Gerakan Senyap Melawan Panglima
oleh Selamat Ginting
(Republika.co.id, Monday, 16 June 2014, 17:00 WIB
Malam
perayaan Natal 1956 yang dilaksanakan pada 26 Desember, seperti malam perpisahan.
Penuh gejolak batin, antara loyal kepada pimpinan dan loyal kepada bangsa dan
negara. Itulah perasaan yang dialami Letnan Kolonel Jamin Gintings, Kepala Staf
Tentara dan Teritorium (TT)- I Bukit Barisan.
Ia menghadiri undangan resepsi
pesta di rumah atasannya, Panglima TT-I Bukit Barisan, Kolonel Maludin
Simbolon. Hadir pula Letnan Kolonel Sugih Arto, Komandan Komando Militer Kota
Besar (KMKB) Medan dan sejumlah pejabat sipil dan militer lainnya.
Dalam situasi yang serba salah,
Jamin Gintings yang sedang menikmati hidangan, pada sekitar pukul 20.00,
tiba-tiba di datangi Mayor Lahiraja Munthe dan meminta pembicaraan tidak
didengar siapapun.
"Lapor, malam ini akan
dilakukan penangkapan terhadap Kolonel Maludin Simbolon. Bapak diminta Jakarta
untuk secepatnya mengambilalih komando TTI dengan sandi operasi Sapta
Marga." Jamin menarik napas panjang. Ia pun segera mengendalikan dirinya.
Sebuah perintah untuk menangkap atasannya langsung. Atasan yang dikenalnya
seperti saudara sendiri. "Laksanakan, tetapi jangan sampai timbul
pertumpahan darah. Kolonel Maludin Simbolon, saudara kita juga. Jadi, tunggu
perintah lanjutan dari saya."
Satu jam setelah laporan
tersebut, ia pamit sambil memberi hormat militer kepada tuan rumah, Kolonel
Maludin Simbolon. Kastaf TT-I itu bergegas menuju Markas TT-I Bukit Barisan.
Sekitar pukul 23.00, Letkol Jamin Gintings langsung memanggil sejumlah
perwira. Sebab, ia juga mendapatkan laporan bahwa Komandan Resimen 2 yang bermarkas
di Pematang Siantar, Letkol Wahab Makmur sudah tidak sabar untuk menangkap
Kolonel Maludin Simbolon.
Namun untuk operasi rahasia ini,
ia memberikan perintah kepada Komandan KMKB Medan Letkol Sugih Arto, dibantu
oleh Kastaf KMKB Mayor Ulung Sitepu, dan Mayor Lahiraja Munthe. Tujuannya,
mengambilalih tanggung jawab Komando TT-I dari tangan Simbolon.
Operasi melibatkan Batalyon
Infanteri 137, Batalyon Infanteri 139, Eskadron V Kavaleri, dan satu kompi
Artileri Lapangan II. Operasi direncanakan pada 27 Desember 1956, pukul
04.00, karena menunggu kedatangan Yonif 137 dari Brastagi, karena harus
menduduki pos polisi dan sentral telepon di Pancur Batu.
Operasi akhirnya bocor, karena
Simbolon juga sudah merasa ada sesuatu yang aneh pada malam resepsi Natal itu.
Apa lagi sebelumnya, Jamin Gintings tidak bersedia datang ke studio Radio
Republik Indonesia Medan untuk memberikan pengumumaman atas nama Dewan Gajah
atau Dewan Revolusi yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon. Simbolon merasa
ada perubahan sikap dari diri Jamin.
Manuver Simbolon
Pemantik gonjang-ganjing yang
hebat di Kota Medan itu diawali ketika pertemuan perwira lulusan Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang ada di Kota Medan dan sekitarnya. Pertemuan yang dihadiri 48 perwira itu, meng hasilkan sebuah ide yang disebut Idee
4 Desember 1956. Lalu berlanjut membuat Ikrar Bersama 16 Desember 1956.
Mereka mengungkapkan ketidakpuasan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, selama 11 tahun merdeka. "Ikrar itu hanya mengenai pembangunan daerah dan perbaikan kesejahteraan
prajurit. Dukungan serta kesetiaan para penanda tangan Ikrar bersama terbatas
pada tindakan sekitar itu dan tidak termasuk pemutusan hubungan dengan
pemerintah pusat," kata Jamin Ginting.
Namun pada 22 Desember 1956, Kolonel Maludin Simbolon membelokkan Idee dan Ikrar Bersama itu dengan wujud memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Hal inilah yang membuat terkejut
perwira senior lainnya. Alasan itu pula yang membuat Jamin Gintings tidak
bersedia datang ke RRI Medan, karena merasa dijebak. Apalagi isinya teks
pemutusan hubungan dengan jakarta dalam kelanjutan pembentukan Dewan Gajah dan
Dewan Revolusi.
Jamin berada dalam dilema, karena
Simbolon adalah atasannya. Namun ia menganggap atasannya sudah menyimpang dari
Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Sebagai kepala stafnya, tentu Jamin tidak
bisa bersikap frontal, karena akan membahayakan keselamatan jiwanya. Apalagi
sebagai kepala staf, ia tidak memiliki pasukan langsung, seperti yang dimiliki
Panglima, Komandan Resimen, Komandan KMKB, atau komandan batalyon.
"Suamiku tidak sepaham
dengan Maludin Simbolon sebagai atasannya. Di satu sisi, sang atasan menggalang
kekuatan untuk keluar dari NKRI, sedangkan suamiku berketetapan untuk mempertahankan NKRI yang berpusat di Jakarta. Dia melakukan perlawanan terselubung
kepada Pak Simbolon," kata Likas Tarigan, istri dari Jamin Gintings.
Sejak pengumuman Simbolon pada 22
Desember 1956 yang berafiliasi kepada Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Jakarta langsung bereaksi dan memutuskan Jamin Gintings sebagai
pengganti Simbolon dan segera mengatasi keadaan yang mengancam terjadinya
perang saudara.
Bocornya rahasia operasi untuk menang kap Simbolon, antara lain karena kedekatanan emosional. Semua perwira dan
tentara menjadi serba salah, karena merasa sudah menjadi bagian keluarga
besar. Usai pesta resepsi Natal di rumahnya, Kolonel Simbolon melarikan diri
dan meminta perlindungan ke asrama Yonif 132 yang dikomandani Kapten Sinta
Pohan di Kampung Durian.
Namun operasi terus dilanjutkan
dengan melucuti tentara yang loyal kepada Simbolon dimulai dari Kompi Pengawal
Simbolon dan sejumlah tentara lainnya sejak dini hari hingga subuh hari tanggal
27 Desember 1956. Jamin Gintings akhirnya muncul di studio RRI Medan dan
mengumumkan situasi menghadapi pergolakan.
"Sejak 27 Desember 1956,
pukul 06 Waktu Sumatra Utara, Jamin Gintings mengambilalih komando sebagai
Panglima TT-I BB. Hubungan dengan pemerintah pusat dijalin kembali
sebagaimana biasa. Kepada anggota Angkatan perang, instansi sipil dan kepolisian
serta masyarakat umum di wilayah TT-I, diminta agar tetap tenang dan yakin
atas kebijak sanaan yang dilakukan oleh Komando TTI selanjutnya."
Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM Idham Khalid mendukung sepenuhnya tindakan Jamin Gintings.
Begitu juga dengan Gubernur Sumatra Utara Kumala Pontas.
Jamin juga mengumumkan bahwa
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Komando Revolusi dan Komando Gajah
PRRI, tidak berlaku lagi. "Kolonel Simbolon telah melarikan diri dan mengajak untuk bertempur melawan Negara Republik Indonesia. Jangan bantu Simbolon
yang sudah salah jalan itu...."
Melalui Operasi Sapta Marga,
menurut Letnan Jenderal (Purnawirawan) Amir Sembiring, Jamin Gintings mampu
mengambilalih Komando TT-I tanpa pertumpahan darah. Jadi, pada akhir 1956 sampai 1958, peran Jamin Gintings sangat penting dalam mengamputasi secara dini
bersatunya ketiga Dewan (Dewan Gajah, Dewan Banteng dan Dewan Garuda) di
Sumatera yang akan berdampak efek domino pada wilayah RI yang lain.
"Tidak ada yang kontroversial
mengenai Jamin Gintings sebagai mana yang disampaikan beberapa pihak, apalagi
disebut sebagai pengkhianat," kata Amir Sembiring, ketua tim pengusulan
Jamin Gintings sebagai pahlawan nasional di Jakarta, Sabtu (7/6/2014).
Sejak Jamin Gintings ditetapkan
secara resmi sebagai Panglima TT-I Bukit Barisan dan memberikan pengumumam di
studio RRI Medan, suasana perlahanlahan mulai kondusif. Masyarakat yang awalnya
pro kepada kelompok PRRI/ Permesta, akhirnya kembali kepangkuan RI yang
puncaknya dilaksanakan pada 12 Agustus 1961 di Balige.
"Mengamati sepak terjangnya,
masyarakat dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, kini kembali mengusulkan
Jamin Gintings menjadi pahlawan nasional,’ ungkap Alimin Ginting, sekretaris
Yayasan Jamin Gintings.
Sumber : Republika.co.id
Comments