Di Kampung Tanjung, tidak jauh dari Tanjung Morawa (Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang) pada tahun 1918 lahirlah seorang anak lagi-laki dari merga Ginting Munthe. Ibunya Beru Purba adalah anak dari Sibayak Pa Landas Purba, Ibunya kelahiran Kampung Kabanjahe.
Anak ini diberi nama Tama Ginting oleh pamannya, saudara kandung sang ibu. Setelah besar, ia disekolahkan di Kabanjahe di Vervolg School. Ia termasuk siswa yang rajin, pembersih dan pandai.
Tama Ginting menumpang di rumah pamannya bernama Gempang Purba di Kabanjahe. Karena rajin dan pintar, Tama Ginting sangat disayang oleh paman dan kakeknya, Sibayak Pa Landas Purba. Setelah tamat sekolah, Tama Ginting bekerja di perusahaan pamannya yang menjual daging lembu dan kerbau di pasar Kabanjahe dan Berastagi.
Pamannya termasuk salah satu orang terkaya di Kabanjahe dan mempunyai tanah yang luas. Walaupun Tama Ginting sudah bekerja, ia tetap rajin membaca banyak buku, baik buku biografi, kebudayaan, politik dan sejarah. Salah satunya buku karangan Matu Mona yang berjudul Pajtar Merah Indonesia.
Ia sangat terkesan pada buku ini dan ingin berbuat seperti Tan Malaka, seperti apa yang dikisahkan dalam buku ini. Inilah awal ia berkenalan dengan sosok Tan Malaka. Lalu ia membaca buku-buku karangan Tan Malaka. Kelak ia menjalankan ajaran Tan Malaka hingga akhir hayatnya.
Ia juga pernah ikut kursus bahasa Inggris. Dan pada hari libur, ia manfaatkan mengunjungi ibunya di Kampung Tanjung.
Berastagi kala itu begitu termasyur sampai ke manca negara, dengan udaranya yang dingin dan alamnya yang asri dan indah serta hasil-hasil kebudayaan Karo yang agung . Rumah-rumah adat Karo yang berdiri megah menjadi keunikan tersendiri bagi orang-orang Eropah yang datang. Kota ini menjadi daya tarik wisatawan asing, terbukti dengan kian terbangunnya banyak pesanggrahan dan hotel.
Pesanggrahan dan hotel ini mempekerjakan buruh-buruh seperti babu, koki dan tukang kebun. Tugas Tama Ginting tiap pagi adalah mengantarkan daging ke pesanggrahan dan hotel-hotel ini. Tama Ginting melihat wajah keangkuhan kaum Eropah ini. Ia acap kali mendengar cacian “inlander” dan sebagainya kepada karyawannya.
Di tempat-tempat tertentu seperti di kolam renang Grand Hotel, terjadi diskriminasi. Penduduk lokal tidak boleh masuk, menonton dari jauh pun dilarang. Di setiap pekarangan rumah dan club-club hiburan dan olahraga, dipancangkan pamflet “La Banci Kubas. Art. 551.” Hati Tama Ginting teriris melihat perlakuan kaum Eropah ini.
Pernah satu kali terjadi perkara antara seorang suku Karo dengan seorang Belanda. Perkara ini mengenai “Art. 551.” Si Belanda ini adalah seorang Direktur Manager Air Bersih Brastagi. Orang-orang memanggilnya Tuan Pendek karena tubuhnya pendek, lebih pendek dari orang-orang Indonesia. Tuan Pendek membeli sebidang tanah kepunyaan penduduk. Tanah ini sedari dulunya adalah jalan tikus ke ladang-ladang penduduk lainnya. Begitu selesai tanah itu dibeli oleh Tuan Pendek, langsung dipancangkan larangan masuk “Art. 551.”
Penghulu kampung, di daerah di mana tanah itu dibeli oleh Tuan Pendek, mempunyai ladang yang jalannya melalui jalan tikus di tanah yang sudah dibeli Tuan Pendek. Penghulu kampung tersebut pergi ke ladangnya, dan tidak menyangka bahwa jalan tersebut sudah dilarang dijalani. Tuan Pendek melihat Penghulu terus berjalan melalui tanahnya. Tuan Pendek marah besar dan memakinya. Namun Penghulu kampung terus berjalan menuju ke ladangnya.
Tuan Pendek segera pergi mengadu kepada Polisi di Berastagi. Malang sekali, Penghulu ditangkap dan dihukum penjara beberapa hari. Ia menyimpan dendam.
Setelah keluar dari penjara, sang Penghulu berniat melampiaskan dendamnya. Ia tahu Tuan Pendek selalu pergi untuk mengawasi mata air dari perusahaan Air Bersih nya. Tuan Pendek pasti akan melalui ladang-ladang penduduk, diantaranya kebun tebu milik sang Penghulu ini.
Sang Penghulu memancangkan pamflet peringatan “La Banci Kubas. Art. 551.” Sang Penghulu bersembunyi di balik rimbunan pohon-pohon tebu sambil mengintip kedatangan Tuan Pendek. Tiba-tiba ia melihat Tuan Pendek datang dan terus masuk melalui kebun tebu sang Penghulu. Sang Penghulu dengan suara keras menegurnya.
Bersambung ke bahagian 2
Sumber bacaan :
1. Dari Zaman ke Zaman Jilid 2 (1982) oleh Brahma Putro (KS Brahmana)
2. Catatan Tama Ginting : Idee dan Realita Dalam Nostalgia, 30 Tahun Kemerdekaan RI.
Comments