Medan City Hall, circa 1950
|
Medan pada tahun 1950-an merupakan
wilayah yang unik. Ikatan sejarah yang erat antara pantai Timur Sumatra dan
Semenanjung Melayu di seberang Selat Malaka menjadikan daerah ini tunduk pada
kekuatan-kekuatan yang berbeda dibanding wilayah lainnya di kepulauan Nusantara.
Sebelum perang Dunia II,
kontak-kontak antara penduduk Medan dan Jakarta lebih terkait urusan kolonial.
Bahasa dan tradisi Melayu yang sama, ikatan kekerabatan yang kuat dengan
orang-orang Melayu di seberang Selat Malaka, serta kedekatan geografis dengan
semenanjung Melayu, mengandung arti bahwa banyak penduduk Medan dan pantai
timur Sumatra secara ekonomi, sosial, dan kultural berorientasi ke Singapura
dan Malaya, alih-alih ke Jawa yang lebih jauh. Orang Melayu di kedua sisi Selat
Malaka itu bagai bambu serumpun. Baru setelah Proklamasi Kemerdekaan yang
dibacakan Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Sumatra
dihadapkan pada suatu komunitas baru di mana mereka merupakan bagian darinya,
yakni negara-bangsa Indonesia. Dari sinilah mereka kembali mendefenisikan siapa
diri mereka di hadapan bangsa baru ini berikut para pemimpinnya.
Pada tahun 1954, sembilan
tahun setelah berakhirnya perang Dunia II, Medan masih mengalami berbagai
dampak pendudukan Jepang. Mantan romusha dan heiho yang tak punya rumah
berkeliaran di jalan-jalan bersama dengan veteran pejuang kemerdekaan yang
gagal kembali ke masyarakat. Seluruh generasi orang-orang dewasa muda buta
huruf (sebahagian) karena selama perang berlangsung mereka tidak bisa mengenyam pendidikan
sebagaimana mestinya. Laju urbanisasi yang pesat terjadi setelah perang Dunia
II menyebabkan munculnya setumpuk masalah. Sebelum perang Dunia II, jumlah
penduduk Medan sekitar 80.000 jiwa. Namun menjelang tahun 1954, jumlah ini
meningkat 6 kali lipat mencapai setengah juta jiwa.
Kurangnya lahan dan
perumahan berakibat pada munculnya kantong-kantong pemukiman liar yang besar
dan ekonomi yang mandek. Fasilitas umum kota Medan sama sekali tidak memadai
untuk penduduk baru yang terus meningkat. Membanjirnya kaum tani miskin dan
buta huruf dari kawasan pedesaan sekitar Medan, serta dampak pendudukan Jepang,
jelas membuat tingginya angka buta huruf di kota ini.
Pejabat pemerintah kota
praja dan kantor-kantor cabang berbagai lembaga nasional di Medan bertekad
memperbaiki situasi yang ada. Ada Biro Rekonstruksi Nasional, suatu organisasi
pemerintah yang didirikan untuk membantu para veteran pejuang kemerdekaan –
yang menyelenggarakan kursus-kursus keterampilan secara gratis, memberikan
pinjaman lunak untuk memulai bisnis kecil-kecilan dan membuka sejumlah usaha,
misalnya seperti bengkel reparasi mobil, yang membuka kesempatan kerja buat
veteran.
Biro Penerangan Kantor
Pemerintahan Kota Praja menyelengggarakan kursus-kursus pemberantasan buta
huruf dan membuka perpustakaan kecil-kecilan serta memasang radio di
tempat-tempat umum. Pada Februari 1954, Biro Penerangan ini membagikan tidak
kurang 20.000 buku latihan di kalangan penduduk kota Medan dalam upaya
pemberantasan buta huruf, namun hasilnya kurang berarti. Bagi kaum miskin,
orang-orang yang terusir dan tidak punya rumah, disediakan penasehat sosial,
papan tempat tinggal di pinggiran kota, dan dalam sejumlah kasus bahkan tiket
gratis untuk pulang ke daerah asalnya. Kursus-kursus gratis untuk meningkatkan
pengetahuan umum penduduk terbuka untuk semua warga. Dan menjelang
berlangsungnya pemilihan umum pertama yang demokratis tahun 1955, Biro
Penerangan menyelenggarakan kuliah-kuliah politik, pemutaran filem dan rapat-rapat
umum pelajar guna menanamkan dukungan patriotis terhadap demokrasi modren di
hati sanubari dan pikiran warga Medan.
Banyak organisasi politik,
serta perhimpunan perempuan pekerja dan pelajar di Medan menegaskan dukungan
pada tingkat akar rumput atas segala aktifitas yang bertujuan untuk perbaikan
sosial dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Keperdulian warga
atas dan keterlibatan dengan kesejahteraan warga kota Medan dan bangsa Indonesia juga diperlihatkan dalam 14 surat kabar setempat, serta dalam majalah
berita dan hiburan dalam jumlah yang kurang lebih sama yang terbit di Medan (Buku tahunan 1955).
Memang banyak hal telah
dilakukan, tetapi itu belum cukup. Resesi ekonomi pada masa itu membuat
anggaran belanja pemerintah kota praja Medan harus diperketat. Di Medan, terasa
betul bahwa telah waktunya pemerintah pusat di Jakarta melangkah masuk dan
meningkatkan kontribusinya terhadap anggaran belanja kota, waktu itu merupakan
sepertiga dari anggaran total Kota Medan.
Ketika pemerintah pusat menolak
melakukan hal itu, muncullah ketidak puasan terhadap para pemimpin pusat di
Jakarta. Media massa setempat menyuarakan kritik tajam terhadap kepemimpinan
negara. Isu utamanya adalah pembagian pendapatan negara yang tidak merata dari
pemerintah pusat. Berulang-ulang dikatakan bahwa sementara kekayaan alam
Sumatra – khususnya hasil-hasil pertambangan dan minyak – telah mengisi
pundi-pundi negara, pulau itu tetap tertinggal. Presiden Soekarno dan Perdana
Mentri Ali Sastroamidjojo cum suis
secara terang-terangan dikecam, bukan hanya karena pembagian kekayaan yang
tampak tak adil, tetapi juga karena rakyat Medan –sepertinya halnya rakyat di
tempat-tempat lain di Indonesia- menyadari bahwa janji-janji Soekarno gagal
diwujudkan. Hasil pemilihan umum tahun 1955 memperlihatkan betapa tajamnya
kesenjangan yang ada; Sumatra menjadi basis Masjumi berhadapan dengan aspirasi
partai politik Soekarno yang ambisius, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang pendukungnya mendominasi panggung politik di Jawa (Feith 1999).
Bersambung ke bagian 2
Comments