Prof.Dr.Ir.Meneth Ginting, MADE |
CAWIR PURNABAKTI GURU BESAR
1. Anak Desa Jadi Profesor
Pak Meneth Ginting yang telah
menjadi Guru Besar (Profesor) tahun 2002 dan dikukuhkan tahun 2003, lulus
Sarjana (S1) dari Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), S2 dari
Australian National University (ANU) Canberra dan S3 diperoleh dari Institut
Pertanian Bogor.
Banyak jabatan yang telah
dipegang Pak Meneth Ginting (lihat Curriculum Vitae), sebelumnya beliau pernah
menjabat Ketua Survey Agro Ekonomi Indonesia (SAEI) Sumatera Utara, Penasehat
Bappedasu, Risearch Fellow Asian Studies Australian National University (ANU)
Canberra, Deputy Ketua Tim Pembangunan Desa Pantai Sumatera Utara, Ketua
Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) USU, Dekan Fakultas Pertanian USU dan
Bupati Kabupaten Karo.
Jabatan beliau sekarang adalah :
(1) Dosen Tetap Fakultas Pertanian USU, (2) Dosen Pascasarjana Agribisnis
Fakultas Pertanian USU, (3) Dosen Pascasarjana Jurusan Perencanaan Wilayah dan
Desa (PWD), (4) Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jurusan
Ekonomi Islam, (5) Rektor Universitas Quality (d/h Universitas Karo-UKA), (6) Koordinator
Dewan Pakar Badan Koordinasi Pembangunan Ekosistem Kawasan Danau Toba
(BKPEKDT), (7) Anggota Ahli Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, (8)
Anggota Pembina Penyuluhan Kabupaten Pakpak Bharat, (9) Anggota Yayasan Leuser
International (YLI).
Catatan :
(6) dan (7) berdasarkan SK
Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan (8) berdasarkan SK Bupati Kabupaten Pakpak
Bharat.
Saat ini Pak Meneth Ginting akan
menjalani masa Purnabakti Guru Besar USU setelah umur beliau 70 tahun (15 Juli
2010) dengan pangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) : IV/E.
Gambaran usia lanjut mulai jelas
terlihat : kaca mata tebal, rambut putih merata namun terlihat bahwa Pak Meneth
Ginting tetap sehat dan semangat. Beliau secara rutin memeriksa kondisi
kesehatannya. Rutinitas beliau tidak banyak berubah dalam beberapa tahun ini,
kegiatan mengajar, memberikan konsultasi, ceramah dan lainnya. Satu hal yang
patut menjadi contoh bahwa Pak Meneth Ginting selalu tepat waktu. Pernah beliau
katakan bahwa waktu yang terkelola dengan baik tidak membuat kita terlambat.
“Terburu-buru membuat kita stress, hasil kerja tidak maksimal, jalan keluarnya
adalah ketepatan mengelola waktu”, kata beliau.
Sehari-hari beliau tetap
melakukan olah raga teratur wai tan kung atau jalan pagi, membaca dengan rutin,
makan teratur dan komunikasi dengan keluarga tetap terjalin harmonis. Mungkin
dengan rutinitas inilah membuat Pak Meneth Ginting tetap sehat dan semangat.
Pak Meneth Ginting dilahirkan
pada tanggal 15 Juli 1940 di Desa Bukit Karo Kecamatan Tiga Lingga Kabupaten
Dairi Sumatera Utara. Putra pertama dari pasangan H. Imaddullah Panegoh Ginting
dan Hj. Tetap Malem br Tarigan. Pak Meneth Ginting memulai pendidikan dasar
yang dulu disebut Sekolah Rakyat di Desa Bukit Karo Tigalingga, SMP di
Sidikalang dan SMA di Kabanjahe. Setelah tamat SMA, Pak Meneth Ginting
melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Universitas Sumatera Utara dan tamat tahun 1966.
Tahun 1976 mengikuti Program
Pasca Sarjana di Development Study Centre Australian National University (ANU)
Canberra dan memperoleh gelar Master of Agricultural Development Economics
(M.A.D.E) tahun 1978. Tahun akademi 1991/1992 mengikuti Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) sejak tahun akademi 1994/1995
pindah mengikuti Program Studi Program Penyuluhan Pembangunan (PPN) Program
Pascasarjana IPB, dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1999.
Perjalanan hidup Pak Meneth
Ginting yang dilalui dalam menuju keberhasilan penuh dengan pahit dan getir. Orang
tua beliau adalah seorang petani subsisten namun berkat kerja keras, semangat
dan ketekunan, empat orang bersaudara dalam keluarga ini tiga diantaranya
menjadi Sarjana. “Tigan dan Laki mengutamakan pendidikan anak-anaknya, dengan
keyakinan melalui pendidikan akan mengangkat taraf hidup di masa mendatang”,
kata Pak Meneth Ginting, (Tigan sebutan untuk Ibunda dan Laki untuk Ayahanda
beliau).
Pada masa kuliah di Fakultas
Pertanian USU, Pak Meneth Ginting ingin hanya sampai Sarjana Muda, setelah itu
bekerja. Oleh karena adik-adik beliau juga sekolah dan membutuhkan banyak
biaya, sementara pendapatan keluarga terbatas. Untung saja pada saat itu ada
penerimaan petugas Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) sebagai petugas
lapang untuk Demonstrasi Massal Swa Sembada Bahan Makanan (Demas SSBM). Dari
seleksi yang sangat ketat hanya 6 orang saja yang diterima dan nomor satu
adalah Pak Meneth Ginting. Sejak itu beliau terus kuliah, mempersiapkan skripsi
sambil bekerja. Akhirnya, pada tahun 1966 Pak Meneth Ginting memperoleh gelar
Sarjana Pertanian dengan hasil yang sangat memuaskan.
Setelah tamat kuliah dan menjadi
Dosen Muda di Fakultas Pertanian USU, beliau menikah dengan Reh Malem br.
Sitepu (8 Agustus 1966) yang dikenalnya di arena perpeloncoan kampus. Dari perkawinan
yang harmonis dan berbahagia ini keluarga Pak Meneth Ginting dikaruniai tiga
orang putri dan satu orang, putra yaitu Dra. Pelita Hati Ginting, M.Si, Nana
Cahaya Hati Ginting, SH, dr. Suci Hati Ginting, M.Kes dan Yusuf Budi Baik
Ginting, ST, Aff. Semua putra-putri telah berkeluarga dan cucu Pak Meneth
Ginting saat ini 11 orang.
Pak Meneth Ginting sejak awal
menempatkan posisi istri sebagai mitra yang diagungkan. Baginya istri bukan
sub-ordinat melainkan sebagai pendamping, penolong dan sahabat yang setara
dengan laki-laki. Salah satu contoh kecil namun sangat berarti Pak Meneth
Ginting tidak pernah menyebutkan istilah untuk Sang Istri sebagai orang rumah,
(perempuan yang hanya mengerjakan pekerjaan domestik di rumah), sirukat nakan
(dalam Bahasa Karo dengan arti harfiah istri yang bertugas menyendokkan nasi)
atau istilah lain yang merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan. Pak
Meneth Ginting senantiasa menyebutkan istilah untuk istri adalah kemberahen
yang berarti perempuan yang diagungkan.
Namun pada tanggal 27 Juli 1997,
kemberahen : Dra. Hj. Reh Malem br Sitepu telah dipanggil Sang Pencipta, duka
menyelimuti seluruh anggota keluarga, sahabat dan teman sejawat. Namun keadaan
ini tidaklah membuat surut semangat keluarga Pak Meneth Ginting dalam menjalani
kehidupan. Dalam masa duka ini juga beliau harus segera menyelesaikan S3 di IPB
Bogor, menyiapkan proposal Disertasi, penelitian lapangan, tabulasi dan
pengolahan data, interpretasi hasil olahan data yang tentunya merupakan
pekerjaan yang cukup berat. Dengan tekat dan kerja keras akhirnya tugas
tersebut terselesaikan juga.
Setelah ± 3 tahun dalam
kesendirian, Pak Meneth Ginting memulai kehidupan baru dengan drg. Sofiani
Adelly MHA, wanita yang dipilih Sang Pencipta untuk mendampingi beliau dalam
menjalani kehidupan ini. Sampai sekarang kehidupan beliau dengan Oma (panggilan
kesayangan cucu-cucu dalam keluarga ini) terlihat harmonis dan berbahagia.
Anak-anak dan cucu-cucu secara
rutin mengunjungi beliau, demikian halnya dengan saudara-saudara Pak Meneth
Ginting, datang untuk melepas rindu, berbagi cerita dan saling menguatkan.
Ketika anak, cucu dan saudara silih berganti datang membuat hati beliau gembira
dan kegembiraan itu menjadi obat yang mujarab.
2. Pegangan Hidup
Ada beberapa pegangan Pak Meneth
Ginting yang dijadikan prinsip dalam menjalani kehidupan. Menurut beliau
prinsip ini sangat membantu dalam kehidupan nyata. Sebahagian prinsip ini
merupakan ajaran dari orang tua Pak Meneth Ginting.
a. Kerja Keras dan Kecukupan
Pak Meneth Ginting lahir 15 Juli
1940 setelah hampir setahun Perang Dunia Kedua (PD II) yang dimulai September
1939. PD-II membawa pemerintahan baru di Indonesia yaitu pemerintahan
penjajahan Jepang yang ternyata lebih buruk dari penjajahan Belanda. Pada zaman
itu menurut orang-orang tua, keadaan sangat parah, pakaian terbuat dari laklak
(kulit kayu) ataupun dari karung tepung goni dan makanan adalah nasi jagung
atau nasi ubi yaitu nasi dicampur jagung atau nasi dicampur ubi. Dampak PD II
ini cukup lama, setelah lebih 10 tahun, masih banyak orang memakai rotan
sebagai tali pinggang, sabun menggunakan lerak (buah yang berbusa bila
digosokkan ke kain) dan umumnya orang desa tidak pakai sepatu. Alas kaki yang
dipakai saat itu seperti selop terbuat dari kayu yang diraut dan ditambah tali
ban sebagai penahan yang disebut terompah.
Sewaktu kecil beliau memulai
pendidikan dasar yang dulu namanya Sekolah Rakyat di desa. Ke sekolah dengan
berjalan kaki, jarak cukup jauh (pulang pergi mencapai 10 km). Siswa
menggunakan gerip dan batu tulis kecil yang bisa dihapus sebagai pengganti buku
dan alat tulis. Gerip ditajami dengan cara mengasah ke batu, dan bila gerip
sudah pendek, dibuatkan sarung dari bambu kecil yang diukir. Kalau ada
pelajaran pendidikan jasmani..... main bola, dengan kaki ayam, (tanpa mengenakan
sepatu), bolanya adalah jeruk bali dan bermain di tanah lapang yang banyak
lalangnya. Bola jeruk bali ini dikejar, digiring, disepak dan kaki terasa
sakit, tetapi Meneth Ginting Kecil tidak peduli sebab nanti di rumah akan
diobati oleh Tigan dengan mengunyah sirih, dan setelah sirih lumat lalu
disemburkan pada bagian kaki yang sakit. Cairan sirih berwarna merah,
menyembuhkan rasa sakit pada betis dan kaki.
Selain bertani dengan pola yang
masih tradisionil, pada hari tertentu Tigan berdagang ke pekan. Interaksi
dengan orang-orang dari luar mampu merubah pola pikir Tigan. “Hari esok harus
lebih baik, dan hanya dapat diperbaiki dengan kerja keras”, ungkapan Tigan
kepada anak-anaknya. Tigan mendidik anak-anaknya agar mampu bertahan (survive)
dalam situasi yang paling sulit. Prinsip hidup yang diterapkan keluarga ini
adalah dalam hal kesederhanaan dan prinsip cukup. Tujuan hidup bukan hanya
untuk mengumpulkan kekayaan melainkan memenuhi kebutuhan hidup yang hakiki.
Enough is enough. Ketika memiliki uang jangan cepat-cepat dihabiskan dengan
membeli yang tidak perlu. Lebih baik ditabung untuk mengantisipasi kebutuhan
mendadak yang tidak kita sangka. Meskipun saat itu di kampung Pak Meneth
Ginting terdapat sumber daya yang relatif cukup, namun Tigan selalu mengingatkan
agar dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga tetap tersedia di masa mendatang,
karena orang lain juga membutuhkannya.
b. Tertarik pada Pembangunan
Masyarakat Desa
Tidak banyak orang yang tertarik
dengan pembangunan pedesaan. Padahal wilayah Indonesia didominasi oleh
pedesaan, bahwa sektor pertanian yang notabene di pedesaan memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan wilayah.
Pak Meneth dalam pembangunan
masyarakat desa terlihat dari pengabdian dan penelitian yang dilakukan.
Musyawarah Mufakat Pembangunan Desa (MMP-D), konsepsi beliau adalah salah satu
metode dalam pembinaan partisipasi. Pak Meneth Ginting telah menjual konsepsi
Musyawarah Mufakat Pembangunan Desa (MMP-D) kepada Pusat Penelitian dan
Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri tahun 1983 sebagai karya ilmiah pada
waktu beliau menjadi Ketua LPPM-USU.
Ide dari MMP-D : (1) Pembangunan
yang terpenting adalah pembangunan manusia (jiwa dan raga dalam lagu Indonesia
Raya) dan manusia yang terbanyak ada di desa. Jadi pembangunan desa sangatlah
penting, (2) Bahwa musyarakat desa yang paling tahu mengenai apa yang perlu
dibangun untuk desanya, (3) Bahwa musyawarah antar warga desa dan warga atas
desa adalah perlu untuk saling isi mengisi dalam pembangunan desa sehingga
tertampung aspirasi masyarakat desa dan pembangunan nasional, dan (4) Perlu
metode baru untuk musyawarah mufakat.
Metode MMP-D adalah penetapan
kesepakatan mengenai Pembangunan Desa : (1) Apa idaman bersama (2) Apa hambatan
dalam mencapai idaman (3) Apa usul atau saran untuk memecahkan persoalan
(menghalau hambatan untuk mencapai idaman) dan (4) Implementasi : Siapa yang
mengerjakan? (apa, dimana, kapan dan bagaimana).
Dalam musyawarah, setelah
fasilitator menjelaskan Idaman (yang rasional), apa yang diharapkan terjadi di
desa, hal yang mungkin untuk point (3) dan 4) di tahun mendatang. Lalu kepada
para peserta diminta menuliskan 3 Idamannya. Yang terpenting dari 3 Idaman
diajukan untuk didiskusikan disepakati (atau tidak), semua anggota musyawarah
mengajukan usulnya, tidak perlu dijelaskan panjang-panjang hanya dalam kalimat
pendek. Proses yang sama juga terhadap Hambatan, Usul dan Implementasi.
Di masa pemerintahan Orde Baru
yang mana pola pembangunan masih bersifat top-down, ide ini diuji coba untuk
menghasilkan Dokumen Strategi Pembangunan Kabupaten Daerah Tingkat II Karo
(1985) dan Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Karo (1985), namun dalam
implementasinya mendapat banyak kendala.
Catatan :
(1)
Konsep MMP-D yang merupakan Orasi Pengukuhan
Guru Besar Pak Meneth Ginting telah diterbitkan oleh Universitas Indonesia (UI),
Forum Innovasi UI No 6 Tahun 2003. Dan juga bagian dari Buku 4 USU Press, 2006.
(2)
Telah
terbit 3 buku buah tangan Pak Meneth Ginting sehubungan dengan MMP-D yaitu (1)
Idaman dan Harapan Masyarakat Kabupaten Karo, USU Press 1990, (2) Idaman
Masyarakat Desa Sekitar Danau Toba, Duta Azhar, Bappedaldasu dan Universitas
Karo Tahun 2008, (3) Idaman Dan Harapan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD),
Rumusan Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Kabupaten Pakpak Bharat
Universitas Quality, 2009.
Pengetahuan dan wawasan yang
dimiliki Pak Meneth Ginting tidak terlepas dari pendidikan tambahan yang pernah
diikuti baik dalam dan luar negeri. Pendidikan tambahan ini berkaitan dengan
permasalahan pembangunan pedesaan dan pembangunan wilayah. Pengalaman selama
menjadi Petugas Lapang Demonstrasi Massal Swa Sembada Bahan Makan (DEMAS-SSBM)
Sumatra Utara tahun 1964-1965 dan Staf Ahli Bimbingan Massal Swa Sembada Bahan
Makanan (Bimas) Sumatera Utara (Anggota Komando Tertinggi Operasi
Ekonomi-KOTOE) tahun 1965-1967 menempa pengalaman Pak Meneth Ginting dalam
bidang pembangunan masyarakat desa.
Bersama rekan-rekannya di
Fakultas Pertanian USU dan instansi lain Pak Meneth Ginting sudah
mempublikasikan banyak hasil penelitian berkaitan dengan persoalan pembangunan
pertanian dan masyarakat tani. Satu hal yang unik, dimana orang tidak terlalu
konsentrasi membahas pekarangan (halaman rumah), nilai ekonomis dan ekologis
pemanfaatannya maka Pak Meneth Ginting bersama Prof. DR. D.H. Penny menulis
hasil penelitiannya menjadi buku yang berjudul Pekarangan Petani dan Kemiskinan
(1984) diterbitkan Gadjah Mada University Press & Yayasan Agro Ekonomika.
Keberpihakan dengan kaum marginal
di pedesaan juga terimplikasi dari partisipasi Pak Meneth dan teman-temannya di
LPPM USU dalam pembentukan Bintarni (cikal bakal Bitra Indonesia). Dalam
tulisan Ir. Soekirman tentang Pak Meneth Ginting (dalam Buku 1) dikatakan,
“Dalam sejarah LSM yang sekarang banyak mengisi sejarah hidup saya, Pak Meneth
Ginting adalah tokoh yang tidak bisa dilupakan. Kedatangan orang-orang seperti
M.M. Billah, George Yunus Adicondro di Medan selalu bertemu beliau”. Ide
tentang LSM ini pertama kali dipelajari Pak Meneth Ginting di Philipina namun
belum bisa langsung diimplementasikan karena di masa pemerintahan Orde Baru
gerakan rakyat ini “masih jauh panggang dari api”.
c. Mencintai Orang Tua
Ternyata dalam membahagiakan
orang tua, Pak Meneth Ginting memiliki konsep yang sederhana. “Tanyakan kepada
orang tua kita apa yang mesti kita perbuat supaya mereka bahagia. Apa Idaman
dan Harapannya. Orang tua bijak tidak pernah menginginkan uang dan kekayaan,
melainkan perhatian dan kasih sayang dari anak-anak dan cucu-cucunya”, kata
beliau.
Ketika Laki, Ayahanda Pak Meneth
Ginting mulai sakit-sakitan, atas persetujuan keluarga, mereka tinggal bersama-sama
di rumah beliau, di Jl. Sumarsono 26 Kompleks Kampus USU. “Mammy dulu (begitu
panggilan Pak Meneth Ginting kepada kemberahen/istri beliau : Dra. Hj. Reh
Malem br Sitepu), sangat perhatian kepada Tigan dan Laki, sehingga mereka betah
tinggal di rumah ini”. Kedua orang tua Pak Meneth Ginting, Laki dan Tigan,
dimakamkan di pemakaman keluarga di Juma Ciger Berastagi dan secara rutin
dikunjungi oleh Pak Meneth Ginting dan keluarga.
Bahagiakan orang yang kita kasihi
sekarang ! Bukan nanti. Dalam sepucuk surat Pak Meneth Ginting kepada anaknya
dikatakan, “Bila Ananda ingin membahagiakan orang tua, lakukan sekarang. Karena
bahagia itu perlukannya sekarang bukan nanti. Jangan punya pikiran, sekarang
bekerja keras setelah berhasil baru membahagiakan orang tua. Tomorrow... Nobody
knows what will happen.”
d. Kata-kata Bijak
Secara umum suku-suku di
Indonesia memiliki slogan salah satunya kata-kata bijak yang mampu memberikan
motivasi kepada manusia untuk hidup lebih baik. Di masyarakat Karo ada banyak
kata-kata bijak berupa nasihat yang disampaikan orang tua kepada anak-anaknya.
Kata-kata bijak yang selalu diungkapkan Pak Meneth Ginting dalam berinteraksi
dengan keluarga antara lain La Lolo, Erpaksa-paksa (kedua kata ini berasal dari
Bahasa Karo) dan Waktu akan berlalu, kenangan indah akan tertinggal.
• La Lolo
La berasal dari kata Ula/Ola yang
berarti jangan, sedangkan lolo artinya terbengkalai. La Lolo mengandung
pengertian suatu ajakan untuk tidak membuat sesuatu menjadi terbengkalai atau
ajakan menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
• Erpaksa-paksa
Semua ada masanya ada waktunya
(dalam bahasa Karo disebut epaksa-paksa). Ada masa gemilang dan keterpurukan.
Sama halnya dengan fungsi roda dalam menjalankan aktivitas membawa beban,
berputar, di bawah, kadang di atas, terus bergulir sampai pada tujuan tertentu.
Pada saat roda berada di atas, tidaklah membuat kita sombong dan pongah, karena
seiring perputaran waktu posisi pasti akan berubah.
Erpaksa-paksa. Semua ada masanya.
Pernyataan ini sering diucapkan Pak Meneth Ginting dalam pembicaraan pada
pertemuan keluarga, ngobrol dengan kolega, sahabat dan mahasiswa. “Bila kita
menyadari kenyataan hidup ini, ada masa pahit dan getir, ada masa gemilang dan
kebahagiaan, dan bila dijalani dengan rasa syukur, kita akan tetap merasa
bahagia”.
e. Waktu Akan Berlalu Kenangan
Indah Akan Tertinggal
Ini adalah judul buku Pak Meneth
Ginting yang berisikan surat-surat beliau kepada anak-anak ketika menjabat
sebagai Bupati Karo 1985–1990 (Buku 2). Secara rutin beliau berkomunikasi
dengan anak-anak melalui surat yang isinya tentang rutinitas pekerjaan seperti
dalam menjalankan administrasi pemerintahan di kantor, membangun masyarakat
desa, kunjungan kerja ke dalam dan luar negeri dan tetap saja ada terselip
pepatah dan nasihat bijak yaitu waktu akan berlalu kenangan indah akan
tertinggal.
Waktu yang sudah berlalu telah
meninggalkan kenangan yang indah, oleh sebab itu dalam setiap
tindakan/perbuatan sebaiknya meninggalkan kesan yang baik sehingga dapat
menjadi kenangan teladan bagi orang lain yang melihat atau mengetahuinya.
***************
Tulisan di atas adalah bahagian pertama dari buku : CAWIR, PURNABAKTI GURU BESAR Prof. DR. Ir. H. Meneth Ginting,M. A. D. E.
Selengkapnya bisa dibaca dalam buku :
CAWIR
PURNABAKTI GURU BESAR
Prof. DR. Ir. H. Meneth Ginting,
M. A. D. E.
(1940-2010)
USU Press
Art Design, Publishing &
Printing
Gedung F, Pusat Sistem Informasi
(PSI) Kampus USU
Jl. Universitas No. 9
Medan 20155, Indonesia
Telp. 061-8213737; Fax
061-8213737
usupress.usu.ac.id
© USU Press 2009
Hak cipta dilindungi oleh
undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh
bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari
penerbit.
ISBN 979 458 429 0
Perpustakaan Nasional: Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Dicetak di Medan, Indonesia
Comments