Assistentswoning bij
tabakvelden in Deli
Artist : Kleingrothe, C.J. /
Medan
|
lanjutan dari bahagian 2
Resesi
Ekonomi 1930 dan Pengaruhnya di Sumatra Timur
Pada
akhir tahun 1920, di daerah Karo wilayah
Kesultanan Deli telah berkembang kebiasaan hanya memberikan setengah jaluran
kepada pendatang-pendatang baru dari dataran
tinggi Tanah Karo. Proses ini
sering mengalami gangguan konflik-konflik kecil sehubungan dengan status dan
luas tanah tersebut di antara para penggarap dan pihak perkebunan. Akibatnya pada
tahun 1929 dibentuk komisi untuk menentukan penyelesaian yang tetap atas
konflik-konflik tanah jaluran, yang
setiap tahun makin meningkat pada setiap
pembagian tanah setelah selesai panen
tembakau. Ternyata komisi ini mengalami kesulitan, sedangkan
keadaan semakin parah sebagai akibat
dari resesi dunia (malaise atau zaman
“meleset”) pada tahun 1930. Perkebunan-perkebunan
tembakau mengurangi daerah penanamannya, dan dengan sendirinya penyediaan tanah
jaluran semakin berkurang. Pada waktu
yang sama semakin banyak penduduk
kembali bercocok tanam, karena pekerjaan karena pekerjaan di kota-kota
semakin berkurang. (42)
Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa salah satu dampak resesi ekonomi yang terjadi di
Sumatera Timur adalah terjadinya arus balik dari para imigran pekerja kasar
perkotaan.
Pada
awal abad-XX banyak penduduk pedesaan yang berangkat mencari pekerjaan di kota
sebagai buruh seperti di pabrik-pabrik, pelabuhan, kereta api dsb. Pada masa resesi ekonomi yang diikuti dengan
pengurangan jumlah tenaga kerja di beberapa infrastruktur kota, dan disertai dengan stagnasi perdagangan ekspor-impor yang mengakibatkan turunnya
aktivitas di sektor perhubungan (pelabuhan, kereta api), jumlah pengangguran di kota semakin meningkat. Sebagian dari para
penganggur ini kemudian kembali ke kampung halamannya dan menggantungkan
hidupnya pada tanah dan sistem pertanian tradisional. (43)
Di
pihak onderneming ada usaha untuk
mengatasi krisis ekonomi ini dengan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja kepada para pegawainya. Tindakan pengusaha perkebunan ini berupa penyewaan
tanah perkebunan kepada pegawainya sendiri dengan sistem potong gaji atau
menyewakan kepada orang Cina. Tujuan pengusaha adalah memperoleh hasil sebanyak mungkin, karena
produksi kadang-kadang dibeli perkebunan
dengan harga yang sudah ditetapkan
sekaligus menjamin tetap
tersedianya buruh pekerja perkebunan yang murah.
Tentu
saja tindakan pengusaha ini menciptakan kondisi ketegangan baru di onderneming.
Ini dipicu oleh kekecewaan dan kemarahan penduduk setempat yang merasa bahwa
tanah jaluran sebagai hak mereka
sesuai dengan kesepakatan antara
pihak onderneming, pemerintah kolonial
dan sultan disamping menurut ketentuan
hukum adat, telah dirampas oleh para bekas kuli perkebunan dalam hal ini
orang-orang Cina dan Jawa. Tanpa disadari terjadi segregasi (ketegangan sebelum
meledak sebagai konflik) sosial bernuansa etnis.
Pada
tahun 1930 dimulai periode meningkatnya ketidakpastian bagi petani di daerah
penanaman tembakau (Deli, Serdang, Langkat), yang akhirnya menjadi basis
penting gerakan politik di pedesaan. Kesediaan perkebunan tembakau yang
mempersiapkan tanah jaluran untuk
dipakai oleh masyarakat sudah mulai berkurang. Sebelumnya setiap orang
yang rumahnya terletak di dalam kampung yang diambil alih oleh
perkebunan dapat mengharapkan pemakaian tanah jaluran untuk ditanaminya. (44)
Ketentuan
mengenai pemberian tanah jaluran
tersebut, dimuat dalam suatu kontrak agar penduduk di tanah perkebunan bisa memperoleh hasil dari tanamannya
sendiri. Prosesnya berlangsung melalui penghulu
sebagai koordinator dengan menerima suatu tambahan tanah, sedangkan
anggota keluarga menerima separuh apabila
mereka membantunya. Jadi demi kepentingan
keluarga yang memiliki banyak anak diberikan tambahan untuk menampungnya. (45)
Pemerintah
Belanda sangat mengecam praktek tanah jaluran, karena cara ini menghalangi
pencetakan sawah-sawah baru yang
hasilnya lebih produktif untuk mencukupi
persediaan beras di daerah yang bersangkutan. Cara ini juga dianggap hanya mengembangkan sifat malas dan
menghilangkan daya inisiatif penduduk yang menerimanya. (46)
Dengan
alasan ini pemerintah kolonial berhasrat untuk menghapuskan tanah jaluran di
areal konsesi. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuk komisi penyelesaian
konflik-konflik tanah jaluran. Tetapi komisi ini menghadapi persoalan-persoalan
yang lebih rumit karena keadaan di
Sumatera Timur semakin parah
sebagai akibat resesi dunia pada tahun
1930. Perkebunan-perkebunan tembakau telah mengurangi daerah penanamannya, mengakibatkan
persediaan tanah jaluran semakin
berkurang, sedangkan dalam waktu yang sama banyak penduduk yang menyerobot
tanah perkebunan karena disebabkan lapangan pekerjaan di kota semakin
berkurang. Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah kolonial mengadakan
penelitian.
Pada
tahun 1932 penelitian resmi yang lebih cermat diadakan untuk membedakan mereka
yang akan mendapatkan hak penuh
pembagian tanah berdasarkan pendahulunya. Kelompok ini telah berada di tempat itu sebelum tanah
itu dikonsesikan. Mereka dikategorikan sebagai golongan “A”, sedangkan mereka
yang menetap kemudian hanya berhak untuk
separuh pembagian, disebut sebagai golongan “B”. Ada kebutuhan untuk mengurangi
jatah tanah jaluran yang ketika itu telah
diberikan kepada kepala suku
Melayu. Juga ada pengurangan luas setiap
jaluran dari sebelumnya 0,6 ha. (47)
Pada
tahun 1934 setelah perekonomian pulih kembali, pihak onderneming memprotes
sistem pembagian tanah jaluran tersebut karena mereka menganggap jika tanah
bekas panen tanaman tembakau yang
telah diolah itu dipakai untuk
tanaman lain, maka akan merugikan bagi kesuburan tanah. Alasan pihak
onderneming ini memperkuat keinginan pemerintah kolonial untuk
menghapuskan tanah jaluran. Konsesi perkebunan yang habis waktunya pada tahun
1931 dialihkan menjadi hak erfacht (hak sewa jangka panjang).
Atas
desakan para sultan dan terutama Gubernur Van Suchtelen (1933-1936),
pelaksanaan hak erfacht tertunda untuk sementara karena penghapusan tanah
jaluran secara menyeluruh akan sangat memukul penghidupan rakyat
di daerah itu. Tetapi setelah
penggantian Gubernur, rencana
erfacht yang memberikan hak kontrol sepenuhnya kepada perkebunan tanpa tanah jaluran baru berlaku atau menjadi
kenyataan (1937). Keadaan ini
menimbulkan kegelisahan kepada para petani. Keadaan lebih gawat timbul ketika
tanah jaluran dibagikan berdasarkan daftar baru yang berhak menerimanya pada
tahun 1938.
Petani Karo dari
dusun-dusun telah
menghadap Sultan Deli untuk mengajukan protesnya. Sementara itu kedua
partai politik penting di Medan yakni Gerindo dan Parindra, telah menyorot
akan bahaya yang merugikan kaum
tani jika, ordonnantie erfacht yang baru itu dilaksanakan. (48)
Selama
pendudukan Jepang, segala lapangan kegiatan ditujukan untuk menopang usaha perang. Hal itu berlaku
pula bagi bidang ekonomi pada umumnya
dan bidang perkebunan khususnya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan,
terutama beras, Jepang mengadakan bagi
masyarakat wajib setor. (49)
Tindakan
Jepang ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi perang yang sudah
diputuskan dalam Konperensi Kekaisaran tanggal 6 Nopember 1941 di Tokyo. Salah
satu keputusan penting yang diambil oleh Jepang atas Sumatera Timur adalah menyatukan
pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya di
bawah satu pemerintahan, mengingat kesamaan etnis, budaya dan sistem ekonomi perkebunan di antara kedua daerah
itu. Meskipun tidak bertahan lama, hanya satu tahun kemudian Sumatera
dipisahkan kembali di bawah pemerintahan Satuan AD XXV. Namun selama awal pendudukan Jepang
ini kebijakan atas tanah-tanah perkebunan tidak mengalami perubahan berarti,
kecuali bahwa para perwira militer Jepang di sini menggantikan posisi para pejabat sipil
Belanda, sementara para pengusaha
onderneming Eropa digantikan oleh para pelaku ekonomi Jepang (dalam hal ini kelompok Mitsui) yang
harus menghasilkan produksi untuk mendukung kepentingan perang. (50)
Setelah
kekuasaan Belanda digantikan oleh penguasa Jepang, kedudukan para pejabat
Belanda dan pengusaha onderneming digantikan oleh para Perwira Militer Jepang
sebagai penguasa Sipil dan Militer. Struktur penguasaan tanah tidak dirubah,
namun fungsi tanah berubah dengan diutamakan bagi kepentingan perang militer
Jepang. Sebagai akibatnya para datuk dan penghulu tidak tergeser dari
posisinya, namun hanya berganti atasan. Seperti yang telah diketahui bahwa pada
masa pendudukan Jepang sektor perekonomian mengalami tekanan hebat, akibatnya
banyak terjadi kekurangan pangan karena jatah tanah bekas perkebunan ditanami
dengan tanaman bagi serdadu-serdadu
Jepang tanpa memberikan jatah memadai
bagi rakyat. Dengan banyaknya
tanah-tanah perkebunan yang digarap atau dikerjakan oleh rakyat atas perintah
penguasa Jepang, ketika itu tak mengherankan
apabila perkebunan telantar sehingga produksinya merosot secara mencolok, bahkan ada juga yang dihentikan usahanya. (51)
Pada
masa pendudukan Jepang, perusahaan perkebunan dikelompokkan dan dikelola
menurut wilayah kesatuan kepulauannya. Perkebunan di Jawa dikelompokkan ke
dalam Kaneei Nogioo Semushei, dan kelompok perkebunan swasta asing disebut Sabai Kanri Kodan. Perusahaan perkebunan di
Sumatera dikelompokkan dalam perusahaan pemerintah Jepang. (52)
Di
Sumatera Timur, tanggung jawab untuk melaksanakan semua onderneming/perkebunan
asing dilimpahkan kepada Noyen Renggo Kai, sebuah badan yang didirikan dalam pertengahan tahun 1942,
badan ini mempunyai kantor di Medan
dengan staf-staf orang Jepang dibantu
oleh penasehat Barat.
Menjelang
akhir tahun 1942 Noyen Renggo Kai
digantikan oleh sebuah badan organisasi administratif baru, Shonan Gonu Kumiai,
yang berpusat di Singapura. Para
penasehat Barat/penghubung digantikan oleh grup Manajer Jepang, yang masing-masing
bertanggung jawab untuk beberapa perkebunan. (53)
Dalam
periode pendudukan Jepang hampir di seluruh Indonesia onderneming-onderneming mengalami kemunduran.
(54)
Keadaan
ini dialami di Sumatera Timur, banyak onderneming telah dibubarkan dan buruh mereka berhenti tak
berketentuan. Ketika itu Sumatera Timur
berada dalam keadaan kekurangan
pangan. Menghadapi keadaan tersebut,
penguasa militer Jepang memperluas secara besar-besaran program produksi pangan
darurat dan memerintahkan pada onderneming tembakau untuk melepaskan 160.000 ha tanah perkebunan tembakau
di Langkat, Deli, dan Serdang. Pada akhir tahun 1943, tanah perkebunan tembakau itu dipergunakan
untuk penanaman sepanjang tahun bukan
hanya untuk padi, jagung dan tanaman pangan lain, melainkan juga untuk serat,
kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri yang berguna bagi kebutuhan
perang Jepang. Akibatnya perubahan ini
menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya dilakukan dengan
telaten, dan juga menyebabkan kerusakan-kerusakan tanah pada semua
perkebunan di tanah rendah dekat pantai. Sejumlah besar perkebunan
tembakau yang paling produktif, terutama yang dekat ke jalan-jalan raya utama
atau kota-kota besar seperti Medan dan Binjai, diambil alih seluruhnya oleh
buruh-buruh Jawa, orang-orang desa dan rakyat kota setempat dengan persetujuan penguasa-penguasa Jepang.
(55)
Kekurangan pangan di Sumatera Timur memaksa tanah
perkebunan dialihkan kepada penggunaan-penggunaan lain, pembukaan lahan baru
meluas di beberapa tempat. Di
dalam lingkungan pohon-pohon karet muda yang berumur lima tahun atau
lebih, dirusak atau dicabuti dijadikan
tanaman pangan.Tanah-tanah dimaksud
diberikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah. Akibatnya ribuan
buruh yang tidak mempunyai tanah
meninggalkan bangsal-bangsal perkebunan, dan mendirikan rumah-rumah
sederhana di bidang-bidang tanah yang baru mereka peroleh, dan mulai
mengembangkan kebun-kebun pekarangan kecil.
Dengan
demikian banyak tanah-tanah perkebunan yang telah digarap, baik oleh masyarakat
berbagai etnis Batak, Melayu, Jawa, maupun oleh buruh-buruh perkebunan itu
sendiri. Keadaan demikian akhirnya menimbulkan sengketa pertanahan
antara onderneming dengan masyarakat dan buruhnya sendiri.Kondisi di atas
misalnya, memicu tuntutan dari para petani kampung Kutambelu, daerah Tanjung
Anom, Deli. Mereka mengajukan
permohonan kepada datuk yang diserahi mengolah tanah jaluran oleh penguasa Jepang. Namun datuk itu menolak mengabulkan permohonan perluasan tanah
garapan yang diharapkan oleh petani untuk menutup kebutuhan tanaman pangan
yang sudah semakin mendesak. Bahkan datuk ini menjawab
: ”Aku kan tidak suruh kau bikin anak banyak? Kalau anakmu banyak tidak
bisa kau belandjai, buang sadja ke sungai!” (56)
Jawaban
ini memicu pemberontakan yang segera
meluas ke daerah Serbanyaman, XII
Kuta dan Sukapiring yang terutama dilancarkan oleh para petani Batak Karo. Dengan kekuatan militer Jepang menindas pemberontakan ini dan melakukan pembantaian
serta penangkapan terhadap pelakunya. Sampai akhir kekuasaan Jepang tidak
terjadi penataan kembali tanah-tanah yang ada.
Kesimpulan
Perkembangan
peristiwa tersebut di atas memperlihatkan bahwa persengketaan tanah di Sumatera
Timur sudah berlangsung secara periodik, dimulai sejak masuknya modal swasta Belanda yang membuka perkebunan tahun
1862 sampai akhir kekuasan Belanda di Indonesia. Masuknya
Jepang, menyebabkan sengketa pertanahan di Sumatera Timur bukan menjadi
berhenti, bahkan menimbulkan bibit-bibit
sengketa baru yang pecah setelah Indonesia merdeka. Sejarah selanjutnya
memperlihatkan sengketa pertanahan
antara masyarakat dengan perkebunan di Sumatera Timur terus berlangsung.
Sumber
dari permasalahan tersebut sebenarnya sangat kompleks. Sistem kepemilikan tanah
yang kacau karena tidak didukung oleh batas-batas tertulis yang jelas sejak
jaman kesultanan sampai akhir kekuasaan kolonial menjadikan perebutan
kepemilikan lahan oleh setiap pihak yang berkepentingan. Pemerintah Belanda,
sultan-sultan Melayu, pengusaha perkebunan dan rakyat masing-masing mengakui
memiliki hak atas tanah dengan dasar
yang berbeda-beda.
Dalam
proses sengketa yang terjadi, pihak yang memegang kuasa (dalam hal ini pemerintah
kolonial dan pengusaha perkebunan) menggunakan posisinya yang dominan untuk
menempatkan rakyat pada posisi yang termarginalisasi dan akhirnya terdepak dari
penghunian dan penggunaan lahannya. Pihak penguasa pribumi
tradisional, yakni Sultan Melayu dan para pemimpin adat tradisional sebagai tumpuan
harapan rakyat pribumi, pada kenyataannya tidak mampu memberikan jalan keluar
dan jaminan perlindungan kepada penduduk. Di sisi lain banyak anggota
pemerintahan pribumi yang justru terlibat dan memiliki kepentingan dalam
eksploitasi ekonomi atas tanah dan tenaga kerja di Pantai Timur Sumatra.
Mengingat tertutupnya saluran keluar untuk mengajukan
protes dan kekecewaan terhadap kondisi yang ada, konflik yang bernuansa
kekerasan tidak bisa dihindari lagi. Pemberontakan
penduduk di daerah Sunggal menjadi
bukti terjadinya pelanggaran hak adat atas tanah yang tidak bisa diterima oleh
rakyat.
Begitu
juga dengan beberapa kasus seperti pengrusakan kebun, penyerangan pegawai
perkebunan dan pemogokan kerja merupakan bukti adanya penolakan terhadap tekanan
eksploitasi dari kekuatan modal besar atas penduduk. Berbagai tindakan diambil
oleh para penguasa kolonial untuk mengatasi persoalan ini. Di antaranya adalah penerapan sistem
jaluran yang diharapkan mampu memberikan jalan tengah bagi konflik antara kedua
pihak. Akan tetapi pelaksanaan kebijakan yang setengah-setengah dan sarat
dengan KKN tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini terbukti adanya
pemenangan kepentingan dari pemilik modal besar baik oleh penguasa kolonial,
sultan maupun para pemimpin adat tradisional dalam sengketa atas tanah jaluran
yang akan ditanami oleh penduduk pribumi. Kasus penggunaan lahan bagi
kolonisasi tenaga kerja perkebunan yang diduga telah melanggar hak milik tanah
penduduk setempat juga merupakan bentuk pemasungan hak asasi.
Kasus-kasus
konflik yang masih meradang dan cara penyelesaian yang setengah hati ini
mengakibatkan proses hukum bagi penyelesaian sengketa tetap mengambang dan tidak terselesaikan. Pergantian rejim
penguasa yang bersifat rekonstruktif tidak mampu memberikan jalan keluar bagi
kondisi macet ini, mengingat
penggunaan hukum represif lebih diutamakan dengan nuansa politis yang sangat
kental. Akibatnya diperlukan adanya proses dekonstruktif bagi perkara
ini untuk bisa mencapai kondisi harmonis, stabil dan
kemajuan pesat yang nyata.
KEPUSTAKAAN
Sumber Arsip koleksi
ANRI Jakarta
Gouvernoor Oostkust
Sumatra Besluit 31
Desember 1917 Nomor 803 dan 1 Nopember
1922 Nomor 1738
Memorie van Overgave S.
Bouman, Asisten
Residen Deli-Serdang, 1 Desember 1929
Memorie van
Overgave H.E.K. Eserma, Asisten Residen van Deli-Serdang, 21
September 1921
Memorie van Overgave L.
Kapoort, Asisten
Residen Afdeeling Asahan, 4 Mei 1903
Memorie van Overgave
G.L.J.D. Kok, Asisten
Residen Deli-Serdang, 30 Juni 1910
Memorie van Overgave
H.D. Moyenfeld,
Kontrolir Beneden Deli, 9 April 1934
Memorie van Overgave
D.F. Pronk, Kontrolir
Beneden Deli, 9 Maret 1923
Memorie van Overgave
Reuvers, Kontroleur
van Beneden Deli 15 Maret 1926
Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Kontrolir Beneden Deli 30
Maret 1926
Memorie van Overgave
W.P.L.F. Winckel,
Asisten Residen Deli-Serdang 9 Maret 1925
Politiek Verslag van
Oostkust Sumatra Residentie 1937
koleksi MvO serie 4e, ANRI Jakarta
Koleksi Leksikografi
Perpustakaan Nasional RI
Jaarverslag van Haven
Belawan pada tahun
1930
Staatsblad van
Nederlandsch Indie,
tahun 1925 Nomor 474
Sumber Penerbitan
Berkala koleksi Perpustakaan Nasional RI
“
Hoe verkrijgt men gronden in erfpacht op Sumatra?” dalam Algemeene Landbouwweekblad van Nederlandsch
Indie, tahun 1916-1917, nomor 22, halaman 7
Ginting
Margana, “Kabratan anak negri dan toean toean kebon”, Andalas,
22 Agustus 1918
Erfachtregelen voor
Zelfbestuurder in Buitenbezittingen,
dalam Indische Gids, jilid I, tahun 1919
“Tangis
ratapnya Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”, Benih Merdeka, 20 Mei 1920
“Tanah
Djaloeran”, dalam harian Benih Merdeka,
25 Mei 1920
T,A.
Machmoed, PENGAROEH CONCESSIE DI SOEMATRA
TIMOER Motto” : Kapitalis Minoem Soesoe, Zelfbestuurder toeroet memerah Ra’jat dalam Pewarta Deli, 11 Januari 1926
“Pergerakan
Ekonomi Sumatra”, Pewarta Deli, 5
Maret 1928
“Onderzoek
over Grondkwestie”, Deli Courant, 20
Maret 1929
Beberapa
Suggesties oentoek Commissie Ra’jat
Penoenggoe”, Pewarta Deli, 20 Desember
1932
Darman
Tambunan, “Pemberontakan Kaum Tani
(Aron) melawan Fasisme Djepang 26 Djuli 1942-26 Djuli 1958”, Harian Rakjat, 26 Juli 1958
Buku-buku
Boezemer,
T.J., Encyclopaedie van Nederlandsch
Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1921
Booth,
Anne, Sejarah Perekonomian Indonesia,
Jakarta : LP3ES, 1988
Butt,
Peter, Land Law, Sydney, LBC
Information Services, 1996
Engelbrecht, Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989
Faez,
J., Particuliere Landerijen in Bewesten
van Cimanoek Rivier, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1894
Idema,
H., Parlementaire
Geschiedenis van Nederland Indie, ‘s
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1898
Lindblad,
Th., Het Belang van Buitengewesten,
Amsterdam, NEHA, 1986
Mahadi, Sedikit
Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu
atas Tanah di Sumatra Timur (tahun 1800-1975), Bandung, Alumni, 1976
Mosca,
Gaetano, The Ruling Class, New York,
McGraw Hill Book Company, 1939
Pelzer,
Karl. J., Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,
terjemahan J. Rumbo, Jakarta, Sinar Harapan, 1985
Pluvier,
Jan, Southeast Asia: From Collonialism to
Independence (Singapore : McMillan
Company, 1977
Sartono
Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan
Di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media Yogyakarta,
1991
Ter
Haar, B, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto, Prajnya Paramita, Jakarta, 1958
Tideman,
J. Simeloengoen, ‘s Gravenhage, Van
Doesburgh, 1922
Wertheim,
W.F., Indonesian Society in Transition,
Bandung, Van Hoeve, 1958
Catatan kaki :
(42)
Mahadi, op.cit, hal. 127. Resesi ekonomi tahun 1930-an awal telah memberikan
pukulan besar pada kehidupan ekonomi
kapitalis khususnya di sektor
perdagangan dan industri. Ini diawali dengan ambruknya harga saham di
Wall Street New York pada tahun 1929 dan diikuti dengan krisis moneter dan modal bagi
perusahaan-perusahaan besar di Amerika. Akibatnya pemerintah Amerika mengambil kebijakan menutup pasaran Amerika bagi impor komoditi industri Eropa dan produk
tropis kolonial. Tentu saja hal ini mengakibatkan terjadinya defisit
perdagangan bagi negara-negara koloni Eropa yang telah menggantungkan sebagian
besar pasaran produk tropis jajahannya
di Amerika. Kemerosotan harga segera terjadi bagi beberapa komoditi hasil bumi
tanah jajahan yang diikuti dengan penghentian produksi dan pengurangan lahan
penanaman. Sebagai akibatnya lebih jauh, kondisi ini menciptakan pembatalan
beberapa kontrak kerja yang mengakibatkan berlimpahnya pengangguran. Di Sumatra Timur ini nampak dengan pemulangan
sejumlah besar tenaga kuli kontrak ke
Jawa atau penghentian hubungan kerja
dengan para kuli kontrak pendatang di daerahdaerah
perkebunan. Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition (Bandung, Van
Hoeve, 1958) halaman 129.
(43)
Lihat, Jaarverslag van Haven Belawan pada tahun 1930, koleksi Perpustakaan
Nasional RI, Jakarta.
(44)
Anthony Reid, op.cit, hal 126. Pada akhir dekade kedua abad-XX krisis ekonomi
dunia malaise yang mulai terjadi di Bursa Saham Internasional New York segera
menyebar ke seluruh wilayah koloni negara-negara Eropa. Mengingat dominasi
ekonomi di tanah-tanah jajahan Eropa
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang bertumpu pada kekuatan
industri dan perkebunan, maka beberapa perusahaan besar yang multinasional
segera terkena pukulan dengan merosotnya harga saham mereka di pasaran
Internasional New York tersebut. Banyak dari perusahaan ini yang dinyatakan bangkrut
(pailit) dan sebagian lagi terpaksa harus melepaskan asetnya atau mengurangi
secara tajam jumlah investasinya di tanah koloni. Hal tersebut sangat terasa di
wilayah perkebunan Pantai Timur Sumatera, yang segera mengalami penyusutan
wilayah dan pengurangan jumlah tenaga kerja dalam aktivitas onderneming. Lihat
juga, Anne Booth, Sejarah Perekonomian Indonesia (Jakarta : LP3ES, 1988).
(45)
Memorie van Overgave, G.L.J.D. Kok, op.cit.
(46)
Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 46.
(47)
Anthony Reid, op.cit, hal. 128.
(48)
Anthony Reid, ibid, hal. 130. Selanjutnya dijelaskan organisasi itu diwakili
oleh Jacoeb Siregar dan Mr. H. Luat
Siregar, masing-masing telah maju
menjadi juru bicara untuk Gerindo dan Parindra. Lihat juga Politiek Verslag van
Oostkust Sumatra Residentie 1937.
(49)
Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, op.cit, hal 161 lebih lanjut dijelaskan
pula Rakyat dipaksa untuk menanam
tanaman pangan, terutama beras di areal tanah perkebunan dan hasilnya disetor
kepada penguasa Jepang.
(50)
Sebelum melakukan ekspansinya ke Asia Tenggara, para petinggi militer dan sipil
Jepang dalam Konperensi Kekaisaran 6 Nopember 1941 telah memutuskan nasib
“kawasan Selatan” (nanjo) ini. Seluruh wilayah Asia Tenggara akan ditempatkan
sebagai kawasan pinggiran dari
Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sebagai suatu kesatuan ekonomi.
Dengan status demikian, maka seluruh wilayah Asia Tenggara wajib menyetorkan
semua hasil bumi, hasil tambang dan tenaga
kerjanya bagi kepentingan Peperangan Asia Timur Raya. Keputusan Konperensi
Kekaisaran ini menjadi dasar hukum kebijakan Jepang selama masa pendudukannya
atas seluruh kawasan Asia Tenggara dan baru dicabut setelah penyerahan Jepang
kepada Sekutu tanggal 2 September 1945 oleh Southeast Asia Command (Komando
Asia Tenggara). Jan Pluvier: Southeast Asia: From Collonialism to Independence
(Singapore : McMillan Company, 1977), hal. 97-98.
(51)
Ibid, hal. 162.
(52)
Ibid, hal. 175.
(53)
Karl. J. Pelzer, op.cit, hal 152.
(54)
Kemunduran Onderneming/perekebunan sudah terjadi di seluruh Indonesia, kecuali
perkebunan karet tidak banyak mengalami kemunduran sedangkan komoditi lainnya
mundur secara mencolok. Sartono Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Kajian
Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media Yogyakarta, 1991), hal. 162.
(55)
Karl. J. Pelzer, op.cit, hal. 153.
(56)
Darman Tambunan, “Pemberontakan Kaum Tani (Aron) melawan Fasisme Djepang 26
Djuli 1942-26 Djuli 1958”, Harian Rakjat, 26 Juli 1958.
Sumber
tulisan :
DI
BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming
dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial
Penulis
: SYAFRUDDIN KALO
Program
Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Comments