Penulis : Hiski Darmayana*
Tanah Karo, sebagai wilayah yang
menjadi basis kekuatan politik Marhaenis, pernah melahirkan seorang tokoh yang
konsisten memperjuangkan ideologi Marhaenisme dalam tiap langkah perjuangannya.
Sejak era kolonial Belanda hingga zaman de-Soekarnoisasi Orde Baru, tokoh yang
satu ini tetap teguh berjuang dibawah ‘panji’ Marhaenis. Selamat Ginting, nama
tokoh ini, yang juga dikenal dengan nama Kilap Sumagan.
Lahir pada 22 April 1923, Selamat
Ginting telah memiliki concern yang besar terhadap dunia pergerakan nasional
ketika masih berusia remaja. Ketika
beliau sedang menempuh pendidikan
menengah di zaman kolonial (HIS), ia telah mengamati kiprah berbagai organisasi
pergerakan yang bertendensi nasionalis kerakyatan, seperti Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia (Partindo), dan Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).
Setamatnya dari HIS, Selamat meneruskan pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam, Sumatera Barat. Pada saat yang bersamaan, sekolah tersebut
tengah dipimpin oleh S.M. Latief yang juga merupakan pemimpin surat kabar Resensi. Surat kabar ini
terkenal karena memuat berbagai tulisan resensi yang dibuat oleh tokoh-tokoh
pergerakan terkemuka saat itu, antara lain Bung Hatta.
Selamat, yang memang telah
memiliki minat besar pada dunia politik, turut pula menyumbangkan satu tulisan
yang mengulas buku politik karya Roestam Effendi : Van Moscow naar Tiflis pada surat kabar
tersebut. Buku tersebut ia akui sebagai buku politik pertama yang dibacanya. (Buku Van Moscow naar Tiflis dapat dibaca pada tautan berikut ini : Marxists.org/nederlands/effendi/1937/ )
Setelah tuntas mengenyam
pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam,
Selamat pulang ke tanah Karo. Tak lama kemudian,
Perang Pasifik meletus dan Jepang menginvasi Indonesia. Hal itu menandai
berakhirnya era penjajahan kolonialis Belanda dan dimulainya masa pendudukan
Jepang di nusantara, termasuk Tanah Karo.
Selamat pun memutuskan untuk
turut berjuang menghadapi penjajah baru dari Asia Timur tersebut, dengan
bergabung ke partai yang dibentuk oleh
Bung Hatta, Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Namun, pemerintah Jepang yang
memang melarang segala kegiatan berbau politik segera membubarkan partai
tersebut. Setelah pembubaran itu, Selamat dan kawan-kawan pun membentuk Pusat Ekonomi Rakyat (Pusra) guna
membantu menggerakan perekonomian rakyat pada masa itu.
Pasca proklamasi kemerdekaan,
bangsa Indonesia masih harus menghadapi fase perang kemerdekaan, ketika Belanda
berusaha menduduki kembali nusantara termasuk Tanah Karo. Selamat kembali
terpanggil untuk berjuang bagi kemerdekaan
penuh republik ini. Ia masuk tentara keamanan rakyat dan diangkat menjadi
Komandan Sektor III Subteritorium VII
Komando Sumatera yang meliputi wilayah Dairi, Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Semasa era revolusi, pasukan
Selamat dijuluki dengan sebutan “pasukan
halilitar” yang dikenal garang dalam setiap pertempuran melawan Belanda. Pasukan Selamat juga
dikenal tidak pernah kompromi dengan
musuh karena Selamat memiliki prinsip daripada mundur, lebih baik maju mengejar
musuh.
Setelah perang kemerdekaan
selesai, Selamat memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik melalui partai
yang dibentuk Bung Karno pada masa kolonial, Partai Nasional Indonesia (PNI).
Melalui partai yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno ini, ia sempat
menduduki jabatan tertinggi di dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Sumatera
Utara pada tahun 1950. Dalam struktur partai sendiri Selamat dipercaya sebagai
Pimpinan Daerah PNIwPendidikan Sumatera Utara ditahun 1954.
Kiprah politiknya di daerah
menimbulkan keinginan dari pengurus pusat partai untuk ‘menarik’ Selamat ke
Jakarta. Selamat pun diberikan amanat untuk menjabat Ketua Departemen
Organisasi DPP PNI pada tahun 1955, hampir berbarengan dengan penyelenggaraan
pemilu pertama sejak Indonesia merdeka. Pada pemilu itu juga, Selamat berhasil
meraih satu kursi di dewan perwakilan rakyat (DPR) mewakili PNI sejak tahun
1956.
Namun, tak lama kemudian
meletus pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, termasuk Sumatera Utara
yang merupakan kampung halaman Selamat. Pemberontakan tersebut bernuansa makar
terhadap pemerintahan Bung Karno dan merongrong kedaulatan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) karena dibekingi pihak asing. Digerakan oleh
loyalitasnya terhadap Bung Karno dan NKRI,
Selamat pun menghimpun para prajurit
yang pernah menjadi anak buahnya dimasa
revolusi untuk turut membantu TNI menumpas pemberontakan.
Loyalitasnya terhadap Bung Karno
serta ideologi Marhaenis berlanjut dimasa ketika pertentangan antar kekuatan
politik, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer makin meruncing pada tahun 1965. Ketika itu,
PNI juga dirundung friksi internal. Banyak elemen-elemen ‘kanan’ yang tidak
sejalan dengan haluan politik Bung Karno, turut ‘mewarnai’ dinamika internal
PNI. Friksi inilah yang kemudian melahirkan dua kubu PNI pasca tragedi 1965,
yakni PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman (atau yang dikenal PNI-ASU) dan PNI Osa
Maliki-Usep Ranawidjaja (Osa-Usep).
Di saat sulit seperti itu,
Selamat dengan tegas berdiri dipihak yang menjunjung tinggi ideologi dan haluan
politik Bung Karno. Hal ini sejalan dengan pilihan politik PNI kubu
Ali-Surachman. Pilihan politik ini pulalah yang membuat Selamat dipecat dari partainya, ketika kubu
Osa-Usep yang pro Orde Baru menguasai struktur kepemimpinan partai dalam
Kongres partai diBandung tahun 1966.
Pemecatan tersebut tak membuat semangat perjuangan marhaenis dari
tanah Karo ini surut. Bersama beberapa
anggota PNI loyalis Bung Karno lainnya, Selamat menghadap Bung Karno untuk
memohon izin mendirikan partai baru yang
terlepas dari PNI namun masih berlandaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Hal
ini didasari pertimbangan Selamat dan kawan-kawan, bahwa PNI sudah tidak
konsisten lagi dengan Marhaenisme serta telah terkontaminasi Orde Baru yang
pro-imperialis. Partai yang ingin didirikan oleh Selamat cs itu adalah Partai
Rakyat Marhaen (PRM).
Bung Karno pun mendukung, dan
berjanji akan meresmikan pendirian partai itu. Tetapi, kenyataan berbicara
lain. Bung Karno terjungkal dari kekuasaan sebelum PRM sempat dibentuk.
Namun, Selamat tetap tidak menyerah dan terus
berupaya merealisasi niatnya bersama kawan-kawan. Peleburan partai-partai atau
fusi yang dilakukan rezim Orde Baru dan menghasilkan penyederhanaan jumlah
partai hanya menjadi 2 partai politik dan 1 golongan karya diawal tahun 1970-an tidak pula
menyurutkan langkah Selamat. Setelah melewati berbagai rintangan politik dari
penguasa, Selamat berhasil membentuk organisasi Gerakan Rakyat Marhaen (GRM)
pada tahun 1981.
Hingga akhir hayatnya, Selamat
lebih memilih berjuang melalui organisasi GRM ketimbang masuk partai
mainstream, termasuk partai yang dianggap ‘reinkarnasi’ PNI sekalipun. Ia tidak
bersedia berkecimpung dalam sistem politik yang menurutnya tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sejati warisan para
founding fathers, terutama Bung Karno. Itulah wujud konsistensi Selamat kepada
ideologi Marhaenisme selama hidupnya.
Comments