“Teks Relief Pilar Tebing Di Berastagi Sebagai Representasi Identitas Masyarakat Karo”
oleh Zakharia Ginting (Universitas Sumatera Utara)
Pendapat Saussure (dalam Sobur,
2004: 46) tentang simbol adalah sejenis tanda yang mempunyai hubungan antara
penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Seperti simbol relief
sebagai penanda yang merupakan aspek material yaitu bunyi atau pahatan yang bermakna,
sedangkan petanda adalah aspek mental yaitu gambaran mental, pikiran, atau konsep
dari identitas simbol relief itu sendiri. Penanda dan petanda merupakan
kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Suatu penanda tanpa petanda
tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda.
Relief adalah pahatan yang
menampilkan bentuk dan gambar dari permukaan rata disekitarnya, gambar timbul,
dan perbedaan ketinggian pada bagian
permukaan bumi (Alwi, dkk 2003: 943). Relief bisa merupakan ukiran yang berdiri
sendiri maupun sebagai bagian dari panel relief yang lain yang membentuk sebuah
seri cerita atau ajaran. Relief sebagai hasil karya seni pahat dan ukiran tiga
dimensi biasanya dibuat diatas medium batu berupa candi, kuil, pilar atau
monumen.
Herusatoto (2000:10) berpendapat
bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai merupakan hasil karya
manusia. Relief yang terdapat pada pilar tebing di Berastagi adalah salah satu
contoh simbol yang merupakan gambaran kehidupan dan kebudayaan masyarakat Karo.
Relief tersebut adalah pahatan manusia dengan berbagai macam, pola, dan bentuk
yang maknanya disepakati bersama oleh masyarakat setempat sebagai simbol yang mampu
merepresentasi kebudayaan.
Relief tersebut merupakan sebuah
peninggalan hasil kebudayaan Karo yang pada masa sekarang tidak hanya berfungsi
sebagai salah satu bentuk hasil karya kebudayaan masyarakat Karo. Relief yang
di buat pada medium tembok batu ini juga telah menjadi salah satu objek wisata
yang sangat digemari oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Itulah yang
menjadi salah satu alasan penempatan relief tersebut di kota Berastagi
mengingat daerah tersebut adalah salah satu daerah objek wisata yang sering dikunjungi
wisatawan, sehingga secara tidak langsung, semua wisatawan yang berkunjung ke daerah
Berastagi dapat melihat dan mengetahui tentang masyarakat dan kebudayaan Karo.
Di kota Brastagi juga
dilaksanakan beberapa upacara kebudayaan Karo yang pada masa sekarang menjadi
salah satu produk kebudayaan yang sangat digemari wisatawan, antara lain Pesta
Bunga & Buah dan festival kebudayaan Pesta Mejuah-Juah yang diadakan setiap
tahun dan juga tradisi yang telah turun temurun dilakukan bahkan oleh hampir
seluruh masyarakat Karo yang yaitu Kerja Tahun (pesta tahunan) sebagai wujud
ucapan syukur atas karunia pencipta yang telah memberikan kelimpahan hasil
panen padi yang diselenggarakan setiap tahun oleh orang-orang Karo yang tinggal
di daerah tersebut ataupun yang sudah merantau datang kembali ke kampung
halaman yang memiliki hubungan keluarga untuk saling berkunjung dan
bersilaturahmi.
Secara keseluruhan, relief yang
terdapat pada pilar tebing di Berastagi tersebut adalah penggambaran keadaan
masyarakat Karo mulai dari masa penciptaan hingga masa kehidupan tradisional.
Relief tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian besar yaitu :
Pertama, relief yang
menggambarkan jenis-jenis bunga, buah-buahan, sayur-mayur, alat-alat rumah
tangga, perlengkapan upacara adat dan alat-alat musik tradisional masyarakat
Karo.
Kedua, relief yang menggambarkan
cerita penciptaan dunia pada masa awal
menurut mitologi dan kepercayaan masyarakat Karo yang pada masa itu
sangat dipengaruhi oleh kepercayaan animisme (Pemena).
Ketiga, relief yang menggambarkan
salah satu cerita yang dikenal dengan nama Kejadin Tungkat Penaluan Tungkat
Malekat.
Ketiga kelompok relief tersebut masing-masing memiliki cerita dan
makna tersendiri.
Salah satu rangkaian cerita yang
terdapat pada relief tersebut adalah
Turi-Turin Tembe Doni Nina-Nininta Kalak Karo, yang diyakini pada
awalnya diberi nama Maka Hio Kute Ndube Asal Mula Tembe Doni Enda, yaitu sebuah seri cerita tentang asal usul penciptaan
dunia menurut nenek moyang masyarakat Karo. Rangkaian relief tersebut diyakini
dibuat berdasarkan cerita lisan masyarakat Karo tentang cerita penciptaan dunia
pada masa awal. Berikut ini adalah salah satu contoh relief yang terdapat pada
rangkaian relief yang membentuk sebuah cerita penciptaan dunia atau yang
sekarang sudah dikenal dengan nama Turi-Turin Tembe Doni Nina-Nininta Kalak
Karo.
Contoh relief dalam Turi-Turin Tembe Doni Nina-Nininta Kalak Karo. |
Relief tersebut adalah salah satu
relief yang menggambarkan adanya tiga alam yang dikuasai oleh tiga Tuhan
(Dibata). Para penganut religi Pemena
mempercayai adanya penciptaan alam semesta yang disebut Dibata Kaci-Kaci atau
lebih dikenal dengan nama Tonggal Sinasa. Masyarakat Karo juga mempercayai
adanya tiga alam yaitu Banua Datas(alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Atas yang bernama Ompung Utara
Diatas), Banua Teruh (alam yang dikuasai oleh
Dibata Teruh yang bernama Panglima Duokah Ni Haji), dan Banua Tengah (alam yang dikuasai oleh Dibata Tengah
yang bernama Beru Noman
Kaci-kaci).
Hall (dalam Yusuf, 2005: 10)
tentang representasi yang memperoleh tempat penting dalam studi budaya.
Representasi menghubungkan makna (arti) dan bahasa dengan budaya. Representasi
berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh arti atau menggambarkan
dunia yang penuh arti kepada orang lain. Makna direkonstruksi oleh sistem representasi
dan diproduksi melalui sistem bahasa yang fenomenanya tidak hanya disampaikan
lewat ungkapan-ungkapan verbal, tetapi juga visual (nonverbal).
Yusuf (2005: 10) mengatakan ada
dua proses sistem representasi yaitu: “Pertama, sistem yang menandai
bentuk-bentuk representasi yang kehadirannya dapat dilihat seutuhnya, bentuk
objek, orang, atau kejadian yang dihubungkan dalam suatu konsep yang mengacu
pada bentuk factual objek. Kedua, representasi yang maknanya bergantung atas
sistem dan bentuk-bentuk penggambaran pada pengetahuan kita mewakili sesuatu
yang terepresentasi pada kehidupan nyata. Hal tersebut menimbulkan
bentuk-bentuk metafora terhadap suatu hal yang maknanya tidak bisa dilacak
hanya berdasarkan kemiripan bentuk, tetapi ada sistem ide yang membangunnya”.
Oleh karena itu, terdapat dua
prinsip yang menyebabkan representasi dikatakan sebagai produksi makna lewat
bahasa yaitu :
(1) mengartikan dalam pengertian
menjelaskan atau menggambarkan sesuatu dalam pikiran dengan sebuah gambaran
imajinasi untuk menempatkan persamaan dalam pikiran kita.
(2) representasi digunakan untuk
menjelaskan (konstruksi) makna sebuah
simbol.
Teks relief yang mengandung makna
digunakan untuk merepresentasikan identitas kebudayaan Karo. Fromm (dalam
Yusuf, 2005: 17) mengatakan bahwa identitas sepadan dengan permasalahan
“integritas”. Seseorang yang tidak mempunyai identitas yang jelas atau kabur
dapat dikatakan sebagai individu yang tidak mempunyai “integritas” pribadi yang
kuat.
Liliweri (dalam Yusuf, 2005: 18)
melihat identitas sebagai kajian yang sifatnya psikologis. Jika ingin
menetapkan identitas, tidak sekedar karakteristik atau ciri-ciri fisik biologis
semata, tetapi mengkaji identitas sekelompok manusia melalui tatanan berpikir
(cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa, orientasi
perasaan), dan cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan).
Dalam beberapa literatur tentang
Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama
kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera
Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah
diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Masyarakat Karo mempunyai
kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klen yang
disebut kuta. Kuta ini biasanya
dikelilingi parit, suatu dinding tanah yang tinggi, dan rumpun bambu yang
tumbuh rapat sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan musuh dari kuta
lain. Golongan pendiri kuta adalah merga taneh atau juga dikenal dengan
Simanteki Kuta yang memiliki tanah paling luas, sedangkan golongan lainnya biasanya
hanya memiliki tanah yang sekedar cukup.
Mata pencaharian masyarakat Karo
kebanyakan bercocok tanam padi. Masyarakat Karo memperhitungkan hubungan
keturunan secara patrilineal, kelompok kekerabatan dihitung dengan dasar satu
ayah, satu kakek, dan satu nenek moyang. Masyarakat Karo dominan memeluk agama
Kristen Protestan. Sebelum masuk dan berkembangnya sistem kepercayaan modern
(seperti Kristen, Islam), masyarakat Karo telah memiliki sistem kepercayaan
tradisional yaitu Pemena.
Nilai-nilai religi Pemena ini
sebagian masih dapat kita lihat sampai sekarang. Para penganut religi Pemena mempercayai adanya penciptaan alam semesta
yang disebut Dibata Kaci-Kaci. Mereka juga mempercayai adanya tiga alam yaitu Banua
Datas (alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Atas yang bernama Ompung
Utara Diatas), Banua Teruh (alam yang
dikuasai oleh Dibata Teruh yang bernama
Panglima Doukah Ni Haji yang juga bernama Panglima Doukah Ni Haji Perjanggut
Simole-ole), dan Banua Tengah (alam yang dikuasai oleh Dibata Tengah yang bernama Beru Noman Kacikaci).
Takari (2008: 69) berpendapat
bahwa menurut konsep Pemena, alam sebagai tempat kehidupan manusia terbagi atas
delapan arah sesuai arah mata angin. Kedelapan arah itu adalah Purba (timur), Aguni (tenggara), Deksina (selatan), Nariiti (barat daya), Pusima(barat), Mangadia (barat laut), Batara
(utara), dan Irisan (timur).
Bangun (1990: 66) mengatakan,
masyarakat Karo memiliki sistem kemasyarakatan yang disebut merga silima. Sistem ini adalah pengelompokan
masyarakat menjadi lima marga (merga) induk, yaitu Ginting,
Sembiring, Karo-Karo, Tarigan,
dan Perangin-angin.
Selain itu, masyarakat Karo
mengenal istilah rakut sitelu yaitu pengelompokan tiga struktur sosial:
kalimbubu (pihak pemberi istri), anak beru (pihak penerima istri), dan senina
(orang satu marga).
Selengkapnya di : Respository.usu.ac.id
Comments