Darah Pahlawan
oleh Selamat Ginting
(Republika.co.id, Monday, 16 June 2014, 17:00 WIB
Letnan Jenderal Jamin Gintings
layak dijadikan pahlawan nasional. Keputusannya menyerang sejumlah pos militer
Belanda pada agresi militer kedua, mengangkat marwah Republik di mata
internasional. Streteginya menyerang Belanda di Tanah Karo, membuat Belanda tidak
bisa masuk ke wilayah Aceh.
Juni 1949. Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan postur tinggi sekitar 175 cm, menatap jauh dari atas
pegunungan di Tanah Karo. Mengenakan seragam militer berwarna krem, pakaian
itu terlihat agak kebesaran dari ukuran tubuhnya yang ramping. Di kerah
bajunya, tersemat pangkat mayor tentara. Lelaki serdadu berusia 28 tahun itu
adalah Mayor Jamin Ginting Suka.
Ia kemudian lebih senang menyingkat namanya dengan ejaan : Jamin Gintings. Dia adalah Komandan Resimen IV atau
dikenal juga dengan sebutan Resimen Rimba Raya (R3) yang merupakan bagian dari
Divisi X Tentara Republik Indonesia (TRI). Setahun sebelumnya, ia adalah
seorang perwira menengah dengan pangkat letnan kolonel.
Namun pada 1 Oktober 1948, Presiden Sukarno membuat keputusan reorganisasi dan rasionalisasi TRI. Seluruh
perwira diturunkan pangkatnya satu tingkat. Maka, Letkol Jamin Gintings pun
menjadi Mayor Jamin Gintings. "Saya tidak peduli dengan pangkat dan
jabatan. Yang paling penting, saya harus mengusir penjajah dari Bumi Indonesia," ungkap Jamin saat menghadapi penurunan pangkatnya.
Pak Kores, julukan nama yang
diberikan anak buahnya, memang dikenal sebagai komandan lapangan. Kata kores,
merupakan akronim dari komandan resimen. (Pada era saat ini disebut Danmen).
Sebagai komandan resimen, Jamin Gintings terkejut ketika mendapatkan kabar
pada 19 Desember 1948.
Pasukan militer Belanda telah menyerang dan menduduki ibukota Republik di Yogyakarta. Bukan itu saja, Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama sejumlah petinggi Republik
telah ditawan tentara Belanda.
"Para prajurit, bintara dan
perwira tentara Republik. Melalui siaran radio dari Yogyakarta, ternyata
Belanda telah mengingkari janjinya dengan menduduki Yogyakarta. Presiden dan
Wapres kita, telah ditawan Belanda," kata Jamin dalam pidatonya di halaman
Markas Resimen IV di Macan Kumbang, pada 25 Desember 1948.
"Kita juga dapat kabar bahwa
Sektor III di Dairi di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting sudah diserang
Belanda. Saya belum dapat perintah dari atasan langsung di Divisi X. Tetapi
demi keselamatan Negara Republik Indonesia, saya bertanggung jawab untuk mulai
menyerang Belanda," ujar Jamin dengan bersemangat.
Selaku Komandan Resimen IV, ia
memerintahkan untuk menyerang daerah-daerah yang diduduki Belanda, sebelum
Belanda menyerang lebih dahulu. "Pertama, kita duduki Mardingding dan
Lau Baleng!" teriak Jamin dengan nada berapi-api, seperti tertulis dalam
buku ‘Bukit Kadir’ oleh Jamin Gintings (1921- 1974), editor Payung Bangun,
penerbit Elpres, cetakan kedua, tahun 2009.
Maka, berangkatlah anggota pasukan Batalyon XIV dari asramanya di Kutacane ke Lau Baleng dengan berjalan kaki melewati Lawe Sigala-gala, Lawe Dua, Lawe Perbunga, dan terus hingga ke
Kampung Kalimantan. Pertempuran hebat sudah terjadi pada 27 Desember 1948.
Begitu juga pasukan dari Batalyon
XV berangkat menuju Mardingding pa da 28 Desember 1948. Di bukit itulah mereka
menyerang pos militer Belanda yang berada di bawahnya.
Namun dengan bantuan panser dan
mortir, pasukan Belanda menggempur lereng bukit. Tujuh anak buah Jamin
Gintings, gugur dalam pertempuran sengit itu. Salah satunya adalah Letnan Kadir
Saragih. Bukit itu kemudian dinamakan sebagai Bukit Kadir.
Namun, Belanda juga kehilangan
delapan prajuritnya dan dua orang yang berhasil ditawan, yakni Van Werven dan
De Ruyter. Dalam buku Hans Post, Bed wongen Banjir, Medan, halaman 180-181,
dalam terjemahannya berbunyi: Belanda mengakui Resimen Infanteri 5-10
mendapatkan serangan dari gerombolan yang mengadakan infiltrasi di sebelah
barat laut Kabanjahe. Bahkan sampai jarak 40 meter dari pos militer Belanda.
Kampung Juhar, dekat Tiga binanga diduduki kaum ekstrimis.
Setelah pertempuran Mardingding,
ia pun mulai mengubah pola gerilya. Jika pada masa agresi militer pertama menerapkan pola gerakan mundur teratur sambil bertempur, maka pada agresi kedua,
pasukannya melancarkan gerakan maju teratur. Ia memompa semangat pasukannya
sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan asal Tanah Karo.
Sergap konvoi
Sejak Januari 1949, dimulai
taktik gerilya. Diawali dengan serangan pada 20 Januari 1949 menyergap
iring-iringan konvoi pasukan Belanda di Tigakicat, dekat kampung Berastepu.
Kemudian menyergap konvoi Belanda di jalan menuju kampung Kutabuluh Berteng.
Satu panser dan truk militer Belanda rusak, enam orang serdadu Belanda tewas,
dan beberapa lainnya mengalami luka parah akibat tembakan pasukan Jamin
Gintings.
Sampai April 1949. Tercatat,
terjadi pertempuran di Lau Solu dan Lau Mulgap yang menewaskan 13 personil
militer Belanda. Tidak kurang dari 17 kali serangan terhadap konvoi pasukan
Belanda dari Medan menuju Brastagi. "Serangan-serangan pasukan Jamin
Gintings berpengaruh terhadap jalannya perundingan Indonesia dan Belanda,
sehingga meningkatkan posisi tawar Indonesia," kata Suprayitno, doktor
sejarah dari Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan, Senin (9/6/2014).
Begitulah, sejak Agresi Militer I
dan II, pasukan Resimen IV yang dipimpin Jamin Gintings terus-menerus terlibat
pertempuran dengan Belanda dari Medan Area, Tanah Karo, Tanah Alas, sampai Lang
kat. Pasukannya telah beroperasi ratusan kilometer jauhnya dari pangkalan
pasukan untuk bertempur di Mardingding, Lau Baleng, Lau Mulgap, Buluh Pancur, Tiga Binanga, Kineppen, Kinang kong, Sembahe, Sibolangit, Kutu Buluh,
Kuta Buluh Berteng, Barus Jahe, Tanjung Barus, Kuta Tengah, Lau Solu, Lau Kapur, dan lain-lain.
Bagi Belanda, Jalan Lau Baleng
dan Mardingding disebut sebagai ‘doden weg’ yang artinya jalan maut. Mereka
menyatakan sebagai pertempuran tujuh bulan yang berat.
Maut menjadi tamu di Tanah Karo.
Sehingga mempengaruhi psikologi tentara Belanda akibat serangan dadakan serta
ranjau darat yang ditanam pasukan Resimen IV.
Dalam periode perang kemerdekaan
itulah pasukan Resimen IV bergerilya di Tanah Alas, Tanah Karo, Langkat Hulu,
Deli Hulu, dan Serdang Hulu. Gerakan pasukan Jamin Gintings itu membuktikan
kemampuannya menjaga keutuhan dan eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
"Serangan militer pasukannya
berhasil menyelamatkan marwah Republik Indonesia di mata dunia internasional.
Serangan militer pasukannya, mampu menghalau gerak maju pasukan Belanda ke
Tanah Alas," ujar Usman Pelly, guru besar antropologo sosial budaya dari
Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (10/6/2014).
Berdasarkan Perjanjian Renville,
Januari 1948, Tanah Karo sampai perbatasan Tanah Alas (Kutacane) dinyatakan
sebagai daerah kekuasaan pasukan Belanda. Sehingga, markas Resimen IV Tanah
Karo yang dipimpin Jamin Gintings harus hijrah ke Kutacane.
Akibatnya, daerah Aceh tengah terbuka untuk diserang langsung oleh tentara Belanda. Jamin pun mengubah
strategi politik dan menjadikan Tanah Karo tetap sebagai daerah pertahanan
terdepan bagi Aceh. Caranya, dengan menyerang langsung benteng pertahanan
Belanda dan menciptakan perang gerilya.
Pasukan Belanda akhirnya
berputarputar antara Brastagi-Mardingding-Lau Belang-Kaban Jahe dalam
menghadapi serangan strategi gerilya Jamin Gintings dan mengalami kerugian
sangat besar.
Sehingga Belanda tidak mampu menggerakkan pasukannya sampai menjamah Aceh Tengah (Kutacane). "Dengan strategi tersebut, Aceh dapat dimanfaatkan sebagai daerah modal Republik Indo
nesia," ujar Usman Pelly.
Akibatnya, selama sekitar delapan
bulan, sejak Januari hingga Agustus 1949, Belanda tertahan di Tanah Karo dan
terpaksa melupakan serangan ke Tanah Alas (Kutacane) sampai penyerahan
kedaulatan pada 1950.
Strategi dan perjuangan Jamin
Gintings, menurut Suprayitno, membuktikan kepada dunia bahwa pemerintah
Republik Indonesia tetap eksis walaupun Yogyakarta dan Pematang Siantar sebagai
pusat pemerintahan RI di Jawa dan Sumatra diduduki Belanda. Sekali pun Sukarno
dan Hatta pun ditawan Belanda.
Upaya Belanda menghapus RI dan
Tentara Republik Indonesia tidak pernah berhasil sampai akhirnya permusuhan
Indonesia dan Belanda pun diselesaikan melalui jalur perundingan. Dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, Provinsi Aceh secara utuh
dapat didaftarkan sebagai salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Putra kedua dari Lantak Ginting
Suka itu lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Ia berhasil menyelamatkan Aceh sebagai daerah modal, sekaligus menyelamatkan martabat Republik
Indonesia di dunia internasional. "Di sinilah, antara lain letak kepahlawanan Jamin Gintings secara nasional. Iya layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional," cetus sejarawan Suprayitno.
Sumber : Republika.co.id
Comments