Lolos dari Maut G-30-S
oleh Selamat Ginting
(Republika.co.id, Monday, 16 June 2014, 16:29 WIB
Tanpa ada penjelasan, tiba-tiba
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani
memerintahkan Asisten II (Operasi dan Latihan) Menpangad Mayor Jenderal Jamin
Gintings untuk mendampingi Soebandrio. Soebandrio bukan orang sembarangan
karena memiliki segudang jabatan penting pada pemerintahan Presiden Sukarno.
Saat itu, ia disebut sebagai orang kedua di pemerintahan setelah Bung Karno.
Dia menjabat sebagai wakil
perdana menteri (waperdam) I merangkap sebagai menteri luar negeri dan menteri
hubungan ekonomi luar negeri, bahkan sebagai kepala Badan Pusat Intelijen
(BPI). Kalau di era sekarang disebut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Karena kedudukannya yang sangat
penting, sebagai sipil, Soebandrio diberikan pangkat militer tituler, yakni
marsekal madya. Mengapa? Karena, lelaki yang pernah menjadi anggota Partai
Sosialis Indonesia (PSI) itu adalah anggota dari Komando Operasi Tertinggi
dalam Operasi Dwikora dan Trikora.
"Kawal dan laporkan apa saja
yang dilakukan Pak Soebandrio di Aceh dan Medan," kata Yani kepada Jamin
di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada pekan ketiga Oktober 1965, seperti
diceritakan Likas Tarigan, istri dari Jamin Gintings, di kediamannya di
Jakarta, Sabtu (7/6/2014).
Maka, pada 29-30 September dan 1
Oktober 1965, Mayor Jenderal Jamin Gintings berada dalam rombongan Waperdam
Soebandrio yang melakukan kunjungan kerja ke Sumatra Utara dan Aceh. Untuk
mengawal tokoh senior, memang dibutuhkan jenderal senior yang memahami sebuah
wilayah nusantara.
Ahmad Yani memilih Jamin Gintings
karena pernah menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Bukit Barisan (sekarang
disebut Panglima Kodam Bukit Barisan). Juga, menguasai wilayah Sumatra Utara
dan Aceh yang merupakan basis pertempurannya saat melawan agresi militer
Belanda.
Memang aneh, seharusnya yang
mengemban tugas seperti ini adalah asisten I (pengamanan/intelijen), bukan
asisten operasi. Namun, Yani memang begitu percaya kepada Jamin yang dikenalnya
sebagai tentara yang antikomunis. Alasan itu pula yang membuat Yani memilih
Jamin sebagai asisten operasi dan latihan di MBAD pada 30 Juni 1962. Jamin,
antara lain, bertugas menyiapkan langkah operasi untuk pelaksanaan operasi
militer Dwikora maupun Trikora.
Memang tidak pernah ada yang
menyangka akan ada peristiwa dadakan pada malam 30 September atau dini hari 1
Oktober 1965. Sebuah iring-iringan kendaraan militer melewati Jalan
Sisingamangaraja Nomor 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tempat tinggal
Jamin Gintings. "Saya terbangun, tetapi truk-truk itu terus melewati rumah
kami," ujar Riahna Gintings, putri kedua Jamin Gintings.
Setelah matahari terbit, Riahna
yang saat itu berusia 13 tahun baru menyadari bahwa iring-iringan truk itu
terus melaju ke Jalan Hasanuddin, rumah keluarga Brigadir Jenderal DI
Panjaitan, Asisten IV (logistik) Menpangad. "Dari ibu, saya tahu bahwa Om
Panjaitan gugur ditembak pasukan dari truk-truk yang sempat melewati rumah
kami."
Bukan hanya Brigadir Jenderal DI
Panjaitan yang gugur, melainkan separuh dari pejabat tinggi MBAD. Dari 12
pejabat tinggi tersebut, enam jenderal gugur dalam peristiwa yang terjadi pada
1 Oktober 1965 itu. (Lihat susunan pejabat tinggi MBAD).
Galau
Kegalauan pun melanda keluarga
Jamin Gintings setelah mengetahui enam jenderal dan ajudan Jenderal AH
Naustion, yakni Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean gugur dalam peristiwa tersebut.
"Suami saya tidak berada di Jakarta, hubungan telepon pun putus. Beliau
ditugaskan memantau gerak-gerik Wapredam Soebandrio di Medan dan Aceh,"
ujar Likas Tarigan.
Ia pun bergegas ke lapangan
terbang Kemayoran Jakarta untuk menitipkan surat kepada pilot yang akan menuju
Medan. Isi suratnya singkat saja. "Apa kabar Abang di sana? Kami sehat dan
selamat di Jakarta. Selamatkan dirimu!"
Sesampainya di lapangan terbang,
ternyata pesawat yang akan menuju Medan sudah siap lepas landas. Tanpa pikir
panjang, Likas yang saat itu berusia 41 tahun mengejar pesawat itu di landasan
pacu sambil berteriak dan melambaikan tangan. Tak lama kemudian, seorang
perwira yang mengenalinya membuka pintu pesawat dan segera turun.
Perwira itu menghampirinya dan
memegang tangan Likas yang bergetar. Likas pun menyampaikan maksud untuk
menitipkan surat kepada suaminya yang belum diketahui keberadaannya.
Tidak cukup hanya di situ, ia pun
mencari tahu keberadaan suaminya dengan mendatangi rumah Burhanuddin Ali yang
merupakan sekretaris Waperdam Soebandrio. Namun, Burhanuddin juga tidak ada
sehingga istrinya yang menemuinya. "Saya tidak tahu keberadaan Mayjen
Jamin Gintings. Sebaiknya ibu pulang saja karena situasinya genting di
jalanan."
Tidak puas dengan jawaban itu, ia
pun menemui Asisten III Mayjen Pranoto yang saat itu sudah diumumkan oleh
Presiden Sukarno sebagai caretaker Menpangad. "Sapanjang yang saya tahu,
Pak Jamin Gintings tidak mendapatkan bahaya, tetapi saya tidak tahu
keberadaannya. Sebaiknya ibu kembali ke rumah saja, menunggu kabar dari
Angkatan Darat," kata Pranoto.
Tidak puas dengan jawaban Mayjen
Pranoto, Likas pun menelepon wakil suaminya, yakni Wakil Asisten Operasi
Brigjen Muskita. "Pak Muskita, saya minta dikirimkan panser," kata
Likas dengan lugas.
"Untuk apa, Bu?" tanya
Muskita penuh keheranan.
"Saya mau ke rumah Bapak
Soebandrio," jawab Likas.
"Ibu tahu Soebandrio itu,
siapa?" balasnya.
"Saya tahu, beliau Waperdam,
Menteri Luar Negeri," ucap Likas yang mulai tidak sabar.
"Ibu mau apa ke sana?"
kata Muskita dengan nada khawatir.
"Saya mau menanyakan
keberadaan suami saya. Ke mana ditaruhnya? Mohon bantuannya, kirimkan saya
panser, jenderal," ucap Likas dengan nada membujuk.
"Pak Jamin Gintings, belum
pulang saja. Ibu sabarlah."
"Justru itu yang akan saya
tanyakan ke rumah Pak Soebandrio. Tolong siapkan panser supaya saya bisa ke
sana, Pak Muskita."
Didesak terus, akhirnya Muskita
mengatakan, "Nantilah, saya siapkan dulu."
Ternyata, yang dikirim ke rumah
Jalan Sisingamangaraja Nomor 12 bukan panser, melainkan istri Brigjen Muskita.
"Bu Muskita memberi pesan dari suaminya bahwa pansernya menyusul."
Berapa lama kemudian, tiba-tiba
telepon rumah sudah bisa aktif kembali dan telepon pun berdering. "Dari
suamiku! Puji Tuhan, suamiku selamat!" kata Likas menceritakan kegalauan
saat peristiwa G-30 September 1965.
Dengan pengawalan ketat, akhirnya
Jamin Gintings singgah sebentar di rumah menemui istri dan anak-anaknya. Ia pun berangkat lagi dengan panser menuju
MBAD dan jenderal yang selamat diberikan perlindungan khusus di Markas Kostrad
di bawah kendali Mayjen Soeharto.
Likas menyadari kekeliruannya
meminta dikirimkan panser. Sebuah permintaan yang tidak mungkin dikabulkan oleh
MBAD, kecuali atas permintaan suaminya yang memegang kendali operasi MBAD.
"Ya itu, karena saya panik," katanya mengenang.
Sama seperti Letjen Ahmad Yani,
Jamin Gintings pun dikenal sangat antikomunis. Contohnya pada Desember 1956,
Letnan Kolonel Jamin Gintings sebagai Kepala Staf TT-I Bukit Barisan terpaksa
mengambil alih komando Panglima TT-I Bukit Barisan, ketika MBAD memecat Kolonel
Maludin Simbolon dalam peristiwa PRRI.
Saat itu, muncul dualisme
kepemimpinan sebagai pengganti Simbolon. Selain Jamin, ada pula Letnan Kolonel
Wahab Makmur, Komandan Resimen II yang bermarkas di Pematang Siantar. Wahab
dikenal sebagai perwira yang berhaluan komunis.
Jika Wahab yang memegang kendali
TT Bukit Barisan, wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Riau diperkirakan akan jatuh ke tangan komunis.
Apalagi, 27 perwira resimen tersebut mendesak Wahab mengambil alih posisi
Panglima TT. Jamin pun mengambil alih lebih dahulu dan akhirnya dia yang
disetujui KSAD Kolonel AH Nasution untuk menjadi Panglima TT.
Penugasan dari menpangadLetjen
Yani kepada suaminya,menurut Likas,justru menyelamatkan hidup Jamin
Gintings.Apalagi, seperti jendral-jendral yang gugur,Jamin di kenalsebagai
jendral antikomunis."Munkin pasukan penculik dan pembunuhs udah tahu suami
saya tidak ada di Jakarta."
Setelah peristiwa G-30-A
1965Letjen Soehartopun memegang kendali MBADJamin pun menjadi Instruktur
Jemdral Angkatan Darat(Irjenad)yang merupakan orang ketigadi MBAD setelah
Menpangad Letjen Soeharto dan wakil Menpangad Mayjen Maraden Panggabean.Jamin
menjadi Irjenad hingga 1968.
Ia pun ditugaskaryakan sebagai
anggota DPR 1068-1972.Ketua Sekber Golkardan Ketua DHN 1945.Pangkatnya di
naikan menjadi Letnan Jendralpada 1971.Jamin, pemilik Bintang Mahaputra
RI,wafat di usia 53 dan masih menjadi militer aktif.Ia menutup usia akibat
serangan jantung pada 23 Oktober1974 saat bertugas menjadi Duta Besar Luar
Biasa RI untuk Kanada.
***
Pejabat Tinggi MBAD
Menteri Panglima Angkatan Darat
Letjen Ahmad Yani *.
Deputi-deputi Menpangad:
1. Deputi I (Operasi) Mayjen Moersjid
2. Deputi II (Administrasi) Mayjen R
Soeprapto *
3. Deputi III (Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen MT Harjono *
Asisten-asisten Menpangad:
1. Asisten I (Intelijen) Mayjen S Parman *
2. Asisten II (Operasi) Mayjen Jamin
Gintings
3. Asisten III (Personil) Mayjen Pranoto
Reksosamodra
4. Asisten IV (Logistik) Brigjen DI
Panjaitan *
5. Asisten V (Teritorial) Mayjen Soeprapto
Soekowati
6. Asisten VI (Litbang) Brigjen Soedjono
7. Asisten VII (Keuangan) Brigjen Alamsjah
Ratu Prawiranegara
Inspektur Kehakiman AD Brigjen
Soetojo Siswomihardjo *
Keterangan: tanda * adalah perwira tinggi yang gugur
dalam peristiwa G-30-S 1965.
Sumber : Republika.co.id
Comments