Menjelang akhir dasawarsa 1930-an muncul siaran dan rekaman
piringan hitam musik populer yang dinyanyikan dalam bahasa daerah. Anehnya,
kebanyakan dalam lima bahasa saja, yakni bahasa Batak Toba, Karo, Aceh,
Makassar, dan Sunda. Kami belum bisa menjelaskan mengapa belum ada dalam bahasa
lain, seperti Jawa, Minang, Banjar, atau Bugis, misalnya. (Langgam Jawa
memang menggunakan bahasa Jawa, tetapi musik itu baru muncul pada tahun
1950-an.) Lagu-lagu yang direkam (mulai 1937) dalam bahasa Toba, Karo, dan
Aceh adalah lagu ciptaan baru dan aransemen lagu rakyat (“folksong”) yang
menggunakan tangga nada, instrumentasi, dan idiom-idiom (gaya) musik
Barat.
Tulisan berikut dirangkum dari buku "Musik
Populer, Buku Pelajaran Kesenian Nusantara (Untuk Kelas VIII)" di
bab berjudul "Musik Populer di Indonesia Sebelum 1960." Bab
ini ditulis oleh Philip Yampolsky.
Dari tulisan-tulisan di surat kabar Batavia pada
tahun-tahun 1880-an, kita tahu bahwa pada waktu itu sudah ada satu jenis
musik (bukan sekedar nama alat!) yang disebut kroncong. Jenis musik itu
dimainkan oleh pemain “Eurasia” atau “Indo” (campuran Indonesia dan Eropa) pada
pesta perkawinan dan kegiatan hiburan lainnya. Juga ada tulisan
kenang-kenangan dan otobiografi dari masa 1900-1920 yang menceritakan
bahwa di kampung-kampung Batavia remaja laki-laki suka berjalan-jalan pada
malam hari di kampung sambil menyanyikan lagu kroncong untuk merayu gadis.
Dalam tulisan itu, laki-laki ini kadang-kadang dijuluki “buaya kroncong.”
Musik kroncong pada zaman itu bisa dianggap sebagai sebuah
musik rakyat perkotaan. Arti “musik rakyat” di sini adalah musik yang menjadi
milik umum - siapapun berani dan sanggup menyanyikan atau memainkannya, bukan
hanya spesialis atau profesional saja. Berbeda dengan musik populer (menurut
pengertian kami dalam buku ini). Pada musik populer sekarang, pemain dan
penyanyi yang dihargai biasanya yang profesional, atau “bintang” yang lebih
“istimewa” -lebih kaya, lebih glamor- dari pada sembarangan orang. Sementara
pada zaman itu, belum ada bintang kroncong, dan musiknya pun tidak sulit
dimainkan, sehingga musisi profesional tidak perlu. Alatnya juga sederhana -minimal
ada satu alat kroncong (ukulele) atau gitar. Dan biasanya hanya satu atau dua
melodi/lagu saja yang dipakai, jadi semua orang hapal betul melodi lagunya. Dan
nyaris semua orang hapal beberapa bait yang bisa dinyanyikan dengan
melodi-melodi itu. Artinya kalau ada beberapa orang sedang bernyanyi lagu
kroncong, orang lain -temannya, tetangganya, atau orang yang hanya kebetulan
lewat- bisa saja ikut bernyanyi dan mungkin juga akan bermain kroncong atau
gitar atau rebana.
Kira-kira sebelum perang dunia pertama (1914-1918), pembeli
piringan kroncong tidak mengetahui siapa penyanyinya. Selain judul lagu, yang
tertulis pada label piringan (kertas berwarna di bagian tengah piringannya)
biasanya hanya ada istilah seperti “Prempoean” atau “Lelaki” (atau “Lelaki 2”,
“Lelaki dan Prempoean,” dan lain sebagainya) untuk sekedar memberitahu jenis
penyanyinya. Judul lagunya pun hanya berbeda sedikit dari piringan satu ke
piringan lain: “Lagoe Krontjong”, “Krontjong Bandan”, dan “Krontjong Moritsko”
adalah judul untuk kebanyakan piringan kroncong zaman itu.
Pada tahun-tahun 1920-an juga, label pada piringan hitam
mulai mencantumkan nama penyanyi dan judul lagu -bukan sekedar “Lagoe
Krontjong” dinyanyikan oleh “Prempoean” melainkan, misalnya, “Krontjong Slamet
Tinggal” dinyanyikan oleh Miss Riboet. Dalam perkembangan ini, kita melihat
“sistem bintang” sudah mulai diterapkan pada musik kroncong. Sistem bintang ini
makin lama makin kuat. Terbukti, ada artikel di surat kabar dan majalah yang lebih
memberi perhatian pada pribadi penyanyi daripada keseniannya. Ada pula nama
penyanyi yang menjadi judul lagu (Kroncong Miss Riboet, Kroncong Miss Lee, dan
banyak lagi), sampai foto penyanyi yang muncul di label piringannya. Satu
kegiatan yang ikut menguatkan sistem bintang dalam musik kroncong adalah lomba
yang disebut concours (konkurs) kroncong. Concours kroncong
sering sekali diadakan sebagai puncak pasar malam. Lama-kelamaan (paling tidak
pada paruh kedua tahun 1930-an) sistem perlombaan berkembang menjadi sistem kampioenschap (kejuaraan),
dengan pengumuman juara se-Jawa Barat, se-Jawa Timur, se-Jawa, dan sebagainya.
Barangkali bintang kroncong yang pertama adalah Miss Riboet
(1900-1965). Lahir di Aceh, dia adalah seorang Sri Panggung -yaitu artis muda
dan cantik yang menjadi bintang utama dalam suatu rombongan teater. Setiap
rombongan, waktu itu, harus mempunyai Sri Panggung, dan Sri Panggung harus
mampu menjadi pemegang peran, penyanyi, dan sekaligus penari. Mulai Mulai
sekitar tahun 1925, Miss Riboet adalah Sri Panggung dalam rombongan Maleische
Operette Gezelschap Orion. Gaya teaternya ber- dasarkan model Stambul
tetapi lebih modern, dengan cerita-cerita yang diciptakan oleh pengarang Orion
sendiri (bukan sekedar diangkat dari 1001 Malam atau legenda). Dialognya
diucapkan (daripada dinyanyikan), dengan teknik pentas spektakuler. Dari segi
musik, instrumentasinya lebih lengkap dan modern, lagu- lagunya diambil dari
mana-mana (bukan lagi lagu-lagu Stambul Nomor sekian). Dan juga ditambahkan
“extra turn” atau “cabaret,” yaitu tarian dan nyanyian lepas sebagai selingan
di antara adegan ceritanya.
Bintang-bintang kroncong pada tahun-tahun 1920-an, selain
Miss Riboet, antara lain, Miss Toemina dari Surabaya, Miss Herlaut (atau Aer
Laoet) dari Solo, Wim Waha, John Iseger, Paulus Item dari Malang, Amat dari
Surabaya, dan banyak lagi. Ada juga orkes kroncong yang terkenal tetapi tidak
terikat pada rombongan teater,antara lain: Muziekvereeniging Lief Java, Orkes
Noya, Orkes Lief Indië, Orkest Krontjong Nacht Sirenen, Orkest Krontjong De
Nachtegaal, Orkest Krontjong De Leeuw.
Di box sebelah bawah terdaftar beberapa judul lagu kroncong,
semuanya direkam pada piringan hitam sekitar tahun 1926 dan 1927. Di antaranya
ada lagu kroncong yang judulnya berkaitan dengan nama penyanyi (Miss Riboet,
Aer Laoet), nama tempat (Aceh, Bogor, Jawa Timur, Brastagi), nama orkes
kroncong (De Leeuw, De Nachtegaal), dan nama toko (Hoo Soen Hoo). Judulnya
menggunakan kata-kata dalam bahasa Melayu/Indonesia, bahasa Belanda, dan bahasa
Inggris. Rupanya repertoar kroncong pada pertengahan tahun 1920-an sudah jauh
lebih kompleks dibanding dengan zaman sebelum Perang Dunia Pertama, di mana
sebuah lagu kroncong cukup dinamakan “Lagoe Krontjong” saja!
Siaran radio mulai dikenal di Hindia Belanda sejak
pertengahan tahun 1920-an. Pada mulanya, siarannya hanya ditujukan pada orang
kaya di Batavia, terutama orang Belanda. Musik yang disiarkan hampir seluruhnya
musik Barat. Siaran musik Indonesia yang ketika itu disebut “siaran ketimuran”
baru mulai pada tahun 1933, pertama kali di Batavia, kemudian di Yogyakarta dan
Surakarta, lalu Bandung, Semarang, dan Surabaya. Semuanya disiarkan oleh
perkumpulan dan perhimpunan radio swasta, yang biasanya meminta iuran dari
pendengarnya. Pada Pada tahun 1934, pemerintah kolonial mendirikan radio
sendiri, yaitu NIROM (Nederlands-Indische Radio Omroep). Radio ini menyiarkan
dua program sekaligus, program Barat dan program Ketimuran. Pada awalnya,
siaran NIROM hanya diterima dengan baik di Jawa. Tetapi kemudian setelah
diperkuat dengan alat siaran (zen der) khusus, siaran itu dapat didengar sampai
ke Sumatera dan pulau-pulau lain.
Pada mulanya, hampir 100% siaran radio diisi dari piringan
hitam, tetapi makin lama makin banyak siaran “live”: siaran kroncong dan lagu
populer dalam bahasa Melayu/Indonesia; siaran gamelan Jawa, wayang kulit Jawa,
ketoprak, wayang golek Sunda, tembang Sunda, musik yang-khim, lagu
dalam bahasa Arab, dan berbagai macam musik dari Sumatera. Sekalipun radio
dimulai sebagai hiburan untuk orang kaya saja, namun pada akhir tahun 1930-an
siarannya juga mulai dikenal di kalangan kelas menengah, walaupun “tustel”
radio masih tetap mahal. Bergandengan dengan gramofon, radio menjadi alat yang
sangat penting dalam menyebarluaskan lagu dan artis baru kepada audiens di
seluruh Indonesia (terutama di perkotaan).
Kebanyakan lagu-lagu populer sebelum merdeka dinyanyikan dalam bahasa Melayu (Indonesia); tetapi ada juga dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Lagu-lagu dalam ketiga bahasa ini tidak bersifat kedaerahan. Menjelang akhir dasawarsa 1930-an muncul siaran dan rekaman piringan hitam musik populer yang dinyanyikan dalam bahasa daerah. Anehnya, kebanyakan dalam lima bahasa saja, yakni bahasa Batak Toba, Karo, Aceh, Makassar, dan Sunda. Kami belum bisa menjelaskan mengapa belum ada dalam bahasa lain, seperti Jawa, Minang, Banjar, atau Bugis, misalnya. (Langgam Jawa memang menggunakan bahasa Jawa, tetapi musik itu baru muncul pada tahun 1950-an.) Lagu-lagu yang direkam (mulai 1937) dalam bahasa Toba, Karo, dan Aceh adalah lagu ciptaan baru dan aransemen lagu rakyat (“folksong”) yang menggunakan tangga nada, instrumentasi, dan idiom-idiom (gaya) musik Barat. Pada label piringannya, disebut wals, tango, foxtrot, hymn [=lagu gereja], lagu, duet, trio, dan folksong.
Kebanyakan lagu-lagu populer sebelum merdeka dinyanyikan dalam bahasa Melayu (Indonesia); tetapi ada juga dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Lagu-lagu dalam ketiga bahasa ini tidak bersifat kedaerahan. Menjelang akhir dasawarsa 1930-an muncul siaran dan rekaman piringan hitam musik populer yang dinyanyikan dalam bahasa daerah. Anehnya, kebanyakan dalam lima bahasa saja, yakni bahasa Batak Toba, Karo, Aceh, Makassar, dan Sunda. Kami belum bisa menjelaskan mengapa belum ada dalam bahasa lain, seperti Jawa, Minang, Banjar, atau Bugis, misalnya. (Langgam Jawa memang menggunakan bahasa Jawa, tetapi musik itu baru muncul pada tahun 1950-an.) Lagu-lagu yang direkam (mulai 1937) dalam bahasa Toba, Karo, dan Aceh adalah lagu ciptaan baru dan aransemen lagu rakyat (“folksong”) yang menggunakan tangga nada, instrumentasi, dan idiom-idiom (gaya) musik Barat. Pada label piringannya, disebut wals, tango, foxtrot, hymn [=lagu gereja], lagu, duet, trio, dan folksong.
Sesudah Revolusi usai dan kemerdekaan Indonesia diakui di
seluruh dunia, banyak perubahan terjadi dalam kehidupan sehari-hari di
Indonesia, termasuk dalam musik populer.
Pada tahun 1950-an, di banyak tempat di Indonesia, beberapa
komponis menciptakan lagu baru atau membuat aransemen lagu yang sudah ada, dengan
syair dalam bahasa lokal. Lagu-lagu ini menggunakan tangga nada, sistem
harmoni, dan instrumentasi Barat, tetapi karena berasal dari daerah dan
bersyair lokal, lalu dibanggakan sebagai “lagu daerah” atau “lagu rakyat.” Lagu
rakyat/lagu daerah seperti ini perlu dibedakan dari lagu “tradisional.” Lagu daerah jarang diambil
langsung dari kesenian tradisional (kecuali kadang- kadang permainan
kanak-kanak), karena musik tradisional pada umumnya sulit disesuaikan dengan
instrumen, tangga nada, dan idiom musik Barat. Sebagai contoh, boleh
dibilang tidak ada dendang saluang Minangkabau, atau gendhing karawitan Jawa
dan Bali, atau gondang Batak Toba, atau lagu kacapi Bugis, atau lagu karungut
suku Ngaju di Kalimantan Tengah, atau lagu wor Biak, yang diaransir menjadi
lagu daerah. Ini karena musiknya sangat jauh dari idiom musik Barat dan musik
populer. Oleh sebab itu, kebanyakan lagu daerah merupakan ciptaan baru atau
aransemen yang secara musikal lebih dominan Baratnya daripada kedaerahannya.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya, kadang- kadang lagu
daerah semacam ini dimainkan pada alat dan ensambel tradisional. Dari sekian
banyak komponis lagu daerah pada tahun 1950- an, kami hanya sempat menyebut
beberapa saja: Nahum Situmorang dan S. Dis (Toba); Djaga Depari (Karo);
Taralamsa Saragih (Simalungun); Sofyan Naan dan Asbon (Minang); R. C.
Hardjasoebrata (Jawa); Borra Daeng Ngirate, Baharuddin Mandjia, Sjamsulbachri,
dan Arsyad Basir (Sulawesi Selatan); A. Zaini dan A. Ardiansjah (Banjarmasin).
Sumber :
Comments