Suli Ginting, Peti Mati dan
Bensin untuk Keadilan
Oleh : Ahmad Arif
SULI Ginting (73) tak pernah
belajar tentang kesadaran kritis dari buku-buku ataupun belajar tentang gerakan
perlawanan secara sistematis. Kepahitan hidupnya sebagai petanilah yang
membuatnya berani ”melawan”. Tak terhitung berapa kali lelaki yang tak pernah
mengenyam pendidikan formal ini keluar masuk ruang sidang. Mulai dari kepala
desa, bupati, ketua DPRD, kepala polres, kepala polda, Kepala Polri, hingga
presiden pernah digugat Suli.
Hingga kini, lelaki dari Desa Lau
Cimba, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu memang belum
pernah memenangi gugatannya di pengadilan, bahkan beberapa kali dia hampir
bangkrut karena digugat balik. Namun, tak ada istilah menyerah dalam kamus Suli
Ginting. Siapa pun yang dinilainya merusak lingkungan dan merugikan masyarakat
kecil dilawannya.
Lelaki yang memiliki 20 cucu dari
delapan anaknya tersebut juga sangat getol berdemonstrasi tunggal. Sejak tahun
1998 hingga kini, Suli berkali-kali terlihat keliling wilayah Karo dan Medan
dengan mobil Kijang bututnya sambil membawa poster dan speaker untuk
menyuarakan aspirasinya. Semua gerakan perlawanannya itu dibiayai sendiri
dengan uang hasil bertani.
PERLAWANAN Suli bermula dari
kekecewaannya terhadap pemerintah. Pada tahun 1998 Suli hampir bangkrut karena
tanaman kentang dan jeruk miliknya layu setelah diberi pupuk yang dibelinya di
kota. Suli mendengar keluhan yang sama dari petani-petani lain di desanya
sehingga akhirnya dia menyimpulkan adanya peredaran pupuk dan obat palsu di
Karo.
Bulan Agustus 1998 sepulang dari
ladang siang itu, dengan masih mengenakan pakaian lusuh, dia langsung ke Kantor
Bupati Karo. Dia bermaksud melaporkan adanya pupuk dan obat palsu agar segera
dilakukan penindakan sehingga petani tak lagi dirugikan.
Akan tetapi, alangkah kecewanya
Suli karena ternyata dia ditolak oleh ajudan sang Bupati karena penampilannya
dinilai tak layak untuk bertemu Bupati. Suli marah, dan berteriak sampai
kemudian Bupati keluar dan memintanya agar menghadap besok pagi ke kantor.
Suli patuh. Namun, dia kembali
kecewa karena saat bertemu Bupati dan stafnya, dia tak menemukan kejelasan.
Pupuk dan obat yang diduganya palsu telah diserahkan kepada para pejabat,
termasuk juga tanaman kentangnya yang mati. Namun, lama dia menunggu hasil
penelitian pemerintah tanpa hasil. ”Kasusnya seperti ditutup begitu saja dan
laporan saya dianggap angin lalu,” katanya.
Suli kemudian menemui anggota
DPRD di kabupaten. Tetapi, lagi-lagi dia tak digubris. Merasa dipermainkan oleh
birokrasi, Suli kemudian turun ke jalan menggelar demonstrasi. Itulah pertama
kali Suli berdemonstrasi.
Dari situlah Suli mulai terjun ke
dunia pergerakan. Ia berhadapan dengan birokrasi yang tuli seperti tembok. Ia
mengadukan kepala desanya kepada aparat kepolisian, tetapi diabaikan.
Akhirnya, dia mengadukan kepala
desa berikut Kepala Polres Karo ke pengadilan. Suli Ginting kalah. Bahkan, Suli
kemudian menghadapi gugatan balik Rp 5 miliar dan satu-satunya rumah miliknya
disita sebagai jaminan, tanpa pemberitahuan sebelumnya.
”Tanpa pemberitahuan, rumah saya
tiba-tiba disita. Istri saya stres dan meminta cerai. Saya pun ikut stres,”
ujarnya.
Suli kemudian membeli peti mati
dari sisa uang yang dimilikinya. Peti mati yang ditulisi Rp 5 miliar itu
dibawanya ke Kantor Pengadilan Negeri Karo bersama sebotol bensin.
Di halaman kantor pengadilan, dia
berteriak, keadilan akan ikut mati bersama terbakarnya peti mati dengan Suli
Ginting di dalamnya. Akhirnya, pengadilan mengembalikan rumah Suli dan gugatan
balik itu pun dicabut.
”Kalau dihitung-hitung, hidup
saya jadi kacau sejak saya aktif melawan para perusak hutan dan lingkungan
serta pihak-pihak yang merugikan petani. Istri minta cerai, harta ikut ludes
untuk biaya ke mana-mana,” ujarnya.
Perjuangan Suli kemudian mendapat
perhatian para aktivis lingkungan di Sumatera Utara. Suli pun diundang ke
berbagai acara dan diskusi. Suli menemukan komunitas diskusi sehingga
memperluas cakrawalanya.
Dia pun semakin aktif
mendengarkan keluhan warga dan kian bersemangat melakukan investigasi berbagai
masalah di sekitarnya. Suli menjadi semacam parlemen jalanan dan akhirnya dia
membentuk Forum Komunikasi Petani Karo, sebuah forum informal untuk menampung
berbagai keluhan petani di Karo. ”Saya belajar dari lingkungan dan
teman-teman,” katanya.
Suli sempat memasuki sistem
birokrasi, ketika pada tahun 2000 dia ditunjuk sebagai anggota Tim Pembinaan
dan Monitoring Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Namun, Suli hanya bertahan beberapa
bulan karena dia menemukan banyak kejanggalan. Sejak itu Suli kembali ke
jalanan.
SULI Ginting lahir tahun 1932 dari
keluarga miskin. Bapaknya telah meninggal saat dia baru berusia satu tahun dan
adiknya masih dalam kandungan. Anak ketiga dari empat bersaudara ini diasuh
oleh ibunya. Pada tahun 1947, saat Belanda datang, keluarganya tercerai-berai
dan Suli hidup di jalanan sebagai gelandangan.
Pada tahun 1956 Suli mendapat
pekerjaan tetap sebagai sopir bus jurusan Kuta Buluh-Medan. Satu tahun kemudian
dia menikah. Suli rajin menabung dan dalam pikiran sederhananya, tabungan
paling berharga bagi orang kecil seperti dirinya adalah tanah, yang saat itu
harganya masih sangat murah.
Dan pada tahun 1970 dia pun
membeli sebidang ladang seluas 2,5 hektar dengan harga Rp 1,7 juta. Sambil
membuka kedai kopi, Suli kemudian belajar menjadi petani dan berhenti menjadi
sopir.
Di usia senjanya tiap hari Suli
masih ke ladang. Istrinya, kenyataannya, tetap setia mendampingi. ”Berjuang
memang butuh biaya dan saya ikut saja kalau itu yang diyakini suami saya. Asal,
jangan semua harta ini dihabiskan agar kami masih bisa bertahan hidup,” kata
sang istri, Tali br Karo.
Rumahnya di Desa Lau Cimba sangat
sederhana. Hanya ada satu kursi, satu lemari, televisi, dua dipan, satu kamar
tidur, satu kamar tamu, dan kamar mandi. Dinding rumahnya dipenuhi poster-
poster tentang kerusakan lingkungan dan foto-foto dirinya saat menggelar
demonstrasi tunggal.
”Tidak banyak kekayaan materi
yang bisa saya wariskan. Tetapi, yang penting saya mewariskan kesadaran kepada
para generasi penerus saya, petani juga bisa melawan,” ujarnya. (AHMAD ARIF)
Sumber : Kompas, Selasa, 21 Juni
2005 (klik)
Kabanjahe (SIB)
Suli Ginting (70) warga Kabanjahe
yang juga Ketua Forum Petani Karo (FKPK) menggelar demo tunggal ke Polres Tanah
Karo, Kejari Kabanjahe dan Pengadilan Negeri Kabanjahe, Rabu (27/2) dengan
mengenakan pakaian wanita tradisional Karo.
Aksi Suli diawali ke Mapolres
Tanah Karo yang langsung disambut Kapolres AKBP Tumpal Manik SH. Disebutnya,
dirinya melakukan aksi sebagai protes atas penanganan hukum di Bumi Turang ini
sehingga terpaksa memakai pakaian yang seharusnya dipakai kaum perempuan di
daerah ini.
Dikatakan, kasus penyaluran pupuk
urea bersubsidi sekitar awal tahun 1999, Lurah Keluarahan Lau Cimba masa itu,
JS, mencantumkan namanya, Suli Ginting di dalam daftar para penerima pupuk
bersubsidi, padahal kenyataannya Suli sendiri tidak pernah ada menerima.
Merasa ada keganjilan, kakek yang
dikenal sebagai satu dari pejuang aspirasi rakyat ini lantas melakukan
investigasi dan ditemukan ada penyelewengan pupuk untuk rakyat yang kala itu
kuat dugaan dilakukan oleh lurah. Berikutnya, Suli pun melaporkan kasus ini ke
Polres Tanah Karo dengan bukti surat tanda lapor Nopol. LP/64/III/1999/Serse,
tertanggal 11 Maret 1999.
Pasca pengaduan, polisi berhasil
membongkar tindak pidana penggelapan pupuk bersubsidi dengan tersangka Lurah
Lau Cimba saat itu JS berikut barang bukti 450 Kg pupuk urea. Lantas, hasil
pemberkasan pun disampaikan ke pihak penuntut umum Kejari Kabanajahe dalam
berkas bernomor BP/56/XI/1999/Serse tertanggal 18 Mei 1999.
Beberapa waktu kemudian, pihak
Kejari Kabanjahe pun menyatakan berkas sudah lengkap, atau yang lebih dikenal
dengan istilah P21. Namun pada tanggal 9 Mei 2000, Kejari Kabanjahe diketahui
mengeluarkan surat No B/914/0.2.16/Epo.1/05/2000 yang isinya meminta agar
dilakukannya pemeriksaan tambahan atas kasus ini.
Dan yang membuat Suli Ginting
kaget adalah keluarnya surat Kejari Kabanjahe No B.2116/N.2.1.17/Epo.1/70/200
tertanggal 4 Oktober 2000 yang mengatakan kalau kasus tersebut tidak dapat
ditindaklanjuti. Padahal, sebelumnya pihak Kejari Kabanjahe sendiri yang
menyatakan berkas aduan Suli Ginting telah lengkap dan layak untuk disidangkan.
Namun hingga kini, kasus tersebut tidak juga pernah dilanjutkan oleh Kejari
Kabanjahe ke Pengadilan. Hingga mengakibatkan Ketua Forum Komunikasi Petani
Karo (FKPK) ini berang dan terus berjuang agar kasus tersebut diteruskan ke PN
Kabanjahe.
Selanjutnya Suli Ginting
melakukan demo ke Kejari Kabanjahe, namun tidak mendapat sambutan dari pihak
Kejari Kabanjahe begitu juga ke PN Kabanjahe. (M-30/i)
Suli Ginting cari keadilan
WASPADA ONLINE, 28 JULY 2009
KABANJAHE - Suli Ginting, 65,
warga Kabanjahe, mencari keadilan di Tanah Karo dengan mengenakan jubah putih
di bagian depan bertuliskan PK/MA, keadilan untuk siapa, apa arti keadilan dan
disetai gambar timbangan.
Sedangkan bagian belakang
terdapat ditulisan kapan keadilan itu diterapkan dalam masyarakat, siapa yang
menerapkan keadilan itu..? P21 apa artinya..?
Aksi yang dilakukan Suli diduga
terkaitan dengan kasus pemalsuan tandatangan dalam penerimaan pupuk subsidi
yang pernah disampaikanya kepada Polres Karo, Kejari Kabanjahe dan Pengadilan
Negeri.
Meskipun sudah lengkap namun
tidak pernah ada tindakan hukum yang dilakukan kepada tersangkanya
Aksi yang mengundang perhatian
puluhan warga masyarakat dilakukan berawal dari Tugu Bambu Runcing Kabanjahe
menuju Mapolres Tanah Karo dan bertatap muka dengan Kasat Reskrim Polres Karo,
AKP Lukmin Siregar mewakili Kapolres Karo.
Sepuluh menit kemudian sang
pencari keadilan melanjutkan perjalanan kantor Kejari Kabanjahe yang berjarak
lebih kurang 300 meter dan bermaksud bertemu Kajari Negeri Kabanjahe, namun
petugas menyarankan untuk bertemu dengan Kasi Pidum R Br Ritonga.
Usai pertemuan tertutup dengan
Kasipidum, kepada wartawan Suli Ginting mengungkapkan kalau kegiatan yang
dilakukan kali ini karena merasa hukum tidak berjalan di Tanah Karo.
Alasannya karena dalam kasus
praperdilan yang dilakukan diduganya ada sebahagian berkas yang ada tidak
dikirim oknum di Pengadilan Negeri. Sehingga Mahkamah Agung tidak dapat
diterima dengan alasan berkas tidak lengkap katanya
Disebutkan, dalam gugatan yang
dilakukan Kejaksaan Negeri Kabanjahe sudah mengeluarkan surat P21 ke Kapolres
yang menyatakan berkas perkara telah lengkap, namun kenyataan penuntutan Jaksa
dihentikan.
Suli juga mengungkapkan, dalam
penyambutan Kasi Pidum Rbr Ritonga, SH bagus, tapi penyampaian jawaban tidak
tepat, karena katanya ada ‘kekeliruan’, katanya mengutip pembicaraan dengan
Kasipidum.
Kepala Kejaksaan Negeri
Kabanjahe, Muda Hutasuhut, SH, tidak berhasil ditemui, begitu pula ketika
sejumlah wartawan menghubungi melalui telefon selularnya tidak ada jawaban
kecuali nada sambung.
Comments