Description : The replay of a war by a
group of men on horseback, Karolanden
Date : 1914-1921
Source : Tropenmuseum
Author : Unknown
|
Dalam Pustaka Kembaren
disebutkan bahwa pada zaman dulu sudah ada perdagangan kuda antara dataran
tinggi di utara Danau Toba dan Langkat melalui Sungai Wampu (1). Selain itu, dari
catatan sejumlah daghregister, dapat
diduga bahwa pada abad ke-17, Deli mengirim kuda ke Melaka.
Hal ini dapat dipastikan untuk
awal abad ke-19, karena pada saat itu ratusan kuda setiap tahunnya diekspor ke
Pinang dan Melaka untuk menarik gerbong kecil di pertambangan timah (2). Perkembangan peternakan kuda di pedalaman mungkin
di dorong oleh meluasnya pertambangan timah di Semenanjung.
Diperkirakan pusat pemasok kuda
terbesar adalah Pulau Samosir di tengah Danau Toba, tempat kuda-kuda dibeli
ketika masih muda, dipelihara di daerah Tongging
dan kemudian dijual di Deli. (3) Perdagangan
dengan Deli ini mungkin mencakup ratusan ekor per tahun dan menjadi monopoli kepala-kepala di dataran tinggi di
sebelah utara Danau Toba, karena wilayah mereka merupakan jaluar yang paling
mudah dilewati menuju pesisir (4). Jadi kuda-kuda
itu hampir semuanya melewati sela gunung
Cingkem.(5)
Sebenarnya perdagangan itu
berlangsung melalui dua jaringan sejajar. Yang pertama, pembeli dari Deli datang
ke dataran tinggi (Tanah Karo) untuk
membeli kuda, antara lain di daerah Tongging (6).
Kecuali Tongging, sejumlah tempat di dataran tinggi Karo merupakan pasar kuda,
antara lain Tiga Belawan dekat Siberaya
dan Tiga Sidaraja dekat Surbakti.
Westenberg mencatat tentang orang “melayu” pedagang kuda yang dalam
perjalanan menuju dataran tinggi meletakkan sesaji di makam para sibayak di Kabanjahe dan Barusjahe. Pada
wal perjalannya mereka hanya menaruh sirih, kemudian ketika urusan dagangan
berjalan lancar, mereka mengorbankan seekor kambing atau ayam putih. (7)
Yang kedua, banyak pedagang kuda
dari dataran tinggi pergi ke Pinang atau Singapura. (8)
mereka kembali dengan membawa banyak dagangan yang kemudian dijual secara
eceran dengan berkeliling dari kampung ke kampung (9)
Pelabuhan untuk membawa Kuda-kuda tersebut dikenal bernama Belawan. Menurut sebuah tradisi (10), sebelum pedagang dari pedalaman akan menjual kuda-kuda ke Pinang, maka ia akan bersumpah bahwa ia tidak akan menipu sesamanya. Bersumpah dinamakan "erbulawan" dalam bahasa Karo. Mungkin dari sini nama daerah ini bermula.
Catatan kaki :
1 Neumann, 1972, hlm. 176
2 Hagen, 1883b, hlm. 143
3 C. de Haan, 1875, hlm. 6; Hagen, 1886, hlm. 354
4 Hagen, 1886, hlm. 355
5 Kruijt,
“Deli Zending. Berichten uit Deli,” MNZ, 34, 1890, hlm. 326; Joustra, 1910, hlm. 51
6 C de Haan, 1875, hlm. 6. Tahun 1891, Kruijt melihat seorang Muslim yang tiba
di dataran tinggi beberapa hari sebelumnya untuk membeli kuda (Kruijt, “Bezoekreis op het plateau van
Deli (karo-land),” MNZ, 35, 1891b, hlm.382). Kecuali Tongging, sejumlah tempat
di dataran tinggi Karo merupakan pasar kuda, antara lain Tiga Belawan dekat
Siberaya dan Tiga Sidaraja dekat Surbakti (Kruijt,
1891b, hlm. 359-382).
7 Westenberg, 1892, hlm. 227
8 Josutra, “Het jaar 1901 onder de
karo-Bataks,” MNZ, 46, 1902b, hlm. 5. Di Nagasaribu, dekat Tongging, Raet
bertemu dengan seorang pemimpin yang hendak ke Pinang untuk menjual kuda (Cats Baron de Raet, 1875, hlm. 193). Catatan
dalam sebuah laporan kolonial resmi Ingggris tentang hadirnya pendatang “Batak”
di Pinang tahun 1835 barangkali perlu dikaitkan dengan perdagangan kuda itu (Nagata, 1981, hlm. 101). Mengenai
pendatang dari pedalaman utara Sumatera di Semenangjung Melayu, Moor mencatat
bahwa tahun 1830-an terdapat pelayan “batak” di Melaka (Moor, Notices of Indian Archipelago, Singapura, 1837, hlm. 117)
9 C de Haan, 1875, hlm. 38.
10
Menurut sebuah tradisi tempatan, di Belawan dahulu terdapat sebuah keramat
tempat pedagang dari pedalaman yang akan menjual kuda ke Pinang bersumpah bahwa
ia tidak akan menipu sesamanya (lihat E.
McKinnon, 1984, hlm.16). Di samping itu juga perlu dicatat bahwa nama
tempat Belawan ini juga terdapat di dekat mata air sungai itu, di Dusun.
Bahan bacaan : Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, Daniel Perret, KPG, 2010
Comments