Budaya Pop dan Dunia Melayu
Pada pertengahan 1950-an,
Medan dikenal sebagai ‘ibukota roman picisan.’ Percetakan dan penerbitan
swasta di Indonesia mengawali usahanya di Medan pada perempat pertama abad
ke-20; dan sejak semula percetakan-percetakan ini telah melayani permintaan
pasar yang ada. Sekitar separoh semua terbitan di seluruh Indonesia pada tahun
1950-an dicetak di Medan (Barus Siregar, 1953). Akan tetapi kuantitas tidaklah
mencerminkan kwalitas terbitan-terbitan ini yang menjadi buah bibir pada masa
itu. Sementara hampir-hampir tidak ada pasar untuk karya-karya sastra Indonesia
modren yang ‘serius’ di Medan, novel-novel pop tentang perampokan, pembunuhan,
penyeludupan, cinta dan seks laris manis, khususnya dikalangan kaum muda. Tidaklah
mengherankan bila berbagai catatan kritis atas genre pop ini muncul dalam
banyak kolom di lembar-lembar budaya nasional dan majalah yang terbit di Jawa.
Bersambung ke bagian 3
Meskipun – atau mungkin
justru karena – prospek ekonomi suram, Medan memiliki kehidupan budaya yang
menggairahkan. Baik produksi maupun konsumsinya, budaya poplah yang paling
laris, dibandingkan dengan berbagai wujud budaya Indonesia modren yang lebih
serius, serta lebih sadar diri. Bentuk-bentuk visual budaya pop misalnya,
seperti filem dan kartun – keduanya realtif merupakan budaya baru – menarik konsumsi
khalayak luas, setidak-tidaknya karena tingkat buta huruf yang tingggi di
Medan. Dalam hal ini Medan mirip dengan kota-kota utama di Semenanjung Malaya
di mana – sesuatu yang menjengkelkan para guru Inggris – ‘selera rakyat’
menentukan pasar dan khalayak lebih menyukai filem Melayu yang sentimentil atau
filem Hollywood ketimbang sebuah novel yang bagus sekalipun (Harper 1999 :
282).
Konon di Medan, bea tontonan – pajak dari tiket bioskop – mencapai tidak
kurang dari sepertiga total anggaran pendapatan pemerintah kotapraja Medan. Sekurang-kurangnya
ada enam belas gedung bioskop yang memutar filem-filem Hollywood, India dan
Melayu yang menampilkan penyanyi-penyanyi terkenal (Buku tahunan 1955 : 24, 219). Rekaman musik dan lagu-lagu pengiring
dalam filem-filem dari Singapura dan federasi Malaya (Malaya sebelum 31 Agustus
1957), misalnya seperti Hang Tuah
dengan aransemen musik oleh aktor, penyanayi dan pencipta lagu populer P. Ramlee,
menemukan penggemarnya di Medan.
Radio merupakan media
populer lainnya. Radio Republik Indonesia (RRI) studio Medan sering dikunjungi
berbagai penyanyi, kelompok paduan suara dan band pop, Lily’s Band, yang
dipimpin penyanyi/komponis Lily Suhairy, merupakan ensamble musik Medan yang
paling besar dan terkenal.
Lily Suhairy |
Lily Suhairy |
Rubiah |
Rubiah, penyanyi terkenal
yang sering melantunkan lagu-lagu Melayu, juga seorang anggota Lily’s Band;
pada masa itu suaranya digunakan untuk sulih suara filem-filem Melayu pop asal
Singapura. Penyanyi/penulis pop lainnya asal Medan yang lagu-lagunya sering
mengudara di RRI adalah Achmad CB. Penyanyi yang sebahagian masa kecilnya hidup
di Malaya ini mendapat julukan ‘raja keroncong’ internasional. Tiga tahun
berturut-turut dia pernah memenangkan lomba lagu keroncong di Singapura; dan
dia merekam lagu-lagunya di Singapura. Jenis lagu-lagu lain yang populer pada
dasawarsa 1950-an adalah lagu Batak modren, gambus dan nasyid. Dua jenis lagu
yang terakhir ini diilhami oleh musik asal Timur Tengah. Akhirnya,
kelompok-kelompok musik, paduan suara dan ensamble dari Jawa dan pulau-pulau
lain secara teratur tampil di studio RRI Medan, serta tempat-tempat lain di
kota itu. Selain ada siaran musik, RRI Medan juga punya acara-acara sastra dan
pembacaan puisi, yang keduanya sangat populer.
Rubiah & Lena - Sinar (Pembalasan OST - 1950)
Petikan dari filem Pembalasan (1950) terbitan MFP
Studio, Jalan Ampas.
Marliah menggunakan suara Rubiah manakala Siput Sarawak
menggunakan suara Lena.
Achmad CB |
Sutradara filem Usmar
Ismail, misalnya, merasa bahwa cerita-cerita itu tidaklah menawarkan apapun
kepada pembaca, kecuali emosi dangkal, sentimen murahan dan tiadanya
pertanggungjawaban moral dan kesemuanya itu akhirnya meracuni pikiran (Barus
Siregar 1953 : 24). Banyak pihak memandang isi roman picisan beserta tampilan
gambar biduanitanya serta bintang-bintang filemnya dalam majalah-majalah
hiburan itu ‘cabul’, yang kemudian menjadi julukan kontroversial atas kota
Medan (Nasution 1955 : 261).
Sampul Buku "Tangan Berrnoda." |
Penilaian negatif atas tulisan-tulisan
dari Medan setelah perang Dunia II, antara lain bertolak pada pandangan Belanda
sebelum PD II tentang sastra yang masih terus berpengaruh bahkan setelah
Belanda tak lagi memiliki kedudukan yang dominan di Indonesia. Dengan mendirikan
lembaga percetakan negara yang bernama Poestaka pada tahun 1908, Belanda
menetapkan sebuah standar perihal apa yang disebut sastra (Teeuw 1986 : 13-15).
Karya fiksi yang tak sesuai dengan standar sastra yang ditetapkan Belanda
disebut sastra liar, sastra yang ‘liar,’ ‘tak terkendali,’ yang ditulis
oleh pengarang-pengarang yang tidak mengacu pada ‘kaidah-kaidah sastra.’ Namun penetapan
standar ini lebih mengacu pada kepentingan kolonial, daripada bertolak dari
kaidah kesusastraan itu sendiri. Teks-teks sastra yang menyinggung agama, ras,
dan politik dianggap berbahaya buat kepentingan kolonial dan dengan demikian
dicap sastra liar. Lebih-lebih bila
satra Melayu yang digunakan dalam sebuah teks sastra tidak sesuai dengan
standar pemerintahan kolonial Hindia Belanda tentang apa yang mereka sebut
bahasa Melayu atau Indonesia yang baik dan benar, karya semacam itupun akan
ditolak.
Namun perlu juga diingat,
bahwa batas yang superfisial ini tidaklah seketat yang dibayangkan, Kratz (1991
: 194-5). Teeuw (1986 :73-5) menyebut-nyebut cerita-cerita Hamka yang pada
mulanya diterbitkan sebagai roman picisan
pun kemudian diterbitkan ulang oleh Balai Poestaka.
Label lain yang bernada negatif
yang dilekatkan pada karya sastra asal Medan adalah sastra Medan. Label ini
mengacu pada karya-karya Hamka dan pengarang-pengarang Muslim lain asal Medan,
yang lebih nasionalis dan politis dari pada karya-karya yang dihasilkan di
Batavia (Roolvink 1950).
Sebelum PD II,
majalah-majalah berbahasa Belanda di Hindia
Belanda memuat komik-komik Amerika, tetapi hal ini baru polupler setelah
PD II. Di Medan misalnya, pada tahun 1954, Waktu
menyajikan satu serial komik Flash
Gordon.karya Don Barry. Distributor komik Amerika King Feature Syandicate
menaklukan pasar Indonesia, dan komik-komik seperti Rip Kirby karya Alex
Raymond, Phantom karya Wilson McCoy dan Tarzan pun menjadi populer buat
khalayak pembaca luas Indonesia.
Pada akhir 1950-an dan awal
1960-an orang Indonesia pun mulai menciptakan karya-karya komik yang
mencerminkan isu-isu sosial dan politik yang lagi hangat pada masa itu. Komik-komik – yang kalau di
Medan menampilkan tokoh-tokoh dari cerita-cerita rakyat Batak, sedangkan di
Jawa tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan -
muncul sebagai respons terhadap terhadapan dominasi asing dalam jagad
perkomikan.
Dengan dukungan Muhammad
Said, wartawan dan pendiri sekaligus editor surat kabar terkenal di Medan,
yaitu Waspada, Taguan Hardjo, seorang imigran Jawa-Belanda asal Suriname yang
telah menetap di Medan, menjadi salah satu seniman komik Indonesia yang paling
populer (Ade Tanesia 2002 : 60-5).
Sampul 'Drama di Tengah Malam' oleh M.A. Hastati |
Bersambung ke bagian 3
Comments