"Tabak zaadbeddingen"
in Deli.
Artist : Kleingrothe, C.J. /
Medan
Date1905 – 1930
Source : kitlv.pictura-dp.nl
|
“Tangis ratapnja Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”
Pada soeatoe hari saja lihat 4 orang laki-laki Batak melintas hendak pigi ke Bindjai; saja dengar tjakap mereka itoe satoe sama lain katanja - “Bagaimana ini hal? Apa kita raajat maoe diboenoeh oleh kepala-kepala kita jang lebih tinggi?
Tjoebalah soedara fikir, inilah mahalnja makanan. Oesahkan kepala-kepala kita hendak memberi petoendjoek pada kita boeat djalan kehidoepan, tetapi mereka penghoeloe-penghoeloe kita masing-masing membuat actie yang menekan dan bikin mati kita ampoenja kehidoepan.
Bagaimana saja tidak bilang begitoe? Tjoba soedara fikir didalam segala roepa kita ditindis betoel-betoel oleh kita ampoenja penghoeloe; sedjak moelai dari hal jang ketjil hingga sampai pada hal jang berpenting sekali; kita orang ada dikotak-katikkan oleh itoe penghoeloe-penghoeloe. Apa maoe diboenoeh oleh kepala jang tertinggi kata saja. Masakan radja tidak tahoe itoe hal (perboeatan itoe penghoeloe) jang demikian? Kalaoe ia tidak tahoe terang sekalian mereka mendengarkan rapport penghoeloe sadja dengan tidak soeka periksa apa ada yang dirapport itoe penghoeloe benar atau tidak.
Tjoba radja periksa betoel-betoel rapportnja penghoeloe-penghoeloe tentang djaboe-djaboe boeat goena berbagi ladang pertanaman padi saban tahoen, dapatlah kelak ia bertemoe dengan actie penghoeloe itu, bagaimana soenglapnja main comedie mendjoeal nama-nama beberapa lelaki jang beloem pernah kawin diseboet dalam rapportnja ada seorang jang berdjaboe (lelaki-bini) demikian djoega perempoean jang masih perawan toelen diseboet rapportnja ada berlaki, soepaja dapat djaloeran perladangan. Tapi setelah dapat adakah diberikan itoe djaloeran pada adresnja? Apa itoe boekan tipoe namanja goena dirinja?
Diantara djaloeran jang ada berhak masing-masing, itoepoen dikoeasai oleh penghoeloe poela jaitoe siapa jang ia sajang orang jang soeka mendjilat tapak kakinja, itoelah orang jang dapat memilih jang baik, sedang orang jang tidak soeka mengjilat dikasi sadja dimana tanah ombang meterban. Soeda pula habis ketaman padi, disitoe ada lagi satoe matjam actie penghoeloe itoe, jaitoe kalau maoe djoeal padi tidak boleh pada orang jang lain, melainkan kepada penghoeloe dengan harga jang soedah ditentoekan oleh penghoeloe itu sendiri. Begitoe djoega halnja didalam pertanaman djagoeng ini, itoe penghoeloe kita hampir disegenap kampoeng mendjalankan actie begitoe. Apa tidak lebih baik kita masoekkan permintaan sama Sjarikat PBK di Loehak Langkat Hoeloe?
Lanjutan dari bahagian 1
Sumber-Sumber Konflik
Penyimpangan
pertama atas tanah jaluran ini
terjadi ketika perusahaan perkebunan
tidak menyerahkan tanah jaluran kepada penduduk setempat sesuai dengan
ketentuan yang dimuat dalam kontrak, melainkan menyerahkan kepada para pekerja
mereka yang menganggur setelah panen
tembakau. Sebagai akibatnya tanah-tanah jaluran ini dikerjakan oleh para
pekerja bangsal, Cina dan Jawa seperti yang terjadi di beberapa perkebunan Deli
Tua, Bakala, dan Tuntungan milik Deli Maatschappij,
Arnhemia milik Rotterdam Deli dan Rimbun milik perusahan onderneming Rimbun.
Setelah masa kerja jaluran ini berakhir, kadang-kadang para pekerja Cina ini tidak
pergi, namun tetap terus berlangsung dan bahkan mengarah pada pemberian hak bangun. Ini terjadi di Medan, Sukarame,
Arnhemia, Labuhan Deli, Kampung Baru, Pulau Brayan, Glugur, Belawan, Kampung Besar, Sungai
Agul, Hamparan Perak, Sungai
Rampah, Bedagei, Bandar Sono dan Tebing
Tinggi. (17)
Akibatnya
beberapa ketegangan terjadi antara penduduk setempat di sekitar perkebunan yang
memegang hak atas tanah itu (ra’jat penoenggoe) dengan para penggarap luar yang
tidak sah.
Sementara
itu para penggarap ini merasa bahwa mereka berhak menggarap karena telah mendapat restu dari pengusaha onderneming.
Onderneming berdalih, bahwa tanah yang diserahkan kepada pekerja ini
adalah tanah di luar jaluran dan disewakan dengan pembayaran hasil panen padi.
(18)
Kasus penyimpangan
dalam soal pembagian tanah
jaluran yang lain adalah, bahwa pengusaha perkebunan tidak langsung
menyerahkannya kepada ra’jat penoenggoe, melainkan kepada kepala adat Melayu
yang dianggap sebagai pimpinan rakyat setempat. Pimpinan Melayu ini tidak
membagikan tanah jaluran kepada masyarakat, namun menggarapnya sendiri atau
menyewakannya kepada para pemilik kedai dan petani sayur Cina dan Jawa.
Persewaan ini dilakukan berdasarkan
kontrak yang dibuat di depan para kepala adat. (19)
Bekas
kuli Cina ini menimbulkan masalah karena
mereka menghuni tanah-tanah milik sultan
atau penduduk tanpa izin. Akibatnya
sering muncul konflik ketika mereka harus meninggalkan tempat itu.
Kondisi ini baru berakhir setelah ada petak-petak khusus yang ditunjuk untuk pemukiman mereka dan sebagai jaminan, mereka harus menyisihkan
hasil kerja kepada penduduk setempat atau pemerintah tempat mereka bermukim.(20)
Laporan
pertanggungjawaban D.F. Pronk, Controleur van
Beneden Deli Oostkust Sumatra
menyebutkan : “Dari informasi yang dikumpulkan tentang hal ini pada tahun 1921
terbukti bahwa pada tahun tersebut kepada pemegang hak diberikan tanah seluas
2100 bahu jaluran; yang disewakan oleh perusahaan pada penduduk seluas 900 bahu
jaluran, sisa jaluran yang lain disewakan atau secara cuma-cuma dipinjamkan
kepada pegawai atau pendatang baru yang tinggal
di perkebunan itu. Jumlah ini
pada tahun 1921 mencakup seluruh
jaluran.
Sehubungan
dengan penyewaan jaluran kepada penduduk
kampung sampai sekarang ada aturan bahwa penduduk ini kepada perkebunan harus menyerahkan
100-150 kantong padi per jaluran, dimana mereka menerima upah antara f 7
sampai f 10,50. Namun peraturan ini selalu memberi jalan bagi pemerasan,
penipuan dan ketidakadilan, sehingga perkebunan
sering menyerahkan penanganannya kepada pejabat pribumi sementara juga
kepala adat dan penghulu tidak bisa diabaikan dengan membebani penduduk dari
uang sewa dan penyewaan jaluran untuk
memetik keuntungan yang berasal dari penyewaan jaluran. Atas dasar ini
Sultan Deli dalam putusannya tanggal 1 Juli 1921 No.80 menetapkan bahwa para
kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil sebagai uang sewa
untuk satu jaluran. Sampai sekarang keputusan
ini belum bisa berjalan, terutama yang menyangkut hukuman atas pelanggaran;
seperti surat saya kepada Asissten Residen
Deli-Serdang Nomor 5361/GZ
tanggal 4 Agustus 1922 jo. Nomor 7028/GZ tanggal 9 Agustus 1921.
Dengan
tujuan untuk memungkinkan perkebunan
membuat peraturan sendiri, komisi dibentuk yang terdiri dari seorang wakil
pemerintah Eropa, pengusaha pribumi dan perkebunan yang harus menafsirkan nilai
jaluran untuk bisa menentukan nilai sewanya (Asissten Residen Deli dan Serdang
Nomor 6594/GZ tanggal 9 November 1922)”. (21)
Berdasarkan
keterangan Pronk, telah terjadi apa yang
disebut multieksploitasi dengan korban penduduk setempat yang tinggal di
onderneming. Sementara di sisi lain penduduk pendatang bersama para pegawai
perkebunan diberi hak untuk menggarap
tanah jaluran, meskipun sebagian
hasilnya disetorkan kepada
onderneming dengan alasan
bahwa onderneming telah menyewa tanah
itu dari sultan dan membayarkan pajak
mereka kepada pemerintah. Namun hal ini membuat marah penduduk setempat, dengan
sasaran onderneming dan penduduk pendatang. Untuk mencegah terjadinya konflik terbuka,
pihak penguasa baik sultan maupun
pemerintah kolonial berusaha melindungi penduduk dengan mengeluarkan keputusan
formal seperti yang disebut dalam
laporan Pronk.
Keberatan yang diajukan oleh penduduk setempat kepada
pimpinan Melayu dijawab dengan ketentuan bahwa
apabila penduduk setempat bersedia menyerahkan antara 100-150 kantong
padi per jaluran (tolak), yang setara dengan nilai
antara f 7,50 sampai f 10,50 maka
penduduk setempat (ra’jat penoenggoe) bisa menggarap tanah jaluran ini. Tingginya harga
yang ditawarkan, yang sering
membuka peluang bagi pemerasan,
penipuan dan ketidakadilan, sangat membebani penduduk sehingga menganggap
penggarapan tanah jaluran tidak mungkin mereka lakukan. Pihak onderneming menyerahkan
penanganan persoalannya kepada pejabat pribumi setempat, namun para kepala adat
dan penghulu ini justru menambah beban penduduk itu.(22)
Pertikaian
tanah jaluran memuncak pada tahun 1921 dan sultan dianggap sebagai pihak yang
bertanggung jawab. Sultan baru menyidangkan persoalan ini di Kerapatan pada
tanggal 27 Nopember 1928. Asisten Residen Deli-Serdang menghendaki agar
kerapatan mengakui tanah-tanah dengan batas-batas yang jelas sebagai hak penduduk kampung besar, namun
dengan ketentuan setiap orang hanya
diberi jatah 2 bau tanah. Tanah-tanah
harus ditetapkan kembali batas-batas pembagiannya mengingat batas-batas lama
telah hilang akibat banjir. Keputusan ini ditolak oleh penduduk setempat dengan
alasan kurang luas untuk bisa menghidupi mereka. Baru setelah adanya jaminan
dari karapatan bahwa hak-hak penduduk atas tanah ini tidak bisa diganggu oleh pemegang konsesi,
mereka menerimanya. (23)
Namun
jaminan dari kerapatan agar hak penduduk
tidak terganggu tidak terealisasi, terutama yang menyangkut hukuman atas
pelanggaran terhadap penyerahan tanah
jaluran kepada bekas kuli kontrak Cina, masih menimbulkan kekecewaan
rakyat dan ditambah dengan kasus penipuan oleh penghulu adat yang memihak perkebunan. Sebagai akibatnya
situasi menjadi tegang.
Protes-protes
segera disampaikan oleh penduduk setempat kepada pemerintah
kolonial yang segera memberikan perhatian dengan mengirimkan Inspektur Urusan
Agraria Du Marchie Servaas ke Sumatera
Timur untuk menyelidiki sejumlah keluhan
yang menyangkut tanah antara penduduk setempat
dan perkebunan. Menurut Du Marchie
Servaas penyelesaian yang terbaik bagi
masalah sengketa tanah ini adalah perubahan status dari konsesi menjadi
hak erfacht. (24)
Namun
karena semua persoalan itu telah
mengambang bertahun-tahun dan berkali-kali diselidiki oleh pemerintah setempat,
maka penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan secara cepat. Du
Marchie Servaas membuat Memorandum tanggal 31 Maret 1929 yang kemudian
disampaikan oleh Gubernur Sumatera Timur
kepada pengusaha onderneming
tembakau Deli dan kepada persatuan
pengusaha onderneming karet di Sumatera
Timur. Isinya antara lain agar dilakukan perundingan antara pemerintah dan
pengusaha onderneming mengenai
pengalihan konsesi-konsesi menjadi hak erfacht
atau sewa jangka panjang. (25)
Dengan
berakhirnya akte konsesi maka perlu diperhitungkan kepentingan tanaman tembakau
atau kepentingan tanaman padi penduduk. (26)
Du
Marchie Servaas memusatkan perhatiannya untuk menambah bagian penduduk setempat atas tanah dan mengusulkan
pengurangan daerah konsesi tembakau secara
menyeluruh sebanyak 12,5% dan sewa jangka panjang harus dibatasi selama
50 tahun. Hal ini menimbulkan kemarahan dari para pemilik onderneming, dan
mereka bertahan agar sewa jangka panjang selama 75 tahun dihitung sejak
berakhirnya masa konsesi. (27)
Ketika
beberapa konsesi telah mendekati akhir
masa berlakunya, maka muncul tuntutan dari penduduk terhadap hak atas tanah
mereka di bekas tanah konsesi antara lain Kebun Mandi Angin yang berakhir pada
tanggal 31 Desember 1931, Sungai Braas yang berakhir pada 31 Mei 1932,
Tanjung Balai berakhir pada 4 November 1937 dan Sungai Krio
yang berakhir pada 1 Juli 1936. Semua perkebunan ini adalah milik perusahaan
tembakau Arendsburg, yang akan mengalihkan konsesinya menjadi hak sewa jangka
panjang/erfacht. (28)
Permasalahan
lain yang memperumit sengketa pertanahan
di Sumatera Timur adalah persoalan kolonisasi. Kolonisasi merupakan suatu
kompleks lahan yang disediakan untuk menampung para pekerja perkebunan yang
berasal dari berbagai tempat seperti buruh Jawa, Banjar, Cina, dsb. Kolonisasi
dibuka di antaranya di kompleks Sisir Gunting pada tahun 1920 untuk menampung para pekerja Banjar. Kemudian juga di tanah perkebunan
Percut dibuka kolonisasi. Kedua lahan ini sebelumnya adalah kampung Sisir
Gunting dan Paluh Kurau yang disewakan oleh Sultan Deli tanggal 7 Mei 1919 kepada
pemegang konsesi untuk para penanam padi Banjar, kemudian ditambah dengan kampung
Pematang Serai. Dari pembukaan lahan ini sultan melalui perantaraan
Gubernur menerima uang sebesar f 7.300,-. Lahan yang sudah diduduki oleh
penduduk setempat itu dijadikan daerah kolonisasi, sementara melalui Keputusan
Sultan tanggal 10 Januari 1920 yang disetujui oleh Gubernur Pantai Timur
Sumatera tanggal 4 Pebruari 1920
tanah-tanah liar disediakan sebagai pengganti bagi penduduk yang tersingkir.Tanah-tanah
liar ini dikeluarkan dengan akte dari sultan (grant). (29)
Lahan
kolonisasi ini tetap dihuni oleh para pekerja perkebunan setelah kontrak mereka
berakhir. Dengan demikian tanpa status yang jelas mereka bisa disebut sebagai penghuni
liar. Mereka yang masih bertahan ini mengundang juga para pendatang luar
(imigran) masuk ke daerah itu, khususnya orang-orang Batak Toba. (30)
Status
ini terutama diberikan oleh penduduk
setempat yang merasa tergusur atas kedatangan mereka. Dalam hal
ini tidak ada tindakan baik dari
pihak sultan maupun pemerintah kolonial dan pengusaha onderneming yang
melakukan kolusi dengan menciptakan lahan-lahan tanpa status yang jelas.
Persoalan
pertanahan menjadi sumber kekacauan dan
kebingungan, juga menjadi sumber
pemerasan dan penipuan. Perubahan status hukum dari konsesi menjadi hak erfacht telah menjadi bahan pembicaraan
sehari-hari. Untuk mengatasi persoalan ini dibentuk Kantor Urusan Agraria. (31)
Kantor
Urusan Agraria yang dibuka di Medan kemudian
menunjukkan pekerjaan yang sangat
bermanfaat dengan menetapkan secara
cermat hak milik tanah bagi penduduk
setempat.Pertama-tama sistem ini
diterapkan di daerah perkebunan, yang penggunaannya selama
bertahun-tahun telah berlangsung, sehingga
bisa diterbitkan bukti tertulis kepada yang bersangkutan seperti grant untuk tanahtanah garapan di luar pusat
pemukiman. (32)
Dalam
pelaksanaan pemberian grant yang dikeluarkan oleh sultan, terdapat beberapa
kekacauan, antara lain dikeluarkannya dua grant untuk satu
petak tanah yang sama. Hal ini terbongkar di depan sidang karapatan ketika telah diajukan dua bukti pemberian untuk sebidang tanah yang sama, dimana salah
satu bukti itu memiliki Cap Sultan palsu. Selain itu terjadi sengketa hukum,
dengan adanya pemberian ganda, seperti yang dimuat dalam Surat Kontrolir Pronk
kepada Tengku Besar, Nomor 346/GZ tanggal
11 Januari 1923. Karena banyaknya perbedaan model yang menyangkut isi dan persyaratan perolehan grant, maka banyak penduduk setempat yang
menggelapkan hak atas tanah ini, tidak memiliki bukti pemberian atau surat
keterangan grant atas namanya. Sebagai penyelesaian diputuskan dalam sidang para
Raja Melayu bahwa pemegang hak ini
akan diakui, apabila memiliki surat keterangan tertulis atas namanya
sebagai bukti. (33)
Dalam
pelaksanaan keputusan tersebut, kendala segera dihadapi karena untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan
surat pemilikan grant tersebut, tanah-tanah itu untuk sementara harus disita
dari pemiliknya. Akibatnya banyak orang yang tidak mau membuktikan surat
keterangan itu dan diam-diam menyewakannya kepada pendatang
non-pribumi. Untuk mengatasi kerumitan yang terjadi ini, pemerintah
Belanda mengambil keputusan dengan
mengganti grant sultan melalui grant kontrolir. (34)
Berbeda
dengan grant sultan, grant kontrolir khusus diberikan di pusat pemukiman oleh pimpinan Onderafdeling atas nama sultan. Grant ini harus memuat bukti persetujuan Gubernur
kepala wilayah dan didaftar secara khusus penerimanya kepada kontrolir
yang mengeluarkan grant ini. Hak
bangun diberikan di pusat pemukiman dan sekitarnya. Pendaftaran ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dua
grant atas tanah yang sama. (35)
Langkah
pemerintah ini juga tidak mampu menuntaskan seluruh persoalan karena justru pemilikan
menjadi semakin tidak pasti dan dari
kekosongan itu akhirnya tergantung pada pendapat sultan atau kontrolir apakah
hak miliknya bisa diakui secara hukum. Para pemilik grant sultan lama memiliki
semacam hak milik individu atas tanah ini, sementara grant kontrolir hanya dikeluarkan untuk jangka waktu
tertentu. Selain itu sebagian besar penduduk masih menghuni tanah-tanah yang
ada tanpa surat keterangan tertulis, termasuk juga masalah penghunian tanah
tidak sah oleh orang-orang Cina penyewa yang sering terjadi.
Meskipun persoalan antara pemegang konsesi dan
masyarakat telah berakhir, namun persoalan antara sultan dan pemegang konsesi lain muncul di Percut.
Hal ini bersumber pada kondisi banjir yang juga merugikan tanah konsesi milik
perusahaan onderneming tembakau Arendsburg yang membuat kanal bagi penyaluran
air di perkebunannya. Pembuatan kanal
ini melewati tanah sultan yang tidak disewakan. Sebagai penyelesaian, tanah ini
dikembalikan oleh perusahaan tembakau Arendsburg kepada sultan dengan tekanan pemerintah kolonial.
Namun sultan wajib menjadikan tanah ini
sebagai daerah pemukiman kolonisasi bagi para pekerja perkebunan tersebut. (36) Status
tanah yang dijadikan daerah kolonisasi ini juga dirubah menjadi erfacht, dan
bukan konsesi. (37)
Kasus
sengketa serupa juga terjadi atas
Kampung Kuala Bakala yang terletak di tanah konsesi perkebunan Padang Bulan.
Warga kampung mengajukan protes kepada
Gubernur Sumatera Timur tanggal 6 Juni 1928 karena lahan pertanian
mereka telah didesak oleh onderneming. Dari penelitian yang dilakukan kemudian
oleh pemerintah terbukti bahwa daerah konsesi perkebunan Padang Bulan ini
bersumber dari dua kontrak dengan
Sultan Deli, yang dibuat pada
tahun 1869 dan 1872. Kontrak ini menunjukkan tanah-tanah mana yang dikuasai
oleh perusahaan onderneming
seluas 3412,87 bahu termasuk wilayah kampung Kuala Bakala. Sultan Deli
mengizinkan perluasan lebih lanjut dengan catatan penduduk diberi sedikit tanah
sebagai sisanya. Dalam pelaksanaannya
onderneming semakin mendesak kebutuhan tanah penduduk.
Gubernur
Sumatera Timur memutuskan lewat suratnya Nomor 2238/AZ tanggal 6 Desember 1928
agar perkebunan menyisihkan tanah bagi penduduk. Namun pihak perkebunan
tidak bersedia dengan alasan kebutuhan bagi pemukiman tenaga
kerjanya. Penyelesaian yang diambil oleh pemerintah adalah menunjuk beberapa
kampung seperti Pulau Brayan, Titipapan, Kampung Besar, Labuhandeli, Belawan,
Hamparan Perak dan Sunggal sebagai tempat-tempat dengan hak bangun untuk
penampungan tenaga kerja perkebunan, dimana mereka juga memperoleh petak tanah
bagi usaha pertanian kecil. Semua ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan
dari Sultan Deli. (38)
Dari
kedua kasus tersebut di atas bisa dijelaskan bahwa kegiatan onderneming
dalam melakukan usahanya sering melakukan pelanggaran atas luas
tanah yang dimuat dalam surat perjanjian yang telah dibuat. Perluasan usaha
dan kebutuhan untuk memukimkan tenaga kerja mereka menjadi faktor utama yang
mendasari perluasan sepihak lahan itu dengan mengorbankan tanah kampung
penduduk. Sultan yang juga
ikut menandatangani kontrak, tidak membantu penduduk setempat dalam menemukan penyelesaian, sehingga penduduk
kemudian berpaling kepada pejabat
kolonial dengan harapan bisa memberikan jalan keluar terbaik bagi mereka. (39)
Batak tabakverkopers van pruim-
en snuiftabak op Noord-Sumatra
De tabak is in dikke koorden gedraaid en wordt
per lengtemaat verkocht
Date Circa 1910Source : KITLV |
Persoalan
tanah lain selama masa onderneming juga muncul sehubungan dengan para pemukim
pendatang, dalam hal ini orang-orang Batak Toba. Seperti diketahui, pemerintah
Belanda sengaja mendatangkan orang-orang
Batak Toba ke Sumatera Timur sebagai
tenaga penggarap tanah dan memberinya mereka tanah-tanah yang dimintakan dari
sultan. Untuk ini, tanah-tanah jaluran sebagian
diserahkan kepada para kepala adat oleh onderneming setelah panen tembakau.
Para kepala adat ini tidak membagikan tanah yang ada kepada penduduk warganya,
namun menyuruh warganya mengerjakan tanah itu untuk kepentingan penghulunya sendiri. Tentu saja hal ini
sangat membebani warga, seperti yang bisa dilihat dari keluhan yang dimuat dalam harian Benih
Merdeka (20 Mei 1920) di bawah ini :
“Tangis
ratapnja Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”
Pada soeatoe hari saja
lihat 4 orang laki-laki Batak melintas hendak pigi ke Bindjai; saja dengar
tjakap mereka itoe satoe sama lain katanja - “Bagaimana ini hal? Apa kita raajat maoe diboenoeh oleh kepala-kepala
kita jang lebih tinggi?
Tjoebalah soedara fikir,
inilah mahalnja makanan. Oesahkan kepala-kepala kita hendak memberi petoendjoek
pada kita boeat djalan kehidoepan, tetapi mereka penghoeloe-penghoeloe kita
masing-masing membuat actie yang menekan
dan bikin mati kita ampoenja kehidoepan.
Bagaimana saja tidak
bilang begitoe? Tjoba soedara fikir
didalam segala roepa kita ditindis betoel-betoel oleh kita ampoenja penghoeloe;
sedjak moelai dari hal jang ketjil hingga sampai pada hal jang berpenting sekali; kita orang ada dikotak-katikkan
oleh itoe penghoeloe-penghoeloe. Apa maoe diboenoeh oleh kepala jang tertinggi
kata saja. Masakan radja tidak tahoe itoe hal (perboeatan itoe penghoeloe) jang
demikian? Kalaoe ia tidak tahoe terang sekalian mereka mendengarkan rapport
penghoeloe sadja dengan tidak soeka
periksa apa ada yang dirapport itoe penghoeloe benar atau tidak.
Tjoba radja periksa
betoel-betoel rapportnja
penghoeloe-penghoeloe tentang djaboe-djaboe boeat goena berbagi ladang
pertanaman padi saban tahoen, dapatlah
kelak ia bertemoe dengan actie penghoeloe itu, bagaimana soenglapnja main
comedie mendjoeal nama-nama beberapa lelaki jang beloem pernah kawin diseboet
dalam rapportnja ada seorang
jang berdjaboe (lelaki-bini) demikian djoega perempoean jang masih
perawan toelen diseboet rapportnja ada berlaki, soepaja dapat djaloeran
perladangan. Tapi setelah dapat adakah diberikan itoe djaloeran pada adresnja?
Apa itoe boekan tipoe namanja goena dirinja?
Diantara djaloeran jang
ada berhak masing-masing, itoepoen
dikoeasai oleh penghoeloe poela jaitoe siapa jang ia sajang orang jang soeka mendjilat tapak kakinja,
itoelah orang jang dapat memilih jang baik, sedang orang jang tidak soeka mengjilat dikasi sadja
dimana tanah ombang meterban.
Soeda pula habis ketaman padi, disitoe
ada lagi satoe matjam actie penghoeloe itoe, jaitoe kalau maoe djoeal padi
tidak boleh pada orang jang lain, melainkan
kepada penghoeloe dengan harga jang soedah ditentoekan oleh penghoeloe
itu sendiri. Begitoe djoega halnja didalam pertanaman djagoeng ini, itoe
penghoeloe kita hampir disegenap kampoeng mendjalankan actie begitoe. Apa tidak
lebih baik kita masoekkan permintaan
sama Sjarikat PBK di Loehak Langkat Hoeloe? (40)
Seperti
yang disebutkan dalam tulisan di atas,
sultan yang dilapori oleh rakyat tentang kecurangan dan pemerasan oleh
penghulu tidak bertindak atau memperhatikan persoalan itu. Hal ini
dikaitkan karena di antara orang
Batak Karo ada keyakinan, bahwa suku dan pimpinan adatnya sebagai wakil
dari marga menjadi pemilik tanah dan
bukan sultan. Sultan menganggap desa-desa Batak Karo ini
sebagai bentuk kekuasaan otonom. Jika orang Batak Karo ingin membuka sawah maka dia hanya wajib memberitahu kepala
adatnya. Kepala adat ini diangkat dan dipecat oleh karapatan, karapatan dusun dan karapatan urung.
Di
sisi lain pemerintah kolonial yang menerima laporan ini mencari sumber
kesalahan dari dua sisi yaitu tidak
jelasnya batas pemisah di daerah Langkat
antara daerah kampung Batak Karo dan kampung Melayu, seperti yang sudah
dilakukan di Deli, dan faktor agama yang
dijadikan alasan oleh Belanda sebagai penyebab benturan pandangan tersebut. (41)
Bersambung
ke bagian 3
Sumber
tulisan ini berjudul :
DI
BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming
dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial
Penulis
: SYAFRUDDIN KALO
Program
Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Catatan
Kaki :
(17)
Memorie van Overgave W.P.F.L. Winckel, op.cit, hal. 54. Langkah untuk
menyelesaikan perkara itu sebenarnya sudah diambil melalui keputusan Sultan Deli tanggal 10 Januari 1920 dan keputusan Sultan
Serdang tanggal 28 Desember 1919
untuk melepaskan tanah-tanah liar bagi penanaman tanaman pangan. Diharapkan
agar tanah seluas 500 bahu di daerah Serdang bisa berproduksi untuk menutup
kebutuhan pangan penduduk,
namun ternyata hasilnya terlalu
kecil sehingga dibuat ketentuan untuk menanami padi minimal seluas ¾ bagian.
Namun demikian perlu diawasi penggunaannya oleh Kontrolir karena penghulu
sering meminta jatah lebih banyak lahan dari tanah-tanah yang disediakan
tersebut. akibatnya Sultan Deli harus
kembali mengeluarkan keputusan tanggal 1 Juli 1921 nomor 80 yang
menyatakan bahwa para kepala adat ini tidak boleh mengambil lebih dari 25%
jatah tanah jaluran dalam bentuk uang
sewa yang menjadi hak penduduk setempat.
(18)
Memorie van Overgave N.J. Ruychaver, Kontrolir Beneden Deli 30 Maret 1926, hal.
36. Alasan ini digunakan untuk menolak
penduduk setempat menggarap jaluran karena dianggap mereka tidak mampu
membayarnya. Pengusaha perkebunan menggunakan standard pembayaran hasil sewa tanahnya
oleh para petani sayur Cina bekas kuli kontrak yang tinggal di sana. Harga sewa
padi ini harus dibayar dengan hasil panen padi namun harus disesuaikan dengan
harga setoran dari orangorang Cina ini. Di sisi lain para petani Cina tersebut
juga menjadi konsumen pohon-pohon milik penduduk untuk dijual hasilnya ke Medan.
Akibatnya rakyat mengadukan kasus ini kepada pejabat pemerintah. Tentang ini lihat artikel “Tanah Djaloeran”,
dalam harian Benih Merdeka, 25 Me 1920.
(19)
Memorie van Overgave N.J. Ruychaver, Ibid, hal. 36. Persoalan menjadi bergeser
ketika keabsahan para petani Cina yang menghuni tanah tersebut diragukan
kebenarannya. Langkah segera diambil dengan mengadakan pendataan yang menetapkan adanya pendaftaran hak
menghuni melalui pembayaran sejumlah uang tertentu oleh orang-orang Cina.
Mengingat orang Cina adalah kawula pemerintah Belanda, maka pembayaran tidak
disetorkan kepada pengusaha perkebunan, Sultan atau kepala adat Melayu setempat
namun masuk ke kantong pemerintah kolonial. Hal ini hanya bisa menyelesaikan
sementara saja, namun persoalan masih berlanjut mengingat orang-orang Cina merasa
tidak bertanggungjawab dengan Sultan maupun penduduk pribumi, sementara
penduduk pribumi memandang orang-orang Cina ini belum sah menghuni tanah mereka
karena belum memenuhi kewajibannya. Konflik ini segera meledak setelah pasca
kemerdekaan yang menyingkirkan kekuasaan kolonial dan mengakibatkan timbulnya
ketegangan dalam status penghunian tanah oleh para bekas kuli kontrak Cina ini.
(20)
Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 33. Namun demikian persoalan ini
belum berakhir mengingat adanya peristiwa mirip yang terjadi. Perkara baru
muncul ketika penduduk pribumi dari luar daerah ikut menjadi penguasa lahan
jaluran tersebut. Hal ini terjadi ketika
penduduk pribumi yang berasal dari luar daerah itu tinggal dalam jangka waktu
lama dan memberikan modal kepada penduduk pribumi setempat untuk menanam karet
sendiri. Lama-kelamaan tanah-tanah tersebut beralih penguasaan dari penduduk
pribumi setempat (rakyat penungu) kepada penduduk pribumi lain, dalam hal ini
para bekas pekerja perkebunan orang
Jawa. dengan demikian dari sudut pandang
status, penduduk pribumi setempat jelas tidak diuntungkan. Di sisi lain ada
tuntutan yang tidak bisa dipenuhi ketika petani kecil setempat dipaksa harus
memiliki lahannya sendiri untuk bisa mengelolah usahanya. Periksa Memorie van
Overgave Reuvers, Kontroleur van Beneden Deli 15 Maret 1926 (koleksi MvO serie
Ie, ANRI Jakarta) halaman 46.
(21)
Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 34. Sebagai tindak lanjut untuk
mencegah kondisi buruk itu, ada usaha bagi pembentukan komisi yang terdiri atas
wakil penguasa Eropa, Sultan dan pihak perkebunan dalam rangka menafsirkan
nilai jaluran dengan maksud agar bisa menentukan nilai sewanya. Di sisi lain
pemerintah Eropa mulai berpikir untuk menempatkan para bekas kuli kontrak yang sudah selesai masa kerjanya di
tempat-tempat penampungan terpisah (kolonisasi) seperti di Sisir Gunting, Paluh
Kurau, Sungaiyu dan Paluhmana. Harapan besar dilontarkan supaya dengan proses
kolonisasi tersebut, ikatan kerja yang
eksploitatif dan merugikan bagi rakyat penunggu bisa dihindari.
(22)
Ibid, hal. 35. Ini terbukti dari jumlah uang yang harus diterima penduduk
sebanyak f 7-10,50 dari hasil penyerahan 100-150 kantong padi per jaluran.
Apabila dijual tanpa melewati para kepala adat tersebut, penduduk akan menerima
jauh di atas nilai itu. Namun mengingat bagi koordinasi pengelolaan tanah
jaluran ini diserahkan kepada para kepala adat, maka dalam hal ini penghulu dan
kepala adat berperan penting dalam eksploitasi ekonomi atas hasil tanah jaluran
demi kepentingan kantong sendiri.
(23)
Memorie van Overgave J. Reuvers,
Kontrolir Beneden Deli 15 Maret 1926 hal. 50-55; lihat juga, Memorie van
0vergave J.W. Burger, Kontrolir Beneden Deli, 8 Pebruari 1932 hal. 13
(24)
“Onderzoek over Grondkwestie”, Deli
Courant, 20 Maret 1929. Yang dimaksud dengan
erfpacht adalah hak guna usaha sebagai hak untuk menikmati sepenuhnya
hasl pengolahan barang tidak bergerak
atau tanah milik orang lain dengan
kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah atau
pemegang hak tanah tersebut sebagai pengakuan tentang kepemilikan hak, baik
dalam bentuk uang maupun hasil bumi.
Pemegang hak erfpacht ini berhak menikmati
segala hak yang terkandung dalam hak kepemilikan tanah dalam usahanya namun
tidak boleh mengurangi nilai tanah tersebut seperti melakukan penggalian batu
atau bahan tambang di dalamnya. Lihat
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (Jakarta,
PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989) hal.
450. Menurut pengertian hukum perdata modern hak erfpacht tersebut diserahkan secara
formal atas dasar kontrak sewa antara dua pihak dan diakui keabsahannya melalui
peraturan hukum tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini tidak
bisa disamakan dengan hak sewa yang
dimiliki oleh kawula raja dalam sistem kepemilikan tanah feodal tradisional
yang mengakui raja sebagai pemilik
seluruh tanah dan rakyat adalah pemegang hak pakai atau hak sewanya. Lihat
Peter Butt, Land Law (Sydney, LBC Information Services, 1996) hal. 60-61.
(25)
J.G.W. Lekkerkerker, Consessies en
erfpachten voor landbouwondernemingen in de Buitengewesten, Groningen, 1928
hal. 66-70.
(26)
Memorie van Overgave, S. Bouman, Afdeling Deli-Serdang 1 Desember 1929, hal. 6.
(27)
Karl J. Pelzer, op.cit, hal. 122. Bagi
para pengusaha perkebunan tembakau, sewa tanah untuk kepentingan perkebunannya
pada mulanya mencapai 99 tahun. Namun karena dirasa terlalu lama untuk
dilaksanakan oleh seorang pengusaha
dan seringnya terjadi kesulitan
dalam perpanjangan kontrak yang akan dilaksanakan oleh pengusaha baru,
pemerintah Belanda melakukan pengurangan masa kontrak. Setelah mengadakan perundingan
dengan para pengusaha perkebunan dan
Sultan, masa kontrak itu ditetapkan maksimal menjadi 75 tahun pada tahun 1892.
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, masa berlakunya hak guna usaha ini
dalam UUPA tahun 1960 diperpendek menjadi
25 tahun
untuk individu atau 35 tahun
untuk perusahaan bagi suatu periode dan bisa diperpanjang lagi sampai 25 tahun
berikutnya setelah melewati prosedur yang ditetapkan oleh BPN.
(28)
Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 7.
(29)
Memorie van Overgave S. Bouman, ibid, hal. 10; lihat juga, Mv0 J. Reuvers, Deli
15 Maret 1926, hal.56. Seperti yang telah disebutkan dalam teori pemilikan
tanah vorstdomein, di tanah-tanah Melayu khususnya di wilayah Kesultanan Melayu
Sultan dianggap sebagai pemilik semua tanah dan berhak untuk membagi-bagikan
tanah tersebut kepada kawulanya. Jenis tanah yang dibagikan itu disebut sebagai
karunia Sultan (grant Sultan). Persoalan baru muncul ketika kekuasaan Sultan
mulai diambil alih oleh pemerintah Belanda
dan Kontrolir menjadi pejabat tertinggi Belanda yang ditempatkan uintuk
menggantikan Sultan. Kontrolir kemudian sering juga membagi-bagikan tanah yang
dianggap sebagai milik pemerintah kepada penduduk petani sebagai jalan keluar
sengketa antara petani dan perkebunan. Tanah ini disebut sebagai grant
Controleur.
(30)
Menurut pengalaman yang diperoleh,
orang-orang Batak Toba tergolong sebagai etnis Batak yang tekun dan kuat dalam
menggarap tanah untuk kepentingan produktivitas. Orang-orang Batak Toba mulai
membanjiri daerah Pantai Timur Sumatra
dan bermukim di hampir semua wilayah. Di Simalungun misalnya orang-orang Batak
Toba didatangkan oleh pemerintah
kolonial untuk menggarap sawah-sawah milik raja-raja Simalungun dan membuka
pemukiman di daerah Bah Bulian. Semakin lama jumlah mereka
bertambah banyak dan akhirnya melebihi
jumlah penduduk asli Simalungun sendiri. Lihat J. Tideman, Simeloengoen (‘s
Gravenhage, Van Doesburgh, 1922).
(31)
Memorie van Overgave, D.F. Pronk,
op.cit, hal. 30. Nama aslinya adalah
het Kantoor voor Agrarische Zaken dan dibiayai oleh anggaran daerah.
Kantor ini berada di bawah pimpinan asisten residen yang
dibantu oleh dua orang kontrolir agraria. Pembiayaan bagi anggaran
kantor ini diperoleh selain dari subsidi pemerintah juga bantuan dari para
pengusaha perkebunan. Arti penting kantor ini segera meningkat pesat dengan
bertambahnya kesibukan dalam tugas-tugas
yang harus dihadapi, yang terbukti dari tntutan bagi perluasan kantor urusan
agraria itu bersama jumlah pegawainya.
(32)
Memorie van Overgave, H.E.K. Eserma, Asisten Residen van Deli-Serdang, 21
September 1921, hal. 32. Pengeluaran bukti tertulis ini sangat membantu dalam
penyelesaian sengketa kepemilikan tanah dan memperjelas batas-batas wilayah.
Kantor catatan agraria ini kemudian dirubah menjadi kadaster.
(33)
MvO, D.F. Pronk, op.cit,
hal. 32. Hal ini menunjukan arti
pentingnya kedudukan dan status Kontrolir di daerah Sumatra Timur khususnya dan
luar Jawa umumnya setelah tahun
1910 atau Pax Neerlandica.
Kontrolir dianggap sangat strategis karena dia adalah pejabat Belanda yang langsung berhubungan dengan para
penguasa pribumi dan penduduknya. Ini menunjukan penurunan luas wilayah
raja-raja pribumi yang disamakan
statusnya dengan pimpinan suatu Onderafdeeling, berbeda dengan raja-raja Jawa
yang disejajarkan kedudukannya dengan penguasa suatu Karesidenan. Pada masa
Orde Baru kedudukan ini diteruskan dengan pemberian status dan jabatan bupati
atau camat untuk penguasa daerah bekas raja-raja swatantra di luar Jawa,
sedangkan bagi penguasa daerah bekas raja-raja Jawa diberi pangkat dan
kedudukan sebagai Gubernur.
(34)
Lihat, Staatsblad van Nederlandsch
Indie, tahun 1925 Nomor 474.
(35)
MvO. Winckel, op.cit, hal. 51-52. Ini bisa dilakukan setelah adanya kesepakatan
antara Sultan dan Residen yang akan membagi masing-masing wewenang dalam
mengeluarkan grant ini. Dalam kesepakatan
tersebut diputuskan bahwa grant yang
tidak tercatat akan dianggap batal dan tidak berlaku.
(36)
Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 10.
(37)
Hak erfacht ini dibatasi maksimal 3500 bahu dengan masa sewa 75 tahun.
Permintaan hak erfacht oleh pemegang konsesi kepada sultan harus dilakukan
melalui Residen yang sebelumnya akan mempertimbangkan dampak-dampaknya setelah
menerima laporan komisi penyelidik yang dibentuknya. Namun pada kenyataannya
sering penyelidikan dan pengukuran ini tidak dilakukan mengingat kesulitan
lahan yang diminta. Erfachtregelen voor Zelfbestuurder in Buitenbezittingen, dalam
Indische Gids, jilid I, tahun 1919, hal. 788.
(38)
Gouvernoor 0ostkust Sumatra Besluit 31 Desember 1917 Nomor 803 dan 1 Nopember
1922 Nomor 1738; Lihat tentang penyelesaiannya dalam Memorie van 0vergave
Kontrolir J. Reuvers op.cit., hal. 56; lihat juga, Memorie van 0vergave H.D.
Moyenfield, Controleur Beneden Deli 9 April 1934, hal. 41. Kebijakan Gubernur
ini lebih banyak dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kembali kerusuhan dan
pergolakan seperti yang terjadi di daerah Sunggal pada awal perluasan usaha
perkebunan tersebut. Dengan memenuhi kebutuhan penduduk setempat untuk bisa bermukim
dan bercocok tanam dalam rangka memenuhi tuntutan hidupnya, jaminan keamanan bagi
para pengusaha beserta para pekerjanya akan bisa ditegakan dari konflik
dan gangguan penduduk pribumi setempat.
(39)
“Pergerakan Ekonomi Sumatra”, Pewarta Deli, 5 Maret 1928. Para pejabat
pemerintah kolonial di daerah tersebut biasanya tampil sebagai pemegang keputusan
yang menentukan dan menjadi penengah
dalam sengketa agraria. Tindakan ini lebih banyak diambil bukan karena para pejabat kolonial bersimpati
kepada penduduk pribumi, melainkan lebih didasarkan pada pertimbangan keamanan
untuk menghindari terjadinya pemberontakan dan kerusuhan yang akan merugikan keuangan kolonial.
(40)
“Tangis ratapnya Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”, Benih Merdeka, 20 Mei
1920.
(41)
Menurut pejabat Belanda, Sultan memandang orang Batak Karo ini tidak bisa
diberlakukan hukum Islam mengingat mereka bukan umat Islam. Sebagai akibatnya
mereka tidak bersedia tunduk pada Sultan
sebagai pimpinan agama Islam di wilayahnya. MvO G.L.J.D. Kok. Op.cit., hal. 85
dan MvO. Winckel, op.cit,hal. 75.
Comments