Surat Pujian
Wakil Presiden Republik Indonesia
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kucintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan
perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah
darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan
Saudara-saudara yang rumah habis dibakar dari pada kampung halamannya jatuh ke
tangan musuh yang ganas, yang terus menyerang dan melebarkan daerah
perampasannya sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi kami sebaliknya merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban
untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo
yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati.
Rumah yang terbakar, boleh
didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangunkan lagi, tetapi
kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar penderitaan
Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara
dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan.
Rakyat yang bertekad sedemikian
dan inilah benar-benar tekad rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya
tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung dan halaman saudara-saudara
yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia, dan akan
tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian
dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima
kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu:
“Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Agresi I Militer Belanda
Kabar-kabar angin bahwa Belanda
akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya,
pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor
pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang
sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru
mendekati 2 tahun.
Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, Wakil Presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, Wakil Presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Rute yang dilalui Wakil Presiden
adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan
Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi
kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta
Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting’s, Komandan
Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat
Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di
penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu Wakil Presiden
memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta
hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Selesai memberi petunjuk, kepada
beliau ditanyakan kiranya ingin ke mana, sehubungan dengan serangan Belanda
yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan
Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan:
“Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.
Setelah Wakil Presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.
“Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.
Setelah Wakil Presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.
Apabila Belanda dapat merebut
pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai
Merek, oleh sebab itu kompi markas dan
sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu
dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan
Pengawalan dan pengamanan Wakil Presiden, maka ditetapkan satu pleton dari
Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung
Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan
pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.
Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah Wakil Presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah Wakil Presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sedang sayup-sayup terdengar
tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara
pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar
Gunung Sipiso-piso.
Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden
mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo.
Kemudian berangkatlah Wakil Presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung
ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan
Padang Sidempuan.
Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa
dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik
Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa
dengan segala isinya.
Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.”
Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat Wakil Presiden tersebut terlihat seperti prasasti di atas (terletak di Lau Gumba-Bukit Kubu - red) selengkapnya (alih bahasa menurut website Pemkab. Karo) sebagai berikut :
Bukittinggi, 1 Januari 1948
Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.”
Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat Wakil Presiden tersebut terlihat seperti prasasti di atas (terletak di Lau Gumba-Bukit Kubu - red) selengkapnya (alih bahasa menurut website Pemkab. Karo) sebagai berikut :
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang
Kuncintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan
Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita
yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara
yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah
perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan
Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa
bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita
kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo
yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang
terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi,
tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar
pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa
terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang
penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang
begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan
cita-citanya.
Di atas kampung halaman
saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia
dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai
bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima
kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali
Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Selanjutnya, untuk melancarkan
roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta
Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara
sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.
Akibat serangan pasukan Belanda
yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan
Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau
Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta
perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok
desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang
pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.
Setelah perjanjian Renville
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan
seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung
persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai
secara de jure oleh Republik.
Barisan bersenjata di Sumatera
Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang
ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan
yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli
Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas
Aceh Tenggara. Pasukan Napindo
Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun
hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.
Berdasarkan ketentuan ini, dengan
sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook,
tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau
Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta
Sembiring dibantu oleh Patih Netap
Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi
dengan 14 orang tenaga inti.
Selanjutnya untuk memperkuat
posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo
Belanda menghidupkan kembali stelsel atau
sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.
Administrasi pemerintahan tetap
disebut Onder Afdeling De Karo Landen,
dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda
berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap
kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan
wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.
Adapun susunan Pemerintahan Tanah
Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga,
Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen
Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala,
Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin.
Sumber : Karokab.go.id
Comments