Dilihat dari peran Jakarta sebagai pusat kebudayaan Indonesia, sumbangannya terhadap budaya pop Medan agak terbatas. Kelompok-kelompok musik pop dari segala penjuru Indonesia, termasuk dari Medan, berkeliling Indonesia dan seringkali tinggal di Jakarta selama beberapa saat guna melakukan rekaman dan mendapatkan peliputan publik dalam surat-surat kabar dan majalah nasional.
Sementara itu para pengarang, penulis naskah drama, pelukis dan aktor muda di Medan yang ambil bagian dalam kebudayaan nasional ‘serius’ menganggap Jakarta sebagai kiblat mereka. Sementara khalayak ramai berkiblat ke seberang Selat Malaka, yaitu Singapura, menanti peluncuran filem baru yang menampilkan bintang filem Melayu populer, seperti P. Ramlee atau Kasma Booty. Sejak 1920-an, Penang dan Singapura telah menjadi pusat budaya pop apa yang lazim disebut sebagai Dunia Melayu, di mana Medan merupakan bagiannya.Dengan didirikannya dua studio filem yang saling bersaing di Singapura pada tahun 1947 dan 1952 dan produksi filem-filem Melayu yang sukses dalam jumlah besar, Singapura menjadi pusat filem Melayu. Filem-filem ini diproduksi dengan modal dari orang Cina, disutradarai orang India dan dibintangi orang-orang Melayu. Filem menjadi suatu industri raksasa dan menarik banyak orang Melayu ke Singapura yang ingin mengadu peruntungan dengan menjadi aktor, penulis skenario atau ilustrator musik. Format-format filem awal antara lain didasarkan pada satu bentuk teater Melayu populer yang disebut bangsawan, dimana musik berperan penting (Harper 1999 : 282-5).Rata-rata, banyak di antara orang ‘Melayu” yang merantau ke Singapura untuk bekerja di industri perfilman atau industri yang terkait dengan musik berasal dari Medan. Menarik bahwa beberapa tokoh kunci dalam bisnis filem Singapura adalah para perintis teater sebelum PD II (baik bangsawan maupun teater modren yang disebut sandiwara), musik dan filem bisu di Sumatera Utara. Kedua orang tua komponis penyair Ahmad Jafa’ar, misalnya, adalah operator filem bisu. Ia belajar memainkan alat-alat musik yang berbeda-beda dan mementaskannya dalam orkestra yang mengiringi pemutaran filem bisu.Penyanyi Rubiah bergabung dengan kelompok teater keliling sewaktu masih muda belia, ketika keluarganya tak mampu lagi menghidupinya. Achmad CB mengawali karirnya sebagai pelakon bangsawan sebelum PD II ; kemudian mendirikan kelompok teater modren sendiri dengan nama Asmara Dhana / Rayuan Asmara. Dan bintang filem populer Kasma Booty baru berusia empat belas tahun ketika bergabung dengan kelompok teater Achmad CB untuk pentas ke Penang guna menghindari penyiksaan Jepang.Keempat seniman ini melakukan pentas keliling di kawasan Malaya ketika masih berusia muda, dan kepindahan mereka ke Singapura dan bergeser ke dunia filem tak lebih dari tahap wajar selanjutnya dalam karier mereka.Menarik untuk dicatat bahwa ketiga ‘bintang filem dan penyanyi Melayu’ dari Medan itu, yakni Rubiah, Achmad CB dan Kasma Booty secara etnis bukan Melayu sama sekali. Mereka termasuk apa yang oleh Kahn disebut ‘Melayu yang lain’ : orang Malaya atau Indonesia yang berasal dari etnis campuran, yang lahir dan/atau besar di kawasan Melayu. Ayah Rubiah adalah orang Batak bermarga Lubis, sedangkan ibunya orang Jawa. Achmad CB, yang bernama asli Achmad Awab Azis adalah keturunan Arab (Said Tripoli, aktor dan sutradara bangsawan kenamaan adalah pamannya), sedangkan Kasma Booty berayah Belanda.
Kasma Booty |
Di Singapura, dunia
perfileman, kelompok-kelompok dan bintang-bintang kabaret merupakan suatu
jaringan individu-individu berbakat yang menebarkan
nada politik antikolonial. (Harper 1999 : 290). Artis-artis Indonesia yang
merantau ke Singapura bertemu dengan pengarang, aktor, dan musisi nasionalis
Malaya yang hijrah ke Singapura untuk melarikan
diri dari Undang-Undang Keadaan Darurat Inggris. Bersama mereka mendorong
radikalisai budaya pop di Singapura (Harper 1999 : 290 ; Kahn 2006 : 114-7).
Bersambung....
* * * * * * *
Catatan kecil dari Wikipedia dan selengkapnya di MSWikipedia :
Kasmah Binti Abdullah atau
dikenal dengan nama Kasma Booty (Kisaran, Hindia-Belanda (kini Indonesia), 1932
- Kuala Lumpur, 1 Juni 2007) adalah aktris Malaysia berdarah Jawa-Belanda, yang
dijuluki sebagai "Elizabeth Taylor dari Malaysia". Ia menikah dengan
Booty Jacobs dan dikaruniai 5 anak.
Karier filmnya berawal sejak usia
15. Film pertama yang dibintanginya diproduksi oleh Shaw Brothers. Film-filmnya
dalam produksi itu antara lain Chempaka (1947) dan Manusia (1951).
Chempaka adalah filem pertama bagi Kasma Booty. Ini adalah iklan tayangan 'Chempaka" di Alhambra, Singapura |
Kemudian, Booty ikut masuk ke
Cathay Keris Studio di Singapura dan bermain dalam sejumlah film seperti
Mahsuri (1958), di mana dalam usia 60 tahunan ia banyak ikut dalam film-film
produksi Merdeka Studio di Hulu Kelang (dekat Kuala Lumpur), seperti Keris
Sempena Riau (1961) dan Damak (1967).
Ia mendapat 2 kali penghargaan
sebagai aktris. Pada tahun 1987 ia menerima penghargaan Merak Kayangan untuk
veteran film dari Festival Film Malaysia dan pada tahun 1990 ia dianugerahi
Jury Award dalam Festival Film Asia-Pasifik ke-35.
Kasma Booty meninggal akibat
pneumonia dan dimakamkan di Pemakaman Kampung Klang Gate.
Film-film yang dibintanginya :
Chempaka (1947)
Pisau Berachun (1948)
Noor Asmara (1949)
Rachun Dunia (1950)
Bakti (1950)
Dewi Murni (1950)
Sejoli (1951)
Juwita (1951)
Manusia (1951)
Mahsuri (1958)
Keris Sempena Riau (1961)
Selendang Merah (1962)
Siti Payung (1962)
Ratapan Ibu (1962)
Tangkap Basah (1963)
Anak Manja (1963)
Ragam P. Ramlee (1965)
Comments