Sistem kerajaan Melayu dan
Simalungun sangat memuaskan kepentingan kolonial dan perkebunan asing, sehingga
pejabat-pejabat Belanda di Sumatera Timur berusaha menciptakan sistem seperti
itu di daerah lain yang belum memiliki sistem.
Sibayak-sibayak yang diangkat pada tahun 1907 yaitu :
77.000 orang Karo (pada tahun
1930) yang tinggal di dataran tinggi di luar pengaruh Melayu pesisir sebelumnya
hidup bebas dalam tata organisasi kemasyarakatan desa (kuta) nya sendiri. Unit sosial
dasarnya adalah kesain (dukuh) yang jumlahnya sekitar 500 di seluruh Tanah
Karo, banyak diantaranya menggelompokkan diri menjadi satu desa (kuta) yang
dipimpin secara bersama-sama oleh penghulu dari setiap kesain.
Di daerah-daerah Toba, missi
Kristen telah membantu Belanda memahami dam mencoba mengatasi ketiadaan bentuk
pemerintahan ini. Kekuasaan Belanda memasuki Tanah Karo dari pesisr Timur dan
memasuki Tapanuli (daerah orang Batak dan Mandailing) dari Barat.
Prinsip-prinsp agak berbeda
diterapkan. Tanpa berbelit-belit pihak Belanda menyatakan, “penolakan terhadap kekuasaan yang dipunyai orang Karo dalam kadar yang
begitu tinggi.... Sejak kekuasaan kita berdiri di Tanah Karo, kita telah
berjuang untuk mengakhiri kekuasaan ganda ini, yang kenyataannya bukanlah suatu
demokrasi melainkan anarki.”
Kekuasaan Belanda datang ke Tanah
Karo secara mendadak pada 1904, dengan memakai rumus klasik pengerahan tentara
untuk membalas permusuhan penduduk atas missi Kristen yang mulai bekerja di
daerah itu.
Pemerintah kolonial segera
membangun Urung, mengelompokkan
desa-desa yang dipimpin oleh marga yang sama dan mengakui kepemimpinan satu
desa induk. Ada 15 Urung yang diakui dan Belanda berusaha memerintah lewat
penghulu desa induk seolah-olah ia adalah turunan raja.
Karena jumlah ini masih belum
mencukupi, maka lima pemimpin yang berpengaruh diangkat sebagai sibayak yang memerintah dua atau lebih urung. Sibayak-sibayak inilah yang
menandatangani Korte Verklaring
dengan Belanda pada 1907.
Situasi yang berkaitan dengan
peta kekuasaan saat itu memaksa Belanda untuk mengakui dua atau lebih kepemimpinan
bersana di sistem baru ini pada tahun-tahun pertama. Dengan mendukung tokoh
usianya yang paling panjang, maka pada tahun 1930 Belanda berhasil mendirikan
dinasti pemerintahan yang terdiri dari sibayak dan raja urung yang seolah-olah
berkuasa berdasarkan garis keturunan.
Kenyataannya, “Jika seseorang melihat bagaimana seorang sibayak atau raja urung
disambut di setiap kesain, orang akan melihat betapa tipis kewibawaannya dan
sebelumnya tentu lebih tipis lagi.”
Bangsawan-bangsawan buatan ini
mendapatkan kekuasaannya bukan dari rakyat tapi dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Seorang sibayak digaji sekitar f2.400 setahun, lebih sedikit dari pada
gaji raja-raja lain di Sumatera Timur tetapi ini tetap terhitung sangat mahal
jika dilihat dari konteks tradisional.
Mereka duduk di pengadilan tertinggi,
mereka bertanggung jawab atas ketertiban daerahnya dan putera-putera mereka
mendapatkan pendidikan Belanda terbaik yang bisa didapatkan.
Meskipun demikian Belanda tidak
mengalihkan kontrol atas tanah kepada aristokrat baru ini. Fakta ini, bersama
dengan kebencian orang-orang Karo terhadap perkebunan tembakau asing yang
timbul karena mendengar cerita pengalaman saudara-saudara sesukunya di dusun,
menjamin tidak akan ada tanah yang dialihgunakan kepada perkebunan asing di
Tanah Karo. Pada tahun 1930 ada pejabat-pejabat yang mendukung perlawanan Karo
terhadap perkebunan-perkebunan dan dengan begitu keadaan mereka jauh lebih baik
daripada Simalungun yang sudah mulai merasakan kekurangan tanah untuk
penduduknya sendiri.
Dalam hal lain Tanah Karo juga
merupakan daerah yang unik di Sumatera Timur. Dengan dibukanya jalan raya
Kabanjahe-Medan pada 1909, ekonomi Karo mulai lepas landas. Orang-orang Karo
menyambut gembira kesempatan menanam sayur-sayuran yang akan dipasarkan di Medan
dan Malaya. Dalam delapan tahun, mereka telah mengirim 340 ton kentang ke Medan
pertahun dan ribuan gerobak yang ditarik lembu simpang siur di jalan-jalan
rayanya. Sistem pertukaran barang dengan uang diterima dengan bergairah.
Bersamaan dengan itu, timbul
permintaan tinggi akan pendidikan yang menghabiskan seluruh sumber daya Nederlandsche
Zendingsgenoodschap (NZG), organisasi misi Kristen yang dipercaya untuk
memberikan pendidikan pada orang-orang Karo. Sementara kampanye ekonomi
berlanjut, membuat mereka menjadi petani yang mungkin paling sukses di
Indonesia dari segi komersial, dalam beberapa tahun orang-orang Karo
menolak unsur kebudayaan Barat yaitu agama Kristen dan pendidikan modren.
Seorang
sejarawan missi menuliskan, bahwa “selama
priode 1920-an minat masyarakat Karo terhadap pendidikan berkurang drastis dengan
tingkat ketidak hadiran di sekolah tercatat 80% atau lebih di sebahagian besar
wilayah Karo.” Pada tahun 1942 tidak seorangpun orang Karo yang
mengenyam pendidikan universitas.
Bagaimana kita menjelaskan rekasi
yang ganjil terhadap dampak Barat ini, yang sangat berbeda dengan pengalaman di
Toba? Tahun-tahun genting ketika orang-orang Karo menolak pendidikan gaya
Belanda tampaknya bersamaan dengan perang Dunia Pertama. Beberapa kemungkinan
penyebabnya bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. rasa curiga yang terus menerus
terhadap maksud Belanda yang bermula dari Perang Batak (perang sunggal-red)
tahun 1874 dan penaklukannya tahun 1904.
2. beban pajak yang meningkat
tajam setelah Belanda berkuasa, khususnya pada tahun 1914 ketika tarif pajak
naik tiga kali lipat. Pada masa 1920-an dan 1930-an, pajak per kapita yang
dibayarkan orang karo lebih banyak dari pada orang-orang Indonesia lainnya di
Sumatera Timur, meskipun umumnnya orang-orang Karo ini juga lebih kaya.
3. sampai tahun 1920-an gubernemen memilih untuk memberikan
subsisi kepada sekolah-sekolah missi NZG untuk orang Karo di dataran tinggi dan
dusun daripada mendukung kurikulum sekuler yang diberikan di daerah berpenduduk
muslim. Pada 1919, sebuah laporan menyampaikan :
“Secara umum, terlepas dari kehausan pengetahuan dikalangan Karo, pendidikan yang diberikan missi tidak dapat disebut populer, sehingga di dataran tinggi orang sering menjumpai anak-anak yang tidak pergi ke sekolah tetapi berusaha mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang penting dari seorang krani atau juru tulis....... Terlampau banyak pelajaran wajib yang terlampau cepat diajarkan juga mempunyai pengaruh yang tidak baik. Orang tua murid dikenakan denda 10 sen untuk setiap kali anaknya bolos sekolah, yang seringkali mencapai jumlah yang lebih besar.... pada 1913 sekitar 1.300 anak pergi ke sekolah di dataran tinggi dan jumlah ini merosot sampai tinggal 600 dua tahun kemudian..”
“Secara umum, terlepas dari kehausan pengetahuan dikalangan Karo, pendidikan yang diberikan missi tidak dapat disebut populer, sehingga di dataran tinggi orang sering menjumpai anak-anak yang tidak pergi ke sekolah tetapi berusaha mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang penting dari seorang krani atau juru tulis....... Terlampau banyak pelajaran wajib yang terlampau cepat diajarkan juga mempunyai pengaruh yang tidak baik. Orang tua murid dikenakan denda 10 sen untuk setiap kali anaknya bolos sekolah, yang seringkali mencapai jumlah yang lebih besar.... pada 1913 sekitar 1.300 anak pergi ke sekolah di dataran tinggi dan jumlah ini merosot sampai tinggal 600 dua tahun kemudian..”
Meskipun hanya ada sedikit perlawanan
bersenjata di Tanah Karo sesudah tahun 1904 (setelah padamnya Perang
Sunggal-red) dan pembukaan sekolah-sekolah pemerintahan yang “netral” pada
1920-an ternyata tidak begitu ditolak, rasa curiga orang Karo terhadap maksud
Belanda tetap kuat. Baru setelah merdeka orang Karo meletakkan pendidikan dalam
agendanya untuk mencapai modrenisasi. Dalam pergolakan tahun 1940-an orang Karo
muncul sebagai pendukung revolusi melawan Belanda yang paling bergairah.
Di masyarakat Karo sendiri,
walaupaun perbedaan-perbedaan sosialnya tidak begitu kentara jika dibandingakan
dengan masyarakat melayu atau Simalungun, ketegangan mewarnai masuknya irigasi
di beberapa daerah. Sebagian besar dataran tinggi Karo sangat sulit dialiri
irigasi karena jurang-jurangnya sangat dalam. Meskipun demikian, mulai sekitar
1920 suatu daerah yang dialiri irigasi berangsur-angsur dibangun dengan
saluran-saluran yang rumit di bagian statelet
Lingga yang mencakup desa-desa besar Batu Karang, Tiga Nderket dan Payung. Ketiga
desa ini tekah menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi, Batu Karang juga pernah
menjadi pusat perlawanan Belanda pada tahun 1904.
sawahlandschap bij Pajung en Batukarang
Date 1914-1921
Source Tropenmuseum
Author niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer)
|
Dengan meningkat pesatnya nilai
sawah, maka pemilikan kolektif tanah yang tradisional tidak berlaku lagi,
meskipun pengairan sawah dilakukan bergotiong royong oleh penduduk desa (kuta).
Umumnya, setiap keluarga mendapatkan satu bidang tanah, sedangkan tiga bidang
di setiap desa diberikan kepada penghulu dan raja urung dan dua bidang
diberikan kepada sibayak.
Ini memungkinkan beberapa
bangsawan mengumpulkan kekayaan berupa tanah hingga mencapai jumlah yang luar
biasa. Raja urung Batu Karang disebut telah mengumpulkan 40 hektar sawah. Konsep
pemilikan perseorangn atas tanah yang dikerjakan secara tetap adalah sesuatu
yang baru dalam kehidupan mereka.
Konsep ini kemudian memicu
persengketaan yang terus menerus, bahkan sampai tahun 1930-an. Pada tahun
1940-an, protes-protes yang lebih keras terjadi sehingga akhirnya para
bangsawan Karo ini kehilangan seluruh sawahnya.
Peristiwa Batu Karang
Pada tahun 1936, seoarang kepala kampung di Sebanyaman
dihukum satu tahun penjara karena menghasut sesama orang Karo menolak membayar
pajak dan melakukan herendienst.
Bersambung....
Sumber : Sumatera, Revolusi dan Elite Tradisional (halaman 83-89) karangan Anthony Reid, terbitan Komunitas Bambu, 2011
Tambahan dari tulisan sebelumnya :
Perjanjian Penguasa Karo dengan Belanda
1. Pa Terang dan Pa Sendi, Sibajaks van Lingga.
Wilayah yang dikuasai : Lingga en Onderhoorigheden.
Tanggal laporan : 11 September 1907.
Tanggal keputusan, yang pernyataan disetujui dan disahkan kepala daerah, diakui dan dikonfirmasi : 20 December 1907.
2. Pa Tempana dan Pa Oendjoekan. Sibajaks van Baroe Djahé.
Wilayah yang dikuasai : Baroe Djahé en Onderhoorigheden.
Tanggal laporan : 12 September 1907.
3. Pa Noensang, Sibajak van Soeka.
Wilayah yang dikuasai : Soeka en Onderhoorigheden.
Tanggal laporan : 13 September 1907.
4. Si Ngabah dan Si Napa, Sibajaks van Sarimembah.
Wilayah yang dikuasai : Sarimembah en Onderhoorigheden.
Tanggal laporan : 12 September 1907.
5. Si Naboeng dan Si Andem, Sibajaks van Koeta Boeloeh.
Wilayah yang dikuasai : Koeta Boeloeh en Onderhoorigheden.
Tanggal laporan : 13 September 1907.
Comments