Dr. Mohammad Amir: Tragedi Seorang Tokoh Pejuang Gerakan Kebangsaan
Indonesia Di Sumatera Timur
Oleh : Harsja W. Bachtiar
(Universitas Indonesia)
(Dikutip dari laman : Sejarahkita.blogspot.com)
Riwayat yang disampaikan di bawah
ini adalah riwayat seorang pemuda Minangkabau yang bejiwa kebangsaan Indonesia
dan dalam masa gerakan kebangsaan menjadi seorang cendekiawan dan tokoh politik
di daerah Sumatera Timur bahkan ikut mewakili Sumatra dalam mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan meletakkan
dasar-dasar negara Republik Indonesia di Jakarta. Akan tetapi akhirnya, antara
lain, karena istrinya orang Belanda dan dia sendiri kemudian tidak dapat
mengendalikan semangat perjuangan menggelora dari penduduk yang ikut
dibangkitkannya dalam usaha mengadakan perombakan tatanan masyarakat di daerah
Sumatera Timur, tokoh ini terpaksa meminta perlindungan, pada pihak lawan,
penguasa Inggris dan Belanda di Medan, yang dapat ditafsirkan sebagai
pengkhianatan terhadap bangsanya.
Mohamad Amir lahir tanggal 27
Januari 1900 sebagai anak tunggal sepasang suami-istri yang berdiam di Nagari
Talawi, suatu perkampungan di pinggir sungai Ombilin dekat kota pertambangan
batubara Sawahlunto di Sumatera Barat. Ayahnya ialah M Joenoes Soetan Malako,
yang meninggal di Talawi tahun 1940, sedangkan, ibunya yang bagi orang
Minangkabau, sesuai dengan adat yang menentukan keanggotaan dalam keluarga atas
dasar garis keturunan ibu, adalah lebih penting daripada ayahnya, ialah Siti
Alamah yang meninggal di Jakarta, 1958. Siti Alamah, ibunya, adalah anggota
dari Suku Mandaliko di Nagari Talawi, sehingga Moh. Amir pun adalah juga
anggota Suku Mandaliko.
Pada waktu masih berusia anak
sekolah, M. Amir dibawa oleh abang ibunya, Mohammad Jaman gelar Radjo Endah,
seorang guru yang dipindahkan ke Palembang, ke kota di tepi sungai Musi. Selain
membawa istri, anak-anaknya, dan M. Amir, guru Jaman juga membawa dua kerabat
muda lain yang kurang lebih seusia dengan M. Amir, yaitu Mohamad Jamin dan
Djamaloedin yaitu adik sebapak dari guru Jaman tapi berlainan ibu. Ayah guru
Jaman bernama Osman gelar Baginda Chatib dan mempunyai beberapa istri. Guru Jaman,
yang lahir tahun 1878, adalah anak dari istri yang bemama Hadaniah; Moh. Jamin,
yang lahir tahun 1903, adalah anak ketiga dari istri bernama Saadah; sedangkan
Djamaloedin, yang lahir tahun 1904, adalah anak tunggal dari istri yang bemama
Sadariah.
Di Palembang M. Amir belajar
sebagai siswa Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar yang
diselenggarakan terutama bagi anak-anak pribumi, tetapi sebelum tamat HIS di
Palembang, M. Amir pindah ke Batavia (kini: Jakarta) di sana ia meneruskan
pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS), jenis sekolah dasar
yang diselenggarakan terutama bagi anak-anak Belanda, sampai tamat sekolah
dasar tahun 1914.
M. Amir meneruskan studinya di
jenjang pendidikan menengah tingkat pertama pada Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), di sana ia tamat belajar tahun 1918 untuk kemudian
melanjutkan pendidikannya pada School tot Opleiding van Indische Artsen
(Stovia), sekolah pendidikan calon dokterr bagi pemuda-pemuda pribumi, juga di
Batavia. Tanggal 8 Desember 1917 di Batavia seorang siswa di STOVIA yang
berasal dari Sumatra Timur, Tengkoe Mansoer, bersama M. Amir dan sejumlah siswa
lain yang berasal dari pulau Sumatra mendirikan suatu perhimpunan pemuda yang
berasal dan pulau Sumatra, perhimpunan yang dinamakan Jong Sumatranen-Bond
(JSB), mengikuti contoh Jong Java, perhimpunan pemuda yang berasal dari Jawa
yang telah didirikan dua tahun lebih dahulu. Para pemuda Sumatra inipun
bergabung untuk bersama-sama berusaha mempersiapkan diri sebagai penggerak
upaya memperbaiki taraf kehidupan penduduk di daerah asal mereka.
Dalam waktu satu tahun, menurut
majalah Pemoeda Soematra yang mulai diterbikan oleh Pengurus JSB sejak 1918
dengan pemuda M. Amir sebagai redaktur, jumlah anggota perhimpunan ini telah
menjadi sekitar 500 orang yang tergabung dalam afdeeling (cabang) perhimpunan
di Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, Purworejo, Padang dan Bukittinggi
dengan cabang di Jakarta serta Padang yang paling banyak anggotanya.
M. Amir, tergerak oleh
surat-surat kabar dan majalah-majalah dalam bahasa Belanda maupun bahasa Melayu
yang tersedia di STOVIA sebagai bahan bacaan bagi para siswanya, juga menulis
karangan-karangan yang diterbitkan dalam Warta Hindia. Pemuda im memperoleh
bimbingan dalam mengembangkan bakat sebagai pengarang dari seorang penerbit
yang juga berasal dari Sumatra Barat bernama Landjanoen gelar Datoek
Temenggung, penerbit majalah bulanan Soeloeh Paladjar, majalah Tjahaja Hindia,
dan kemudian harian Neratja.
Pada rapat tahunan pertama dari
JSB, yang diselenggarakan di Batavia tanggal 26 Januari 1919, pemuda T. Mansoer
terpilih sebagai Praeses (Ketua) dan pemuda M. Amir sebagai Wakil Praeses. A.
Moenier Nasution teipilih sebagai Sekretaris 1; Bahder Djohan sebagai
Sekretaris 2; Marzoeki sebagai Bendaharawan; sedangkan Abdullah Zakir, Achmad
Djonap, Jasin dan Nazief terpilih sebagai Anggota Pengurus.
Kongres pertama JSB diadakan di
Padang, untuk menarik perhatian umum pada kehadiran perhimpunan pemuda itu di
pulau asal para anggotanya, pada tanggal 4, 5 dan 6 Juli 1919. Amir sebagai
Wakil Praeses JSB, bersaina Anas, Sekretaris 1; Marzoeki, Bendahara; dan Bahder
Djohan diutus ke Padang untuk memimpin kongres, sedangkan Praeses (Ketua) JSB
sendiri, Tengkoe Mansoer, tidak dapat pergi menghadiri kongres tersebut karena
sedang menghadapi ujian semi-arts di STOVIA, sekolahnya. Dalam kongres M. Amir
tampil sebagal pemimpin utama.
Tidak semua golongan penduduk
menerima baik kehadiran perhimpunan pemuda yang baru ini. Dalam suatu editorial
surat kabar Oetoesan Malajoe tanggal 18 Agustus 1919, misalnya, penulis
editorial tersebut menyatakan harapannya agar Residen Belanda yang baru
diangkat menghentikan ulah ("gedoe") Kaoem Moeda dan anak-anak
sekolah Jong Sumatranenbond yang berani-beraninya menyelenggarakan suatu
kongres; membicarakan masalah-masalah politik yang mereka belum fahami; dan
menghasut orang agar benci pada orang-orang Belanda dan orang-orang lain yang
mempertahankan orang Belanda.Dalam editorial suratkabar yang sama tanggal 25
Agustus 1919 pemuda- pemuda STOVIA yang tergabung dalain JSB dikecam sebagai
kaum muda yang menginginkan perubahan dalam adat agar mereka dapat bebas
bergaul dan berjalan-jalan dengan para gadis. Supaya bagi pembaca lebih jelas
lagi apa yang dimaksud oleh penulis, ia menampilkan contoh yang dianggap tidak
dapat dibenarkan, yaitu adanya seorang gadis pribumi ("inlandsche
nona") bernama Saadah yang melanggar adat dengan berjalan malam bersama
pemuda Moh. Tahir. Saadah adalah seorang guru dan redaktur majalah wanita Soeara
Perempoean.
Penulis editorial di atas juga
mengeluh bahwa, meskipun pemuda-pemuda JSB ini masih siswa sekolah, mereka
ingin disebut engku ("angku") yang menurut penulis adalah sama dengan
tuan ("meneer"); bahwa mereka menghendaki suatu revolusi agar mereka
menjadi "meneer" presiden republik. Sekarangpun, kata penulis dengan
geram, sudah ada siswa-siswa yang menjadi "angkoe" seperti angkoe
Amir dan angkoe Hasan.
Sebagai tanda peringatan
diadakannya Kongres Pertama JSB di Padang, Kaoem Moeda di kota ini, yang
tergabung dalain Sarikat Oesaha, mendirikan suatu tugu peringatan.Dalam rapat
umum para anggota (Algemeene Ledenvergadering) Jong Sumatranen-Bond, atau perhimpunan
Pemoeda Soematra, yang diadakan di gedung Loge di Weltevreden, Jakarta, pada
tanggal 8 Februari 1920, M. Amir terpilih menjadi Ketua menggantikan dr.
Tengkoe Mansoer, yang telah lulus ujian STOVIA. Anggota lain dari pengurus JSB
yang diketuai oleh Amir terdri dari Abdoel Moenier Nasution, Wakil Ketua;
Bahder Djohan, Sekretaris 1; Ferdinand Lumban Tobing, Sekretaris 2; Mohammad
Hatta, Bendahara I; Boerhanoeddin, Bendahara II; serta Jassien, Nazief, A.
Zakir, Achmad Djonap dan M. Anas Sr., Anggota.
Pada waktu itu jumlah anggota JSB
adalah sekitar 195-an, yaitu sekitar 150 pemuda di Jakarta, 13 di Sukabumi, 32
di Bogor, 22 di Serang dan 80 di Padang. Mereka adalah siswa di Koning Willem
III School (KWS), Rechtsschool (Sekolah Hukum), STOVIA, Hoogere Burgerschool
(HBS), Handelsschool (Sekolah Dagang) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO).
Pemuda M. Amir sendiri menulis
berbagai karangan dalam bahasa Belanda, antara lain tentang karya sastra
Belanda rangkaian Mathilde ciptaan Jacques Perk dan tentang Multatuli, yang
Akhir ditampilkan sebagai penyiar pemikiran etika dan pejuang politik dengan
pena, serta berbagai landasan untuk menggugat penguasaan kolonial.
Sebagai mahasiswa yang berasal
dari Sumatra Barat tapi tinggal di suatu masyarakat perkotaan yang merupakan
tempat pertemuan kebudayaan Asia, atau kebudayaan Timur, dan kebudayaan Eropah,
atau kebudayaan Barat, M. Amir tertarik pada pemikiran-pemikiran kaum Theosofi.
Orang-orang yang tergabung Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang dicipta
oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang wanita bangsawan Rusia, dan Henry Steel
Olcott, seorang ahli hukum dan penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan
yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan Tuhan
melalui ajaran-ajaran kebatinan, seperti karma dan reinkarnasi; menyatukan
sekalian agama; dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan. Bersama pemuda
Mohammad Hatta, Djamaloedin Adinegoro, Mohamad Jamin dan Bahder Djohan, M. Amir
menjadi anggota perkumpulan Dienaren van Indie (hamba-hamba Hindia), suatu
perkumpulan Theosophie yang diselenggarakan oleh sejumlah penganut Belanda di
Batavia. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada waktu itu mereka
mencantumkan huruf "ID" di belakang narna mereka masing- masing.
Dalam tahun berikutnya, 1921,
Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk meneruskan studinya di Nederlandsche
Economische Hoogenschool (Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda) di Rotterdam,
sehingga sejak 2 Juli ia digantikan sebagai Bendahara I JSB oleh Bahder Djohan.
Dalam pengurus baru JSB, yang tetap diketuai oleh M. Amir, terdapat juga F.
Tobing, Wakil Ketua; Boerhanoedin, Sekretaris I; M. Hoesin, Sekretaris II;
Djalel, Bendahara 2; serta Emma Jahja, Azir, Anas, Nazief, Dahlan Alamsjah, dan
Adam Bachtiar sebagai angoota.
Tahun 1922 M. Amir diganti
sebagai Ketua JSB oleh Bahder Djohan, yang juga mengambil alih tanggung jawab
sebagai ketua Komisi Redaksi majalah Jong Sumatra.Tahun 1923 diadakan Lustrum
Pertama, peringatan hari lahir kelima, JSB di Jakarta, di sana pemuda Mohammad
Jamin menyampaikan prasaran berjudul "De Maleische Taal in het verleden,
heden en in de toekomst" (Bahasa Melayu di masa lampau, kini dan di masa
depan), yang meletakkan dasar dijadikannya bahasa Melayu kemudian menjadi
bahasa persatuan bangsa Indonesia, bahasa Indonesia. Setelah tamat belajar di
STOVIA, Jakarta, tahun 1924, M. Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan
belajar di negeri Belanda dengan beasiswa dari perkumpulan Theosophie.
Antara tahun 1924 dan 1928 M.
Amir belajar sebagai mahasiswa yang memusatkan perhatian pada pengkajian dalam
bidang psikiatri (ilmu penyakit jiwa) di Fakultas Kedokteran, Universitas
Utrecht, di Utrecht, Belanda.
Tahun 1925 M. Amir terpilih
menjadi Komisaris Pengurus Indonesische Vereeniging di Belanda, yang sejak 11
Januari 1925 dinamakan Perhimpunan Indonesia, di bawah Soekiman Wirjosandjojo
sebagai Ketua. Anggota Pengurus yang lain terdiri dari A.Z. Mononutu, Wakil
Ketua; Soerono, Sekretaris I; Soenarjo, Sekretaris II; Mohammad Hatta,
Bendahara I; Mohammad Nazief, Bendahara II; Boediarto, Komisaris; dan Mohammad
Joesoef, Komisaris.
Tahun 1928 M. Amir tamat belajar
di Fakultas Kodokteran, Universitas Utrecht, dan oleh sebab itu berhak
menyandang gelar Arts dan huruf Dr. di depan nama. Ia kembali ke Jakarta dan
menikah dengan C.M. (Lien) Fournier, kemenakan yang cantik dari Ir. F.L.P.G.
Fournier, pensiunan Insinyur Kepala (Hoofdingenieur) Pos, Telegraf dan Telepon
dan Ketua Gerakan Theosophie di Hindia Belanda.Pada tahun yang sama, Moh.
Jamin, kerabat M. Amir yang masih belajar sebagai mahasiswa di
Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta, terpilih menjadi Ketua
Pengurus Pusat Jong Sumatranenbond.
Selain bekerja sebagai psikiater,
Dr. M. Amir juga menjadi pengarang dan budayawan yang terkemuka. Ia banyak
menulis karangan yang, antara lain, dimuat dalam majalah budaya Poedjangga
Baroe, di sini ia menentang gagasan Soetan Takdir Alisjahbana yang
mempropagandakan Westernisasi, meskipun gaya hidupnya sendiri sangat merupakan
gaya hidup orang Eropah.Tahun 1934 Dr. M. Amir pindah ke Medan sebagai dokter
pemerintah. Djamaloedin Adinegoro, kerabat dari Talawi yang lebih muda empat
tahun dan atas saran penerbit Landjoemin gelar Datoek Toemengoeng juga
menggunakan nama Adinegoro supaya tulisan-tulisannya dibaca oleh lebih banyak
pembaca, sudah berada di Medan sebagai redaktur Pewarta Deli sejak 1931.
Dr. M. Amir dan Ny. C.M.
Amir-Fournier memperoleh seorang putra, Anton (Tony) Amir, dan seorang putri,
Anneke Amir. Keduanya kemudian, pada akhir tahun 1950-an, menjadi dokter di
Utrecht dan tetap berdiam di Utrecht.
Tahun 1937 Dr. M. Amir diangkat
menjadi dokter pribadi dari Toeankoe Machmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah
(1893-1948), Sultan Langkat, ketika Sultan ini curiga bahwa ada yang hendak
meracuninya. Tahun 1945 Dr. M. Amir sekeluarga pindah berdiam di Tanjung Pura,
ibukota Kesultanan Langkat.Dalam bulan Agustus 1938 Djamaloedin Adinegoro
terpilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Medan dan menjadi
satu-satunya orang pribumi yang menempati jabatan wethouder.Tahun 1940 kumpulan
karangan Dr. M. Amir diterbitkan di Medan dengan judul Boenga Rampai.Pada akhir
tahun 1942 Dr. M. Amir diberitakan mengalami serangan pendarahan otak
(Apoplexie).Ketika dalam Perang Durna II tentara Jepang mengalahkan Belanda di
kepulauan Indonesia dan juga menduduki Sumatera. Pulau ini, bersama dengan
semenanjung Malaya, ditempatkan di bawah kekuasaan Tentara Ke-25. Kawasan ini
dianggap oleh Jepang sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis karena
letaknya dan sebagai sumber bahan mentah, terutama minyak, karet dan timah.
Bulan April 1943 daerah Sumatra dipisahkan dari semenanjung Malaya dan sejak
itu Tentara Ke-25 hanya menguasai Sumatra.
Salah satu badan yang didirikan
tanggal 28 November 1943 oleh pemerintah militer Jepang untuk mendukung
usaha-usahanya di daerah Sumatra Timur adalah Badan Oentoek Membantoe
Pertahanan Asia (BOMBA). Dr. M. Amir menjadi anggota dan kemudian pembicara
utama dari BOMBA di Langkat, yang beranggotakan baik tokoh-tokoh kerajaan
maupun tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia.Dalam masa pendudukan Jepang
itu Dr. M. Amir, yang beristri orang Belanda, juga mengadakan hubungan erat
dengan tokko-ka (polisi politik Jepang).
Tanggal 14 Agustus 1945 Mr. Teuku
Moh. Hassan dan Dr. M. Amir, yang diundang untuk menghadiri sidang-sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai wakil dari penduduk di Sumatra
atas usul Drs. Moh. Hatta, pergi ke Jakarta melalui Singapura, di sana mereka
bertemu dengan rombongan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Dr. Radjiman Wediodiningrat
yang baru kembali dari kunjungan menghadap Marsekal H. Terauchi, Panglima
Angkatan Bersenjata Jepang di Wilayah Selatan, di Dalat, Indo China. Mereka
terbang bersama dengan menggunakan pesawat pembom Jepang ke Jakarta. di sana
Mr. Abdoel Abbas, Ketua Shu Sangi Kai Lampung, bergabung dengan Mr. Teukoe M.
Hassan dan Dr. M. Amir mewakili Sumatra dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Bersama Mr. T.M. Hasan, Dr. M.
Amir atas nama Sumatra menghadiri sidang persiapan naskah proklamasi
kemerdekaan Indonesia dan kemudian pukul 10:00 tanggal 17 Agustus 1945 ikut
menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama rakyat Indonesia.
Keesokan harinya, tanggal 18
Agustus Dr. M. Amir menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang meletakkan dasar-dasar dari negara baru yang sehari sebelumnya dinyatakan
merdeka, antara lain, dengan mensyahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang kini dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945;
memilih Ir. Soekamo sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden Negara Republik Indonesia; serta memutuskan bahwa pekerjaan Presiden
untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia
(KNI).Tanggal 19 Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan
pembagian wilayah negara Republik Indonesia dalam 8 propinsi. Sumatra dijadikan
suatu propinsi. Mr. Teuku Mohammad Hassan, yang sebelum Jepang menduduki
Sumatra bekerja di Kantor Gubemur Sumatra diangkat menjadi Gubernur Propinsi
Sumatra dengan Medan sebagai ibukota propinsi.
Dalam sidang PPKI yang ketiga dan
terakhir, yang diadakan tanggal 22 Agustus, Panitia tersebut mendirikan Partai
Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara; Komite Nasional Indonesia (KNI)
sebagai dewan perwakilan rakyat di pusat dan pada jenjang-jenjang kewilayahan
yang lebih rendah; dan Badan Keamanan Rakjat sebagai angkatan bersenjata
negara.
Tanggal 23 Agustus Mr. T. Moh.
Hassan dan Dr. M. Amir terbang kembali ke Medan dengan salah satu pesawat
Jepang terakhir yang diizinkan terbang oleh Sekutu yang telah berhasil
mengalahkan Jepang. Di Medan kedua tokoh ini tidak menyebarluaskan informasi
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jakarta berkenaan dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.
Tanggal 5 September ditetapkan
pembentukan suatu Kabinet Presidentiil di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang
antara lain beranggotakan Dr. Moh. Amir sebagai Menteri Negara bersama dengan
Wachid Hasjim, Mr.R.M. Sartono dan R. Oto Iskandar Dinata yang masing-rnasing
juga menjadi Menteri Negara.Tanggal 17 September sekelompok aktivis politik
mengunjungi Dr. M. Amir di rumahnya di Tanjung Pura untuk mendesak Dr. Amir,
mengingat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan untuk menghindari upaya
Belanda untuk kembali berkuasa di Sumatra, agar mengumumkan kemerdekaan
Indonesia juga di Sumatra.
Hampir dua minggu sesudah
Proklarnasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta dan seminggu setelah Mr.
T. Moh. Hassan dan Dr. M. Amir kembali di Medan dari kunjungan ke Jakarta,
dalam suatu pertemuan dengan sejumlah pemuda di Jl. Ampelas, di sana terjadi
pembicaraan yang berapi-api. Mr. T. Moh. Hassan mengungkapkan bahwa sebenarnya
Indonesia sudah dinyatakan merupakan bangsa dan negara yang merdeka.
Pada tanggal 3 Oktober Pemerintah
Negara Republik Indonesia di Sumatra, di bawah pimpinan Gubemur Mr. Teukoe Moh.
Hassan, dengan resmi mulai menyelenggarakan pekerjaan pemerintahan. Dan tanggal
6 Oktober Gubemur Hassan mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR).Tanggal 17 Oktober Gubemur Sumatra, Mr. T. Moh. Hassan menyatakan
kesediaan bekerjasama dengan tentara Sekutu dalam pelaksanaan tugas Sekutu,
yaitu melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tahanan mereka, tapi
tidak membenarkan Belanda kembali ke Sumatra dan mengganggu keamanan dan
ketentraman umum.
Dalam pada itu Belanda berusaha
kembali berkuasa di Medan dan mengikuti tentara Inggris mendarat di Sumatra
Timur. Tanggal 19 Oktober tentara Inggris di bawah piinpinan Brig.Jen T.E.D.
Kelly mendarat di Belawan dan dengan diikuti oleh pejabat-pejabat Netherlands
Indies Civil Administration (NICA), pejabat-pejabat Belanda yang hendak kembali
berkuasa di bekas tanah jajahannya bergerak ke Medan. Komandan tentara Inggris,
Kelly, segera memerintahkan sekalian penduduk yang bersenjata menyerahkan
senjata mereka masing-masing kepada tentara Sekutu, tindakan sangat tidak
bijaksana yang mengakibatkan kemarahan para pemuda pejuang kemerdekaan yang
tentu saja tidak menyerahkan senjata mereka.
Tanggal 26 November Dr. Amir
Mendampingi Gubemur Mr. T. Moh. Hassan bersama Mr. Mohammad Joesoef dan Mr.
Luat Siregar, sebagai wakil Pemerintah R.I. di Sumatra, mengadakan pertemuan di
Grand Hotel, Medan, dengan pihak Sekutu yang terdiri atas Let. Jen. Sir Philips
Christison, Panglima Tentara Sekutu di Indonesia; May. Jen. Chambers, Panglima
Tentara Sekutu di Sumatra dan Brig. Jen. Kelly, Panglima Tentara Sekutu di
daerah Medan. Gubemur Teuku Hassan menjelaskan bahwa rakyat di Sumatrapun
menghendaki kemerdekaan 100% dan bahwa Sumatra, Jawa dan daerah-daerah lain di
Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam bulan Desember Dr. Amir
diangkat menjadi Wakil Gubemur Sumatra yang mewakili Gubemur bilamana Mr. T.
Moh. Hassan tidak berada di Medan.Tanggal 13 Desember Dr. Amir, yang menerima
tawaran Inggris untuk berkunjung ke Jawa dengan pesawat terbang militer
Inggiis, bersama-sama dengan Mr. Luat Siregar, Ketua Komite Nasional Indonesia
(KNI) Medan; Djamaludin Adinegoro, wakil Pemerintah di Bukittinggi; dan Dr.
Djamil, Ketua KNI Padang, tiba di Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan
tokoh- tokoh Republik seperti Ir. Soekarno, Sutan Sjahrir dan Mr. Amir
Sjarifoedin. Mereka menyatakan bahwa Sumatra sepenuhnya berada di belakang
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Rombongan Dr. Amir juga
mengadakan perjalanan keliling di Jawa untuk melihat keadaan umum di bawah
Pemerintah Republik Indonesia di pulau ini.
Sehari sesudah rombongan Dr. M.
Amir berangkat ke Jakarta, tanggal 14 Desember, di Medan sendiri terjadi
berbagai pertempuran lokal antara unsur-unsur Tentara Inggris dan Belanda di
satu pihak dan para pembela kemerdekaan Indonesia di lain pihak sebagai akibat
provokasi tentara Inggris dan Belanda.Sebelum rombongan kembali ke Medan, pada
tanggal 29 Desember, Presiden Ir. Soekarno mengadakan jamuan perpisahan dengan
para utusan Pemerintah di Sumatra, yaitu: Dr. Amir, Mr. Luat Siregar, Dr.
Djamil dan Adinegoro. Jamuan makan dihadiri juga oleh wakil Presiden Drs. Moh.
Hatta; Menteri Kesehatan Dr. Dr. Daarmasetiawan; Jaksa Agung Mr. Kasman
Singodimedjo; Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringgodigdo; Mr. Sartono.
Dalam pidatonya, Dr. Amir
menyatakan terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk meninjau Jawa
Tengah dan Jawa Tiinur. Kunjungan rombongan menyakinkan para anggota rombongan
bahwa revolusi didukung oleh seluruh rakyat di Jawa, hal mana merupakan
kekuatan yang amat besar. Kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana
dilihat oleh para anggoota rombongan nyata sekali terwujud di Jawa, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga menghilangkan kebimbangan rakyat di
Sumatra bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak dapat mengendalikan rakyat di
seluruh wilayah Indonesia.
Tanggal 3 Januari 1946 Dr. Amir
kembali ke Medan dari Jakarta dan mengumumkan bahwa Pemerintah Republik
Indonesia menganggap Sumatra secara politik dan ekonomi terlepas dari Jawa dan
bebas dan mengadakan tindakan apa saja asal tidak bertentangan dengan
kepentingan Republik, pernyataan yang kemudian harus diralat oleh Gubemur
Sumatra, Mr. T. Hasan, yang menyatakan dengan tegas bahwa Pemerintah Sumatra
tidak melakukan kebijaksanaan yang berbeda daripada yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat di Jawa.
Setelah kembali dari perjalanan
ke Jawa, atas usul Dr. Amir, Sultan Langkat mengundang para Sultan di daerah
Sumatra Timur pada suatu konferensi di Tanjung Pura untuk membicarakan masalah
kerajaan. Pada konferensi ini Dr. Amir menjelaskan bagaimana baiknya hubungan
kerjasama antara Sultan Yogyakarta dan Pemerintah Republik Indonesia dengan
himbauan agar hubungan ini dijadikan contoh oleh para Sultan di daerah Sumatra
Tirnur. Konferensi sepakat untuk mengadakan Komite Nasional Indonesia (KNI)
setempat, sebagai wujud kedaulatan rakvat, dan bahwa para Sultan akan
menyelengarakan pemerintahan dengan sebanyak mungkin bekerja sama dengan KNI
setempat.
Tanggal 3 Februari Dr. Moh. Amir,
sebagai Wakil Gubemur Sumatra, menghadiri pertemuan Gubernur Sumatra Mr. Teuku
Moh. Hassan; Residen Sumatra Timur Tengku Hafaz, Walikota Medan Mr. Muhammad
Jusuf dan pejabat-pejabat lain dari Pemerintah Republik Indonesia di Sumatra
dengan para Sultan, Raja dan Sibayak di Gedung KNI Sumatra Timur di Sukamulia.
Di antara para Sultan hadir Sultan Langkat, Sultan Siak, Sultan Deli. Sultan
Asahan, Putera Mahkota Serdang, Raja Indrapura. Raja Bilah, Raja Siantar, Raja
Suka, Raja Panei, Raja Purba, Yang Dipertuan Kualuh dan Leidong, dan
sebagainya. Sesudah Gubernur menyampaikan pidatonya, berbicara Sultan Langkat
atas nama Sultan dan para Raja. Kemudian berbicara Dr. Amir yang menjelaskan
bahwa masalah Indonesia sekarang bukan lagi hanya masalah kita dan Belanda
saja, melainkan telah menjadi masalah internasional, Dunia bersimpati pada
perjuangan Indonesia dan Indonesia tidak segan-segan mengajukan masalah kemerdekaannya
kepersidangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dr. Amir juga menjelaskan bahwa
di Jawa Susuhunan Surakarta, Sultan Yogyakarta, Pangeran Pakualam dan Pangeran
Mangkunegoro telah menyesuaikan susunan pemerintahan di daerah masing-masing
dengan tuntutan kedaulatan rakyat. Pada akhir pidatonya, ia mengatakan bahwa
"baik ditilik dari sudut politik, diplomasi maupun militer, kedudukan
Republik Indonesia adalah sungguh kuat dan tangguh". Untuk memberi
penjelasan tentang perubahan besar yang sedang terjadi berkenaan dengan
hubungan antara pemerintah dan rakyat di Indonesia di daerah-daerah lain di
pulau Sumatra, pada tanggal 6 Februari Gubemur Mr. T. Moh. Hassan, beserta
rombongan yang diangkut dengan 7 mobil, berangkat dari Medan lewat Brastagi dan
Sumatra Tengah menuju Sumatra Selatan. Dr. Moh. Amir tetap tinggal di Medan
sebagai pejabat Gubemur.
Tanggal 27 Februari sampai 2
Maret Dr. Amir, yang didampingi oleh Joenoes Nasution, Ketua Partai Komunis
Indonesia (PKI) Sumatra Tiinur, mengadakan perjalanan keliling naik kereta api
istimewa untuk memberi penjelasan mengenai keadaan umum kepada khalayak ramai
dan membangkitkan semangat perjuangan di Pematang Siantar, pusat Persatuan
Perjuangan, dan Tebing Tinggi, Kisaran dan Tanjung Balai, ibu kota Kesultanan
Asahan.
Maka, tanggal 3 Maret
"Revolusi Sosial", yang, dipimpin oleh unsur-unsur radikal dari
Persatuan Perjuangan, yang terdiri dari aktivis-aktivis Pesindo, PNI, dan PKI.
pecah di Sumatra Timur, terutama di Sunggal (Deli), Kabanjahe (Karo), Tanjung
Balai (Asahan) dan Pematang Siantar.Banyak anggota kaum bangsawan, termasuk
Raja Pane sekeluarga, Raja Raya, Tengku Musa, Sultan Kualah dan Tengku Amir
Hamzah, sastrawan terkemuka, dibunuh oleh kaum pemberontak.Tanggal 5 Maret
Wakil Gubemur Sumatra, Dr. Moh. Amir, mengangkat M. Joenoes Nasution menjadi
Residen Sumatra Timur.
Dalam rangka "Revolusi
Sosial" tanggal 6 Maret Distrik Serbanyaman (Kesultanan Deli) dan
Kesultanan Serdang dihapuskan sebagai daerah istimewa oleh rakyat.
Tanggal 7 Maret Sultan Asahan
melarikan diri ke laut tapi akhimya menyerah di pulau Buaya.Dalam suatu rapat
raksasa di dekat Mesjid Raya di Medan, yang dihadiri juga oleh Residen Sumatra
Timur M. Joenoes Nasution, rakyat mendesak Komite Nasional Wilayah Deli untuk
menghapuskan daerah istimewa. "Hapuskan daerah isdmewa! Hapuskan pemerintah
kerajaan Deli! Dirikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!
" Akhimya diproklamasikan penghapusan daerah istimewa Deli.Tanggal 8 Maret
daerah istimewa Tanah Karo atas kehendak rakyat dinyatakan hapus sebagai daerah
istimewa. Juga daerah istimewa Bilah dan Panai dihapus sebagai daerah istimewa.
Mengenai peristiwa-peristiwa
tersebut di atas. Moh. Amir memberikan penjelasan sebagai berikut: "Untuk
mengerti kejadian yang hebat sekarang (revolusi sosial) di Sumatra Timur,
haruslah diketahui, bahwa di seluruh pulau Sumatra semenjak beribu tahun ada
susunan demokrasi di kampung dan hutan dan negari, kecuali di Sumatra Timur,
yang sampai sekarang masih menjadi sarang dan benteng feodalisme (pemerintahan
keningratan). Di luar Sumatra Timur, rakyat jelata selama NRI ini adalah rakyat
yang merdeka, yang dibela oleh grondwet, pemerintah, laskar Republik. Rakyat
Sumatra Timur hidup dalam "daerah-daerah istimewa" (kerajaan,
landscape di bawah pemerintahan raja-raja, datuk-datuk, dan lain-lain kaum feodal
yang umumnva tidak suka pada pergerakan rakyat (nasional) dan tidak suka pada
Republik. Antara mereka banyak pula yang dengan berterang-terang atau
bersembunyi mengatur perlawanan untuk menentang NRI dan berhubungan dengan
NICA. Setelah rakyat dengan barisan-barisannya melihat hal-hal pengkhianatan
itu, maka mereka dengan segera bertindak dengan tak sabar lagi, membantu
pemerintah, menyapu bersih musuh-musuh negara itu, dan rakyat menuntut supaya
daerah-daerah istimewa, benteng feodal yang telah menyawa dengan musuh-musuh
negara dan kapitalisme asing itu, dengan segera supaya NRI di seluruh Sumatra
ini ditegakkan atas sendi-sendi yang betul, menurut grondwet NRI: kedaulatan
rakyat dan kesejahteraan sosial." Yang disebut grondwet, istilah bahasa
Belanda, adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Tanggal 22 Maret Gubernur Mr.
Teuku Moh. Hassan kembali berada di Medan sesudah menyelesaikan perjalanan yang
berhasil baik ke Sumatera Tengah dan Sumatra Selatan.
Keesokan harinya, tanggal 23
Maret, Komandan Divisi ke-4 TRI Kol. Achmad Tahir, mengumumkan melalui
surat-sumt kabar bahwa Pemerintah sipil di seluruh keresidenan Sumatra Timur,
jadi termasuk Medan, untuk sementara diganti dengan pemerintah militer di bawah
Mahroezar.Tanggi 20 April 20 intelijen Belanda memperoleh surat putera Dr.
Amir, Tony, yang ditujukan kepada seorang teman, orang Belanda, di Medan yang
antara lain, dinyatakan bahwa "bilamana keadaan tetap memburuk, dalam 2
hari kami akan berada di kapal yang menuju ke Eropah."Atas permintaan Dr.
Amir yang semakin khawatir mengenai keselamatan keluarganya, pada tanggal 23
April rumah tempat kediamannya dijaga tentara India Inggris yang ditugaskan
oleh Pimpinan Tentara Sekutu untuk melindungi Wakil Gubemur.
Akhimya, tanggal 25 April Dr.
Amir sekeluarga melarikan diri ke kamp Rapwi di Medan dan meminta perlindungan
pada A.J. Spits, Gubernur NICA untuk Sumatra, di Medan, kecewa dengan keadaan
yang tidak dapat diatasinya, dan kekhawatiran akan ancaman terhadap hidupnya.
Gubemur Spits oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia diperintahkan
mengusahakan penyingkiran Dr. Amir sekeluarga dari Medan dan mengangkut mereka
ke Sabang.
Pembelotan Dr. M. Amir, Wakil
Gubemur Sumatra dan satu dari tiga pemimpin yang mewakili Sumatra pada
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, ke pihak musuh tentu sangat
memprihatinkan para pemirnpin Negara Republik Indonesia yang justru sedang
berusaha memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Republik
Indonesia di dukung oleh seluruh rakyat Indonesia dan bahwa Pemerintah ini
berkemampuan memelihara ketertiban dan keamanan di wilayah negara yang baru
dinyatakan merdeka ini.
Tanggal 30 April Dr. Amir menulis
surat piibadi dalam bahasa Belanda kepada dr. E.O. Baron van Boetzelaer, wd. le
Gouvernements secretaris (pejabat Sekretaris Pertama Pemerintah Hindia NICA),
di Batavia yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut:
"Dari siaran radio anda pasti telah mengetahui tentang pelarian kami ke
kamp Rapwi di Medan. Kami menumpang untuk sementara waktu pada orang dekat
pasar pusat di Medan sini. Di daerah tersebut sering terjadi perampokan,
penembakan, penculikan, dan sebagainya. Ketika seminggu yang lalu kami diserang
untuk ketiga kalinya, serangan dapat ditangkis oleh prajurit India-Inggris,
yang saya peroleh dari pihak Inggris sebagai perlindungan. Saya memutuskan
bahwa telah tiba waktunya untuk segera bertindak mengakhiri keadaan kami yang
semakin tidak dapat dipertahankan. Sejak beberapa bulan saya menjadi Gubemur
Propinsi Sumatra dan saya berusaha menggerakkan para pemuda untuk melakukan
pekerjaan yang bersifat membangun, tetapi percuma saja. Mereka di sini hendak
berkelahi juga bila perundingan di Batavia sampai pada suatu kesepakatan.
Berjuang di sini sekarang ini tidak ada manfaatnya. Kelompok-kelompok ekstrim
di sini lebih kuat dari pada polisi, T.R.I. Wewenang kami didasarkan atas
kertas, keadaan ekonomi, keuangan, semua kacau balau, karena kadaan yang
ditimbulkan oleh tidak adanya tenaga ahli. Ditambah lagi kedudukan miring dari
kami sendiri. Sebagai orang Indonesia saya harus ikut berjuang di pihak
Republik, saya tahu bahwa hanyalah dengan bekerja sama dapat terwujud sesuatu
yang baik, terorisme menutup mulut kami. Lien, karena semua pengalaman yang
buruk ini menjadi sakit jiwa (nerveus), harus selekas mungkin ke Holland. Kami
berfikir bahwa segera sesudah masalah Indonesia pada dasarnya dapat
terselesaikan, kami akan pergi ke Eropah, tapi perkembangan peristiwa-peristiwa
(keadaan syaraf Lien, pelarian kami ke kamp, pemutusan hubungan saya dari NRI
dan penggabungan saya pada pihak Pemerintah Hindia Belanda) mengakibatkan
pelarian keluar negeri ini menjadi keharusan. Disini kami tidak aman lagi
.."
Tanggal 10 Mei Dr. Moh. Amir,
istri Belanda dan kedua anaknya diangkat dengan pesawat terbang ke Sabang.
Tanggal 17 Mei Dr. Moh. Amir
menulis surat pribadi lagi ke dr. E.O. Baron van Boetzelaer, yang dalam
terjemahan bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: "Jumat Minggu lalu
kami telah tiba di sini dengan pesawat terbang dari Medan, dan haruslah saya
katakan bahwa di sini sangat, sangat tenang, sesudah perampokan dan penembakan
di Medan.... Bagaimanakah jalannya penindingan? Front Rakyat di Sumatra ingin,
adalah suatu lelucon bila tercapai kesepakatan, meneruskan perlawanan, hal ini,
mengingat adanya perpecahan dan kurangnya senjata. Justru di Sumatra, yang
terdapat kekurangan pemimpin dan tenaga ahli, kerjasama dengan Belanda akan
menguntungkan - asal saja kaum teroris yang sedikit jumlahnya itu dapat
ditundukkan. Pemerintah Indonesia tidak mampu melakukannya, karena T.R.1. boleh
dikatakan belum terorganisasi secara baik dan bersenjata lengkap. "
Kemudian Dr. M. Amir sekeluarga
diangkut ke Belanda, di sana mereka berdiam di kota Utrecht, tempat pemuda Amir
belajar sebagai mahasiswa dalam tahun-tahun 1920-an.
Rupanya ia tetap ingin
membuktikan dirinya untuk kepentingan bangsanya, bangsa Indonesia, tapi malu
kembali ke Surnatra Timur yang ia telah melakukan tindakan yang dapat
ditafsirkan sebagai pengkhianatan pada bangsanya. Oleh sebab itu, tahun 1947
Dr. M. Amir kembali ke Indonesia dan, dengan bantuan dr. D.J. Warouw, seorang
sahabat lama selagi mereka masih siswa di Stovia yang tahun 1947 itu menjabat
jabatan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Ia bekerja di rumah sakit
di Gorontalo, lalu pindah ke Palu dan akhirnya ke Makassar, ibukota NIT,
bekerja sebagai dokter, atas permintaannya sendiri, di tempat-tempat yang ia
tidak dikenal. Pengalaman pahit di Sumatra Timur mengakibatkan Dr.M.Amir
kehilangan semangat untuk bergerak dalam lapangan politik, ilmu pengetahuam
ataupun kebudayaan.
Tahun 1949 Dr. Amir jatuh sakit
parah dan harus menjalani pembedahan di otaknya sehingga ia diterbangkan ke
Belanda tempat ia menjadi pasien di suatu rumah sakit di Amsterdam. Dalam
keadaan sakit itu, pada akhir hayatnya, ia masih menyampaikan nasehat kepada
kemenakan dan kawan-kawan sesama orang pribumi di Indonesia yang masih bujangan
agar tidak mengawini orang asing sebagaimana telah dia lakukan sendiri sehingga
terpaksa menderita akibatnya. Ia kemudian meninggal di rumah sakit tersebut
tanpa diketahui orang banyak, jauh dari bangsa yang dicintainya. Sesuai dengan
permintaannya, jenazahnya dibakar di tempat pembakaran mayat (crematorium).
Daftar Pustaka :
Amir, Moh., Boenga Rampai ______________, Melawat ke Djawa
Anonim. (1980). Bahder Djohan: Pengabdi kemanusiaan.
Jakarta: P.T. Gunung Agung,
Bachtiar, Harsja W., "Me development of common national
consciousness among students from the Indonesian archipelago in the
Netherlands."Majalah ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jld. VI, No. 2, Mei 1976,
hlm. 3 1 - 44. ______________, (1981). "Muhammad Yamin: dari desa ke
Indonesia Raya." Dalam: Imej dan Cita-cita: Kertas kerja Hari Sastera 1980
Kuala Lumpur: Balai Bahasa dan Pustaka, hlm. 191-211. ______________, (1984).
"Kaum cendekiawan di Indonesia: suatu sketsa sosiologi."
Dalam; Aswab Mahasis dan Ismed Natsir, cd., Cendekiawan dan Politik. Cetakan
ke-2. Jakarta: LP3ES, 1984. hlm. 73-91.
Brugmans, I.J.; H.J. de Graaf., A.H. Joustra; dan A.G.
Vromans, ed. (1980). Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting: Gegevens en documenten
over de jaren 1942-1945. Francker: Wever.
Hamka, Merantau Ke Deli ______________, Kenang-kenangan
Hidup
Hatta, Mohammad, (1982). Memoir, Jakarta, Tintamas.
"Mededeelingen van het Hoofdbestuur," Jong
Sumatra, Thn. III, No. 2-3, Februari-Maret 1920. "Notulen van de Algemeene
Ledenvergadering op 8 Februari 1920, in het Logegebouw te Weltevreden te 9
u.v.m.," Jong Sumatra, Tahun III, No. 1, Januari 1920, hlm. 3.
Oetoesan Melajoe, No. 152, 18 Agustus 1919; No. 157, 25
Agustus 1919.
PRIMA, (1976). Biro Sejarah, Medan Area Mengisi Proklamasi,
Perjuangan Kemerdekaan dalam Wilayah Sumatera Utara. Jilid I. Medan: Badan
Musyawarah PRIMA.
Reid, A (1971). "The Birth of the Republic in
Sumatra." Indonesia, No. 12, hlm. 21-46.
______________, (1975).
"The Japanese occupation and rival Indonesian elites:
Northern Sumatra in 1942. " Journal of Asian Studies, Jld. XXXV, No. 1,
November 1975, hlm. 49-61. ______________, (1979).
The Blood of the People: Revolution and the end of
traditional rule. Kuala Lumpur, Oxford, New York dan Melbourne: Oxford
University Press.
Raliby, O. (1953). Documeta Historica: Sedjarah dokumenter
dari pertumbuhan dan perdjuangan negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Said, Mohammad, (1946). Empat Belas Boelan Pendoedoekan
Inggris di Indonesia. Medan: Antara. ______________, (1973).
"What was the social Revolution of 1946 in East
Sumatra?" Indonesia. No. 15, hlm. 45-86.
Soebagijo I.N. (1987). Adinegoro: Pelopor jurnalistik
Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.
"Verslag Eerste Jaarvergadering," Jong Sumatra,
Thn. II. No.2, Februari 1919, hlm. 40-41.
Wal, S.L. van der. ed., Officiele Bescheiden Bertreffende de
Nederiands-Indonesische Betrekkingen 1945-1950. Empat jidil pertama.
s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1971-74.
Comments