onderneming Padang-boelan
van de Amsterdam Deli Compagnie bij Medan.
Source : http://kitlv.pictura-dp.nl/
|
Ginting Margana, “Kabratan anak negri dan toean toean kebon”,
Andalas, 22 Agustus 1918 :
Di bawah ini saja
toetoerken satoe persatoe kaberatan anak negri jang telah dilakoeken oleh toean
toean kebon soepaja djangan kelak saja ini dikataken t.t. pembatja mengisep
kabar dari oedjoeng djari sadja :
Dimana ladang jang
tanahnja soeboer dan rata sedikit
t.t. kebon asingkan, itoe boeat
ladang sewa, atawa boeat djoealan. Mana ladang jang tida saberapa baik, itoelah
dibagi boeat anak negeri.
Ladang-ladang dibagi
oentoek anak negri, poen djangan di sangka, dibagi oleh toean toean kebon
menoeroet sepandjang boenji Contract, itoelah sekali kali tida! Boektinja
terseboet di dalam Contract ladang penoenggoel boeat anak negri dalem satoe
tangga jaitoe (1 H Are) atawa 10000 M.
Diladang j.t.s.
selainnja dari pokok kajoe androng, toean kebon tanem poela
sematjem kajoe jang diseboetken (oleh anak negeri kajoe emboen).
Binatang anak negeri
tida sekali boleh mengindjak tanah concessie kectjoeali
pasar (djalan), anak negeri tida boleh mengembalaken lemboe atawa kerbaunja
katanah jang diloear tanah kampoeng, itoelah
sekali kali tida boleh, menoeroet prentah toean kebon.
Disebelah satoe kebon,
ada djoega dilarang anak negeri mengambilkajoe, ditanah consessie walaupoen
dipergoenakan boeat roemah tangganja.
Anak negeri dipaksa
oleh toean toean kebon mengerdjaken pakerdjaan kebon
seperti mentjoetjoek tembako dan
mentjari oelat. Betoel, boeat itoe pakerdjaan diberi oepah menoeroet
pendapatannja, tetapi tida lebih sabrapa dari orang contrack, begitoelah boeat
anak negeri, itoepoen disertaken poela dengan antjeman : “Kaloe loe tida maoe tjoetjoek tembako, saja tida kasih ladang”.
Pada tahun 1918 ini bertambah
poela sematjem peratoeran dari
kebon kebon, jaitoe : ladang ladang
oentoek anak negeri lebih doeloe ditanemi djagoeng kapoenjaan kebon, kamoedian
sasoedah habis boeah djagoeng jang
ditkoetip oleh kebon, baroelah anak negeri bisa tanam padi.
Sumatra
Timur pada masa kolonial, khususnya
sejak tahun 1870, merupakan suatu lahan eksploitasi
ekonomi dan sasaran investasi
agro-bisnis dari kekuatan kapitalis kolonial asing yang menanamkan
modalnya di Indonesia.
Prospek
yang baik dari hasil-hasil percobaan tanam pertama dan lonjakan harga produk
agraria perkebunan di Sumatra Timur ini menjadi rangsangan dan titik tolak
utama bagi perluasannya. Berbagai macam perusahaan dengan kekuatan modal raksasa
berlomba-lomba dalam menanamkan modal dan mencari segala macam cara
untuk memperoleh lahan bagi usaha
agrobisnisnya di wilayah tersebut.
Di
sisi lain, kondisi pemilikan lahan di Sumatra Timur khususnya di wilayah
raja-raja swatantra (pemerintahan kasultanan), telah berlaku
dua macam sistem kepemilikan tanah. Dari
sudut pandang suprastruktur yang bernuansa elitis, dalam bidang ini berlaku
prinsip Vorstdomein yakni semua tanah di wilayah tersebut adalah milik raja
yang berkuasa, dalam hal ini Sultan Melayu. Sultan sebagai penguasa daerah
memiliki hak kuasa atas tanah-tanah di negaranya dan berhak membagi-bagikan
kepada kerabat dan birokrasinya hingga sampai kepada rakyat yang
memiliki hak garap.
Dalam
penerapan sistem tersebut di wilayah
Sumatra Timur, kekuasaan hak milik raja atas tanah ditunjukan melalui status
karunia Sultan yang diberikan dalam
bentuk tanah kepada penggarapnya.
Pada
sisi lain dalam kehidupan agraria masyarakat tradisional, berlaku juga
sistem pemilikan tanah oleh rakyat yang bersifat komunal (volksdomein). Menurut
sistem ini, sumber utama pemilikan tanah
berdasarkan pada konsep bahwa pembuka
lahan pertama menjadi pemegang hak utama
bersama keturunan dan keluarganya, yang
akan menggarapnya secara bergantian (komunal system).
Dalam
perkembangan selanjutnya, tanah-tanah
komunal ini kemudian diakui sebagai tanah adat yang bisa dimiliki dan digarap
bersama secara turun-temurun dalam bentuk
hak ulayat. Keberadaan dan keabsahan tanah ulayat ini tidak bisa
dilepaskan dari pelestarian dan eksistensi masyarakat adat pendukungnya yang
menjadikannya sebagai titik tolak dan sumber kehidupan.
Dalam
menggunakan tanah-tanah ulayat tersebut, sistem pergiliran pakai biasanya
diberlakukan dalam kurun waktu tertentu
sehingga perputaran atau sirkulasi hak pakai tanah merata di antara para
anggota masyarakat ini.
Melihat
kondisi pemilikan tanah yang berlaku di wilayah swatantra Sumatra Timur ini,
para pengusaha dan pemilik modal
(ondernemer) merasa perlu
menempuh jalur politik dan juridis formal untuk memenuhi kebutuhan agrobisnisnya.
Langkah yang digunakan adalah menggunakan birokrasi kolonialuntuk menekan
raja-raja Melayu agar bersedia melepaskan tanahnya dalam bentuk hak
sewa kepada para pengusaha perkebunan tersebut. Dengan kesepakatan yang
menyangkut harga dan lama sewa, satu persatu lahan di wilayah para Sultan Melayu yang sebelumnya
berstatus tanah ulayat atau karunia sultan berubah menjadi lahan onderneming yang ditanami dengan produk
agraria sebagai tuntutan dari pasaran kapitalisme di Eropa.
Dalam
tulisan ini akan dicoba untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi dalam penerapan
kedua sistem tersebut pada tanah-tanah di Pantai Timur Sumatra dengan masuk dan
berkembangnya sistem eksploitasi perkebunan besar
(onderneming) dan penanaman
kekuasaan serta kontrol pemerintah kolonial
yang menjadi penopang utama investasi kapitalisme. Dengan demikian juga perlu
digali sumber konflik dan benturan yang terjadi dalam pertemuan kedua
sistem yang berbeda sehubungan dengan pemilikan tanah dan rakyat penunggu di
sana. Bertolak dari hasil
penelitian tersebut, diharapkan
bisa ditemukan dan diketahui beberapa
tindakan dan kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dan konflik
yang berkepanjangan pada bidang tersebut.
Ekploitasi Agraria dan
Dampaknya bagi Kehidupan Petani
Bersama
dengan penambahan lahan untuk
kepentingan perkebunan, sebagai akibatnya
banyak tanah petani yang diambil untuk disewa dan ditanami dengan
tanaman perkebunan, sehingga para petani kehilangan ladang mereka.
Dengan
tidak adanya ladang petani, yang
semuanya sudah dirubah menjadi tanah
perkebunan (onderneming), ini terbukti bahwa hak ulayat tidak lagi diakui oleh
pemerintah kolonial yang mengizinkan persewaan semua lahan milik petani kepada
pengusaha perkebunan. Hal ini menciptakan ketegangan sosial. Sebagai akibatnya
sering terjadi konflik yang muncul antara masyarakat pribumi di satu pihak versus perusahaan perkebunan
(onderneming) yang didukung oleh pemerintah
kolonial maupun sultan di lain
pihak.
Dalam
salah satu peristiwa yang terjadi, penduduk pribumi menghadap Kontrolir untuk
melaporkan peristiwa tersebut. Kontrolir lalu membawa persoalan ini ke
Kerapatan di Arnhemia pada tanggal 16 Juli 1918 dengan mengundang sultan
dan para penghulu
yang berkaitan. Semua keberatan rakyat yang disampaikan di atas dibenarkan oleh para
penghulu yang hadir di sana.
Kontrolir
Winkelman kemudian memutuskan adanya pemberian batas jarak 9 kaki persegi yang
jelas untuk digunakan sebagai lahan cocok tanam penduduk; penduduk juga berhak
mengambil segala macam tanaman di lahan tanah tersebut.
Pengaduan
penduduk memperoleh perhatian dari Sultan Deli yang melalui Keputusan Nomor 80
tanggal 1 Juli 1921 menetapkan bahwa
para kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil tanah sebagai uang sewa untuk tanah yang disisihkan
di luar lahan penanaman. Tanah ini sering disebut dengan istilah tanah jaluran.
Yang
dimaksud dengan tanah jaluran ialah
tanah tempat tanaman tembakau yang baru selesai dipetik,
di atas mana para petani diperbolehkan
menanam tanaman semusim, ialah padi dan jagung, dan setelah tanaman tersebut habis dipanen tidak
lagi boleh diolah dan ditanami karena perlu dihutankan sampai tiba giliran
untuk kembali ditanami dengan tembakau (sistem rotasi).
Dapat
diambil kesimpulan bahwa dalam
proses persewaan lahan bagi
penanaman tembakau oleh perkebunan, telah terjadi penggunaan lahan secara
bergiliran atas bagiantertentu dari luas perkebunan tersebut. Bagian yang digunakan ini diberikan kepada rakyat penunggu dikerjakan setelah
berakhirnya musim panen tembakau.
Sebelum
mengupas persoalan ini lebih lanjut, perlu juga disampaikan tentang apa yang
disebut dengan ra’jat penunggu di
sini. Menurut Mahadi, rakyat penunggu adalah golongan penduduk yang bertempat tinggal di dekat dan di sekitar
tanah jaluran yang pada umumnya adalah kawula kerajaan pada masa lalu
atau landschapsonderhorigen.
Pengukuhan hak ra’jat penunggu ini atas tanah jaluran
mendapat keberatan dari pengusaha pemegang konsesi karena mereka merasa
terancam, mengingat
tanah jaluran tersebut akan hilang apabila masa konsesi berakhir danstatus tanah ini berubah menjadi erfacht.
Penyelesaian
ini tidak tuntas, mengingat sanksi hukum tidak dimuat dalam keputusan tersebut.
Sebagai akibatnya pemerasan dan penipuan masih terus berlangsung.
Hal
ini terungkap dengan adanya tanah-tanah jaluran bagi penduduk yang tidak memenuhi
syarat atau sesuai dengan harapan penduduk.
Suatu ungkapan keluhan
disampaikan oleh Ginting Margana, “Kabratan anak negri dan toean toean kebon”,
Andalas, 22 Agustus 1918 :
Di bawah ini saja
toetoerken satoe persatoe kaberatan anak negri jang telah dilakoeken oleh toean
toean kebon soepaja djangan kelak saja ini dikataken t.t. pembatja mengisep
kabar dari oedjoeng djari sadja :
Dimana ladang jang
tanahnja soeboer dan rata sedikit
t.t. kebon asingkan, itoe boeat
ladang sewa, atawa boeat djoealan. Mana ladang jang tida saberapa baik, itoelah
dibagi boeat anak negeri.
Ladang-ladang dibagi
oentoek anak negri, poen djangan di sangka, dibagi oleh toean toean kebon
menoeroet sepandjang boenji Contract, itoelah sekali kali tida! Boektinja
terseboet di dalam Contract ladang penoenggoel boeat anak negri dalem satoe
tangga jaitoe (1 H Are) atawa 10000 M.
Diladang j.t.s.
selainnja dari pokok kajoe androng, toean kebon tanem poela
sematjem kajoe jang diseboetken (oleh anak negeri kajoe emboen).
Binatang anak negeri
tida sekali boleh mengindjak tanah concessie kectjoeali
pasar (djalan), anak negeri tida boleh mengembalaken lemboe atawa kerbaunja
katanah jang diloear tanah kampoeng, itoelah
sekali kali tida boleh, menoeroet prentah toean kebon.
Disebelah satoe kebon,
ada djoega dilarang anak negeri mengambilkajoe, ditanah consessie walaupoen
dipergoenakan boeat roemah tangganja.
Anak negeri dipaksa
oleh toean toean kebon mengerdjaken pakerdjaan kebon
seperti mentjoetjoek tembako dan
mentjari oelat. Betoel, boeat itoe pakerdjaan diberi oepah menoeroet
pendapatannja, tetapi tida lebih sabrapa dari orang contrack, begitoelah boeat
anak negeri, itoepoen disertaken poela dengan antjeman : “Kaloe loe tida maoe tjoetjoek tembako, saja tida kasih ladang”.
Pada tahun 1918 ini bertambah
poela sematjem peratoeran dari
kebon kebon, jaitoe : ladang ladang
oentoek anak negeri lebih doeloe ditanemi djagoeng kapoenjaan kebon, kamoedian
sasoedah habis boeah djagoeng jang
ditkoetip oleh kebon, baroelah anak negeri bisa tanam padi.
Dari
kutipan di atas (keluhan Ginting Mergana) bisa diketahui bahwa onderneming tidak mematuhi ketentuan kontrak
dengan sultan, bahwa akan menyediakan tanah jaluran yang terbaik bagi penduduk untuk
ditanami tanaman pangan. Dalam hal inionderneming telah melakukan
wanprestasi, yaitu tidak melaksanakan kewajiban dalam kontrak.
Sultan bukannya tidak mengetahui peristiwa ini, namun tidak mengambil
tindakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Para
pengusaha yang memegang konsesi tanah dari sultan mempunyai kewajiban-kewajiban berikut ini;
menyisihkan tanah jaluran setelah dipanen dari tembakau, menyisihkan tanah
untuk kampung dan menyisihkan minimal 4 bau tanah bagi pertanian rakyat. ketentuan
ini selalu dimuat dalam kontrak sewa
meskipun dalam pelaksanaan masih harus diperhatikan.
Dalam
prakteknya ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh pengusaha onderneming
secara konsekuen dan sultanpun tidak mengambil tindakan terhadap pelanggaran
syarat konsesi tersebut. Persoalan tanah yang
timbul disebabkan adanya
keseganan pengusaha perkebunan untuk menyisihkan lahan (jaluran) yang seharusnya digunakan bagi
penduduk pribumi. Tanah tersebut tetap
dipertahankan sendiri dan diberikan
kepada pegawainya atas dasar sewa.
Tindakan
ini tidak bisa dikendalikan baik oleh sultan maupun oleh kontrolir, mengingat
adanya kesepakatan antara pengusaha
perkebunan dan pemerintah. Kesepakatan ini menyebutkan bahwa atas setiap
konsesi yang dikeluarkan, seperempat tanah yang disepakati dan separuh
cukai tahunan harus disetorkan ke kas negara demi kepentingan proyek
pembangunan umum. Setelah memenuhi kewajiban ini, pengusaha perkebunan diberi
kebebasan dalam hubungannya dengan sultan.
Tindakan
pengusaha perkebunan yang tidak mematuhi akte konsesi yang mewajibkannya untuk
memberikan tanah jaluran kepada masyarakat,
ternyata tidak dicegah oleh Sultan, namun justru membiarkannya. Hal ini
disebabkan karena sultan telah mendapat
keuntungan yang besar dari pengusaha perkebunan. Pernyataan ini bisa
dibuktikan dalam tahap penyelesaian
perkara ini, yaitu dengan menyerahkan keputusannya kepada aparat pemerintah, khususnya Kontrolir
setempat.
Pada
tanggal 11 Januari 1926 Tengku A. Machmoed menulis dalam sebuah artikel di
harian Pewarta Deli yang berjudul “PENGAROEH CONCESSIE DISOEMATRA TIMOER
Motto” : Kapitalis Minoem Soesoe, Zelfbestuurder toeroet memerah Ra’jat, sebagai berikut :
Menoeroet
pendengaran kita, “tidak ada” terseboet dalam artikel “politiek contract”
antara radja-radja kita dengan
pemerintah Belanda, bahwa djikalau kaoem kapitaal itoe akan masoek mentjari
kekajaannja di sini, mesti diberikan tanah
setjoekoepnja. Oleh sebab itoe seandainja radja-radja kita tidak
terlaloe leloeasa memberi tempat masoek kepada kapitalist itoe tentoelah kita
ra’jat tidak begini sengsara dalam peroesahaan.
Adakan radja-radja itoe mendapat hoekoeman
ataoe tjatjian djika kaoem kapitaal itoe tidak diberi masoek? Kita raja tentoe tidak! Tjoema tentoelah radja-radja kita itoe tidak lagi mendapat poeloehan riboe
roepiah, karena tertoetoepnja pintoe oentoek kapitalist itoe.
Kita
pikir tentoelah radja-radja kita tidakkan senang memakan harta jang berpoeloeh
riboe itoe, kalaoe ra’jatnja sampai sengsara. Adakah senang seorang ajah
memakan harta anaknja jang didjoeal? Moengkin kalaoe radja jang tjoema memikirkan
hawa nafsoenja dan tidak memikir ra’jat itoe oempama anak laginja. Walaupoen
radja-radja itoe menerima poeloehan riboe roepiah seorang, tetapi kita kira
beloem ada dari harta jang diterima mereka dipergoenakannja oentoek kepentingan
ra’jat, ketjoeali ada seorang doea di antara baginda-baginda itoe jang pengasih penjajang. Kesenangan yang diterima radja-radja itu adakah artinja
bagi ra’iat? Tentoe pembatja dapat djawab sendiri.
Djikalaoe
kita ra’jat ini nanti soedah pergi semoea dari sini apakah radja itu nanti
masih menjadi radja djoega? Oleh sebab itoe marilah pembatja kita tadahkan tangan
kedoea boeahnja arah kelangit memohonkan
koedrat Toehan jang esa agar
terpoesinglah hati radja-radja itoe kepada memikirkan keperloean ra’iatnja
soepaja aman sentosa negerinja. Dan pengharapan kita djanganlah lagi bangsa
kita teroetama anak Soematra Timoer
selamanja beringin mendjadi hamba kapitalist itoe sahadja melainkan
beroesahalah sedapatdapatnja bekerdja sendiri oentoek kita dan bersamasamalah
kita pohonkan kehadapan radja-radja kita
tanah tempat beroesaha walaupoen tanah itoe soedah dalam conssesie.
Sengketa
yang muncul ini bukan hanya menyangkut status tanah sewaan, namun juga berkaitan
dengan masalah tanah jaluran.
Tanah jaluran muncul sebagai lahan yang
disisihkan setelah panen tembakau, disediakan bagi penduduk pribumi setempat untuk lahan
penanaman padi atau jagung, atau mungkin keduanya sekaligus, dalam jangka
waktu sekali panen. Dalam kontrak sewa antara pengusaha onderneming dengan sultan, tanah
jaluran ini dimasukkan sebagai salah satu ketentuan kontrak tersebut dan
disepakati terletak di lahan konsesi. Setelah
digunakan oleh penduduk pribumi untuk menanam
tanaman pangan ini, tanah itu
dikembalikan kepada pengusaha perkebunan untuk memulai lagi penanaman tembakau.
Namun
tidak semua lahan konsesi milik onderneming ini dijadikan sebagai tanah jaluran
bagi penanaman padi penduduk. Perhitungan batas-batas jaluran ini diserahkan
atas dasar musyawarah dengan masyarakat kampung. Setiap warga menerima bagian
satu lahan dengan tambahan kepada penghulu sebuah lahan selaku koordinator. Ada
ketentuan bahwa yang menerima tanah jaluran ini adalah keluarga yang sudah
menikah, sehingga apabila ada bujangan
yang tinggal di desa tersebut maka dia harus segera menikah supaya menerima
jatah tanah jaluran. Namun sebagai
imbangannya bagi para penerima jaluran
itu, mereka harus membayar pajak kepada pemerintah atau melakukan kerja wajib untuk
kepentingan merawat infrastruktur seperti jalan, jembatan dsb.
Dalam
pelaksanaan kesepakatan tentang jaluran
ini terdapat beberapa problem yang mengarah pada sengketa atas tanah. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh onderneming maupun oleh para kepala adat
Melayu. Sebagai akibatnya terjadi kekurangan pangan dan penderitaan bagi penduduk pribumi setempat. Kondisi resah dan
gelisah ini akhirnya mengarah pada protes yang
diajukan kepada pejabat pemerintah kolonial, mengingat sultan dalam hal
ini tidak bisa diharapkan bantuannya untuk terlibat dalam masalah itu.
DI BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming dan
Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial
Penulis
: SYAFRUDDIN KALO
Program
Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Comments