Iklim tropis khas daerah pegunungan dengan ketinggian 1400 mdpl dengan suhu rata-rata antara 18,4°C-19,3°C, dan kelembaban udara pada tahun 2012 adalah setinggi 88,39 persen, tersebar antara 86,3 persen sampai dengan 90,3 persen, membuat daerah ini memiliki iklim yang sejuk dan dingin. Keadaan ini didukung pula oleh hutan seluas 129.749 Ha atau sekitar 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo.
Daerah ini sangat ramai
dikunjungi pada akhir minggu (weekend tourism) terutama yang datang dari Medan
yang hanya berjarak sekitar 56 Km. Pada saat akhir pekan, penginapan (hotel)
mulai dari non bintang (tipe melati), hingga bintang lima yang terdapat di
kawasan Gundaling (Brastagi) dipenuhi oleh pengunjung. Para pengunjung dapat
menikmati keindahan alam Danau Toba dari daerah Sipiso-piso (kawasan Tongging)
ditambang dengan keindahan Air Terjun setinggi 137 meter. Dari kawasan
agrowisata Simalem Resort di daerah Merek Situnggaling, pengunjung dapat
menikmati Danau Toba yang menakjubkan.
Demikian pula apabila sekedar
ingin melihat keindahan Kota Brastagi dari bukit Gundaling. Dari kawasan ini,
pengunjung dapat melihat kemegahan Gunung Sinabung dan Sibayak. Gunung Sinabung
berada di kawasan Lau Kawar berjarak sekitar 15 Km dari Kota Brastagi. Di kaki
gunung ini terdapat sebuah danau air tawar yang oleh masyarakat disebut dengan
Lau Kawar dengan luas kurang lebih 20-30 hektar. Sedangkan Gunung Sibayak
berada di sebelah tenggara Gundaling. Dikaki Gunung Sibayak terutama ke arah
timur adalah Lau Debuk-debuk yang menjadi objek wisata air panas bercampur
belerang. Kedua gunung ini kerab didaki oleh pecinta alam dari Medan dan
sekitarnya.
Kearah timur kota Brastagi
terdapat Taman Hutan Raya (Tahura) dan menjadi objek wisata hijau di Brastagi.
Suasana hijau tersebut membuat iklim di Tanah Karo semakin sejuk dan indah. Di
rindangnya hutan Tanah Karo terdapat
sungai yang disebut dengan Lau Biang yang mengalir dari simpang dua
Kabanjahe dan merupakan hulu dari Sungai Patani (Lau Patani) dan terus mengalir
hingga Delitua dan membelah kota Medan hingga bermuara ke Selat Malaka.
Situs sejarah yang terdapat di
Tanah Karo adalah seperti Situs Putri Hijau di desa Siberaya maupun Palas
Sipitu Ruang di desa Ajinembah di sekitar Tigapanah sekitar 10 Km dari
Kabanjahe. Demikian pula bila ingin melihat salah satu peradaban orang Karo
berupa rumah kolektif (Siwaluh Jabu) di desa Dokan dan Lingga yang telah
ditetapkan sebagai 'Desa Budaya' oleh Pemkab Karo. Selain itu, bisa pula
mengunjungi Museum Budaya Karo di Lingga maupun Museum Jamin Ginting di desa
Suka, Tiga Panah. Disamping untuk berwisata, pengunjung juga dapat berbelanja
buah-buahan dan sayur mayur yang segar serta cinderamata lainnya.
Namun demikian, potensi wisata
terutama wisata sejarah di Tanah Karo belum tergali sesungguhnya. Tidak banyak
yang mengetahui bahwa di Tanah Karo terdapat bangunan bersejarah peninggalan
Belanda maupun zending NZG. Bangunan tersebut banyak diantaranya masih eksis
tetapi dimiliki oleh individu. Namun sayangnya, keberadaan bangunan bersejarah
tersebut tidak banyak diketahui oleh masyarakat sehingga kurang diketahui
potensi wisata yang terselubung dari bangunan tersebut.
Wisata Sejarah di Tanah Karo
Berdasarkan peta yaitu: Grote
Atlas van Nederlands Oost-Indie: Comprehensive Atlas of the Netherlands East
Indies, (1992) yang ditulis oleh J.R. van Diessen (dan kawan-kawan) diperoleh
informasi tentang keberadaan bangunan-bangunan eks NZG (Missi Kristen Belanda)
maupun pengusaha asing Brastagi dan Kabanjahe.
Dalam peta tersebut diperoleh
informasi bahwa sejumlah 22 unit bangunan telah dibangun oleh Belanda seperti
Rumah Sakit Tuberclosis Kabanjahe, Rumah Sakit NZG Kabanjahe, Rumah Sakit Kusta
Lau Simomo dan sejumlah hotel, gereja, klinik, air minum, bioskop, sekolah,
kantor maupun mesjid dan lain-lain. Demikian pula berdasarkan peta tersebut
diketahui sejumlah 38 unit bangunan
terdapat di Brastagi terutama di Gundaling, Lau Debuk-debuk dan bahkan Bandar
Bahru. Bangunan-bangunan yang ada itu dibangun sejak tahun 1902 hingga tahun
1939.
Kawasan ini telah dirancang oleh
Belanda menjadi destinasi wisata pegunungan dengan iklim tropis. Pada saat itu,
kerinduan pengusaha asing terhadap kampung halamannya di Eropa yang dingin,
cenderung terbayar pada saat mereka berada di Brastagi. Bagi pengusaha Belanda,
pentingnya berwisata ke Brastagi tercermin pada upaya pembangunan Bandar Udara
(bandara) di Brastagi pada tahun 1926. Di Gundaling misalnya, dibangun hotel
pertama yaitu Grand Brastagi (dihancurkan oleh pasukan Jepang tahun 1943),
demikian pula kolam renang, sekolah perkebunan, sejumlah bungalow, gereja,
kantor pos, klinik, bioskop, rumah sakit, dan lain-lain. Di Lau Debuk-debuk dan
Bandar Bahru telah dibangun bungalow
(peristirahatan) oleh sejumlah pengusaha asing yang berkantor di Medan.
Dari peta itu diketahui sejumlah
bungalow dan sejumlah bangunan yang terdapat di Gundaling, Lau Debuk-debuk dan
Bandar Bahru seperti Grand Brastagi Hotel, Maria Hotel, Brastagi Swimming Bath,
Boarding School, Planters School, Holt Hotel, Rex Bioscoope, Power Station, Golf
Course, Methodist Mission maupun Native House di Peceren dan lain-lain.
Sejumlah pengusaha asing yang mendirikan bungalow tersebut adalah seperti Deli
Spoorweg Mij, Deli Batavia Mij, Deli Tobacco Mij, Medan Municipality, SIPEF,
Netherland Handel Mij, Horrison and Crosfield, RCMA, Anglo-Dutch Association,
Senembah Tobacco Mij, HAPM, Gunteal and Schumaker, BPM, Soe Findes and Couth
Houses, Wingfood, dan lain-lain.
Grand Hotel Brastagi (1935) Sumber : Media KITLV |
Hotel Brastagi (1930) Sumber : Media KITLV |
Planters School, Brastagi (1935) Sumber : Media KITLV |
Brastagi Swimming Bath (1939) Sumber : Media KITLV |
Mengingat potensi wisata itu,
maka pada tahun 1927, Brastagi telah dipromosikan ke tingkat internasional
lewat sebuah peta wisata yang dilakukan oleh KPM Line, sebuah perusahaan
pelayaran dan perjalanan di Belanda. Peta wisata itu menghubungkan daerah
wisata seperti Dataran Tinggi Padang, Pulau Nias, Brastagi dan Parapat. Akses
menuju daerah ini digambarkan dari Batavia, ke Bengkulu terus ke Padang, Nias,
Parapat dan Brastagi. Selain itu, dapat juga dilakukan melalui Eropa langsung
ke Medan ataupun dari Penang ke Medan dan selanjutnya menyusuri daerah wisata
dimaksud.
Pada saat itu, bangunan-bangunan
bersejarah tersebut ada yang dikelola oleh perusahaan asing seperti London
Sumatera. Sebagian besar telah dimiliki oleh perusahaan swasta seperti Wisma
Panggabean, Hotel Pardede, Bakri Plantations, Wisma Sibayak dan lain-lain.
Beberapa bangunan dimiliki oleh individu seperti Wisma Ingan Ukur, Bukit Kubu,
Citi Holiday Stoomvaar, Teniera, Sinar Matahari, Fisipera, Mitra, Dora,
Gundaling Corner, Sulung Laut, Sigantang Sira, dan lain-lain. Beberapa bangunan
diantaranya tetap dikelola oleh perusahaan yang dinasionalisasi tahun 1958
seperti bungalow Maryke, Dura, Menara, Wahaya Daya Pertiwi, Wisma Pertamina,
Wisma teleflora, dan lain-lain. Bahkan, diantaranya ada yang dikuasai oleh
pemerintah seperti rumah pengasingan Bung Karno di Brastagi.
Sebagaimana diketahui bahwa,
Tanah Karo terbuka untuk asing terutama sejak tahun 1886 yang dirintis oleh NZG
Belanda dan puncaknya adalah sejak tahun 1902 oleh Pemerintah Residen Sumatera
Timur. Akses menuju Brastagi semakin terbuka lebar sejak Josepz Theodore
Cremer, manajer N.V. de Deli Maatscahapiij
yaitu perusahaan perkebunan terbesar di Sumatra Timur menggagas
pembukaan jalan aspal dari Medan menuju Tanah Karo pada tahun 1906. Demikian
pula, Cremer menganjurkan pentingnya sumber air bersih di Medan yang disalurkan
dari umbul air Lau Kaban Sibolangit sejak tahun 1908.
Dari penelusuran yang dilakukan,
diketahui bahwa sebagian besar keberadaan bangunan tersebut masih berdiri eksis
hingga saat ini. Ciri khas bangunan bersejarah yang ada ini adalah arsitektur
bangunan yang unik ditambah dengan cerobong asap dari pembakaran dari ruang
tamu untuk memberikan kehangatan pada tamu yang menginap. Model rumah dengan
cerobong asap ini berasal dari Eropa yang sangat bermanfaat pada saat musim
dingin. Model bangunan mulai dari semi permanen hingga permanen dengan
menggunakan kayu pilihan maupun cor beton. Awalnya, atap bangunan adalah
genteng yang diproduksi oleh N.V. De Deli Klei yang berpusat di sekitar Pasar
Merah Kota Medan dan hingga saat ini masih digunakan. Namun beberapa
diantaranya sudah diganti dengan seng ataupun bahan lain.
Beberapa bangunan era kolonial
yang ada di Gundaling sudah cenderung tidak digunakan lagi. Paling tidak, dari
penelusuran yang dilakukan terdapat 8 (delapan) bungalow yang cenderung
terlantar, ditumbuhi rumput dan cat yang mulai memudar. Tentu saja hal ini
mengurangi potensi wisata sejarah yang dimiliki oleh bangunan bersejarah yang
dimiliki oleh Tanah Karo. Demikian pula Ria Bioskop dan Kolam Renang Brastagi
yang sudah tidak digunakan padahal memiliki potensi wisata yang tinggi.
Apabila melirik potensi wisata
sejarah berupa bangunan bersejarah yang ada di Tanah Karo, maka seharusnya
bangunan-bangunan bersejarah tersebut tetap dilestarikan, dikembangkan dan
dioptimalkan. Bagaimanapun juga,
keberadaan bangunan ini menjadi salah satu nilai jual wisata di Kabupaten Karo.
Oleh karena itu, apabila keberadaan bangunan bersejarah tersebut dapat digali
dengan baik, maka tepat kiranya apabila Tanah Karo menjadi salah satu destinasi
wisata di Sumatera Utara. Di wilayah ini bukan saja keindahan dan kesejukan alam
yang harus dinikmati, ataupun sekedar belanja sayur dan buah, tetapi juga
wisata sejarah berupa bangunan bersejarah, wisata budaya berupa bangunan rumah
Siwaluh Jabu di Dokan dan Lingga serta museum Lingga dan Jamin Ginting, maupun wisata situs seperti Palas Sipitu
Ruang maupun Putri Hijau ataupula ecowisata di Tahura.
Oleh karena itu, program wisata
seperti City Tours, Pesta Budaya, Carnaval Budaya, Cross Country (lintas alam)
maupun menjadikan Brastagi sebagai kawasan untuk rapat, seminar, workshop maupun
pelatihan adalah salah satu cara meningkatkan potensi wisata yang dimiliki oleh
kawasan ini. Namun demikian, adalah penataan sarana dan prasarana lain yang
mendukung kepariwisataan di Tanah Karo.
Terkait dengan bangunan
bersejarah ini misalnya, maka leafleat ataupun brosur yang menjelaskan riwayat
keberadaan bangunan tersebut mestinya terdapat di kantor-kantor informasi
pariwisata di Sumatra Utara. Bila program seperti ini dapat ditingkatkan dan
digalakkan maka bukan tidak mungkin apabila ekonomi kreatif masyarakat akan
tumbuh dengan baik yang berkontribusi pula terhadap pendapatan daerah. Dengan
begitu,Tanah Karo akan menjadi salah satu alternatif destinasi wisata di Provinsi Sumatera Utara. Semoga! ***
Penulis adalah mahasiswa Program
Doktor (S3) Ilmu-Sosial Universitas
Airlangga Surabaya
Sumber : Analisadaily
Comments