Pemakai candu/opium di Karo
Een opiumschuiver, Karolanden,
Noord-Sumatra
Date : 1914-1926
Source : Tropenmuseum
Author : T. (Tassilo) Adam (Fotograaf/photographer).
|
Pembawa garam di Karo
Een zoutdrager van Karo-Batak afkomst, Noord-Sumatra
Date : 1914-1918
Source : Tropenmuseum
Author : T. (Tassilo) Adam (Fotograaf/photographer).
|
Ketika kontrolir Belanda pertama, Cats Baron de Raet, mulai bertugas di Deli tahun 1864, perdagangan
dengan wilayah pedalaman boleh dikatakan mandek. (1)
Kelihatannya memang tahun-tahun sebelumnya orang-orang
Dusun dan dataran tinggi menjadi korban kekerasan, pencurian barang
dagangan mereka atau syarat perniagaan yang tidak cocok yang diberlakukan oleh
Sultan. Di lain pihak, sejumlah pedagang
pesisir dikabarkan dibunuh atau diberlakukan dengan buruk di pegunungan.
(Catatan : dusun =
lereng gunung; kuta yang dibuka oleh
sekelompok penduduk yang berasal dari sebuah kuta induk ; pemukiman kolektif bagi orang dagang)
Tujuan utama perjalanan Raet ke dataran tinggi adalah
menggerakkan kembali perdagangan ini. (2) Untuk itu, Raet mengadakan pertemuan dengan
sejumlah kepala dari dataran tinggi dengan didampingi paman Sultan Deli dan kejuruan Senembah (Kejuruan = kepala
Urung di kesultanan Deli). (3a) Sementara
itu, Raet ditempatkan di sana sebagai kontrolir, sultan memberitakan kepada
orang pedalaman bahwa mereka dapat berdagang lagi di Deli dengan tenang. Imbauan
ini didengar dan sejumlah pedagang kembali hilir mudik antara pesisir dan
pegunungan. (3b)
Monopoli perdagangan garam tetap dipegang oleh para datuk dan kejuruan sampai tahun 1882, yaitu ketika Pemerintah mulai mengambil
monopolinya. (4) Dengan pemberlakuan
monopoli itu, pajak impor tidak lagi dipungut oleh kepala-kepala setempat,
tetapi oleh pemerintah Belanda. Tempat-tempat penjualannya bertambah dan pemimpin-pemimpin tradisional tampaknya tersingkir
dari jaringan perdagangan baru itu. (5)
Bukan kebetulan jika anak termuda salah satu pemimpin yang paling berkuasa di
timur laut Danau Toba, Tuan Nagasaribu,
datang ke dataran Deli tahun 1883 untuk membicarakan perdagangan garam dengan
orang-orang “Melayu.” (6)
Sebuah jaringan hilang dan bersama dengan itu hilang juga jaminan sumber
penghasilan yang berarti, sehingga perlu dicari sebuah strategi baru.
Garam masih tetap menjadi bahan kebutuhan pokok yang utama. Begitu
pemberontak-pemberontak ditangkap pada akhir Perang Sunggal, orang-orang pedalaman segera turun membeli garam (7),
berbeda dengan perdagangan bahan-bahan lain yang memerlukan waktu
beberapa minggu sebelum kembali ke situasi normal. (8)
Pemerintah pun bahkan kemudian memanfaatkan ketergantungan pada garam itu untuk menundukkan
orang-orang yang menentang penempatan misionaris di dataran tinggi sebelah
utara Danau Toba. Setelah proyek gedung misi pertama di Kabanjahe dihancurkan
oleh kepala-kepala dari dataran tinggi, Pemerintah menjatuhkan denda terhadap mereka dan memblokade dataran tinggi dengan menghalangi masuknya garam dan keluarnya kuda selama denda itu
belum dibayar. Uang denda ini (9)
berhasil dikumpulkan dengan cepat dan kepala-kepala dataran tinggi pun
memberikan jaminan bahwa penempatan misi dapat dijalankan. (10)
Setelah tiga tahun penempatan kontrolir itu di Deli, jaringan perdagangan candu mengalami
goncangan karena penjualan diserahkan kepada orang Tionghoa. Akibatnya, kepala-kepala di urung dan di dataran tinggi
kehilangan monopoli sehingga kemudian pecah konflik antara mereka dan orang
Tionghoa (11) serta kontrolir. (12. Sebagai ganti rugi, Pemerintah
memberikan sejumlah uang kepada kepala-kepala yang bersangkutan.
Tampaknya beberapa tahun kemudian, setidaknya di dataran
rendah, Pemerintah mengambil alih langsung perdagangan candu. Pemerintah menjual
candu mentah per bungkus kepada kepala-kepala tanpa mengambil untung. Distribusi
ini pada awalnya berlangsung dalam jumlah besar dan memungkinkan kepala-kepala
untuk memperoleh keuntungan yang berarti dan menyeret sebahagian besar penduduk Dusun jatuh dalam ketergantungan pada candu.
(13) Ketika menyadari situasi itu,
Pemerintah pun membatasai penjualan candu dan secara bertahap mengganti
bungkus-bungkus candu dengan uang sebesar harga pembelian.
Tahun 1905, kepala-kepala Dusun Langkat, Deli dan Serdang
masih memiliki pilihan antara membeli 206 bungkus candu per bulan atau menerima
ganti rugi yang kalau dihitung untuk seluruh Dusun mencapai 45.000 gulden. (14)
Begitu menguasai dataran tinggi, Pemerintah kolonial
membatalkan monopoli penjualan eceran candu oleh kepala-kepala. Selain itu,
residen memerintahkan agar semua kepala yang masih terus mengisap candu dipecat
dari jabatannya. (15)
Pengiriman resmi candu
ke Dusun benar-benar berhenti tahun 1908 atas prakarsa misi (missionaris) Belanda. (16)
Dengan ditempatkannya pemerintahan Belanda, perdagangan budak
dengan cepat hilang dari hampir seluruh kawasan Pesisir Timur Laut. (17)
Perdagangan kuda tampaknya masih terus berlanjut
seperti sebelum kedatangan Belanda. Sapai tahun 1920, dataran tinggi di utara
Danau Toba masih mengekspor anatara 250-300 ekor kuda per tahun. (18)
Gambaran Ringkas :
Garam tetap sebagai satu-satunya bahan pokok pedalaman,
tetapi para pelaku jaringan sudah berganti. Monopoli pemerintah kolonial
menggantikan monopoli pemimpin-pemimpin wilayah pesisir. Pada waktu yang sama,
penduduk memiliki akses langsung ke tempat-tempat distribusi yang juga dibuka
di dataran tinggi. Dengan demikian, di kedua ujung jaringan, kalangan
elit pribumi terpinggirkan.
Jaringan opium dan perdagangan budak internasional menghilang
secara bertahap dan dalam waktu bersamaan pada dasawarsa pertama ada ke-20,
karena tidak adanya lagi “barang dagangan.” Yang masih tetap bertahan hanya jaringan perdagangan kuda.
Sebagaimana dalam administrasi, politik dan pengadilan,
kebijakan pemerintah kolonial dalam ekonomi dan perdagangan hanya menimbulkan terpisahnya pesisir dan pedalaman.
~ ~ ~ ~
# Tulisan ini dipetik
dari buku “Kolonialisme dan Etnisitas
Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut” oleh Daniel Perret (2010) halaman : 228-231.
Catatan Kaki :
(1) “De handel stond als het ware stil ;
slechts nu en dan zag men een enleken Batakker om een paard te verkoopen en na
voor de opbrengst ervan lijnwaden te heben gekocht, naar het gebergte terug te
keeren.” (Cats Baron de Raet, 1876, hlm. 30). “Perdagangan tidak ada, hanya ada
beberapa orang Batak datang menjual seekor kuda atau, sebelum panen, membeli
kain linen sebelum pulang kembali ke pegunungan”.
(2) Situasi yang sama terjadi di
Batubara. Oleh sebab itu Kontrolir mendorong kepala-kepala di pesisir untuk
menjalin kembali hubungan dengan pedalaman, setelah berlangsungnya ekpedisi
militer tahun 1865 melawan Asahan (Scheemaker, 1896b, hlm. 413)
(3a) Cats Baron de Raet, 1875, hlm. 217
(3b) Cats Baron de Raet, 1876, hlm. 30-31
(4) Staatsblad 1882/73
(5) Oleh sebab itu, sebahagian penduduk
pergi ke perkebunan untuk membeli garam (lihat J.H. Neuman “Verslag van een
reis der helpers Pa Belat en Pa Lydia naar Kembaren (Boven Langkat)”, TZM, 66,
1922, hlm.164).
(6) Hagen, 1886, hlm. 329
(7) Mr 823/1872
(8) Mr 863/1872
(9) Dikatakan jumlahnya melebihi 15.000
dolar Spanyol
(10) Schaap, Mvo S.O.K, 1905, hlm. 39 ;
Kroesen, 1909, hlm. 516-518. Liere, Mvo Karolanden, 1931, hlm. 91-92.
(11) Selama Perang Sunggal, orang
Tionghoa pemegang hak perdagangan opium di Hamperan Perak ditawan (Mr 312/1872)
(12) Erman, “Pemberontakan Sunggal 1872
di Deli, jawaban terhadap perubahan sosial”, MI, 12 (I), 1985, hlm. 72 ; Kok,
Mvo Dusun Deli Serdang, 1910, hlm. 51.
(13) Tampaknya candu tidak disebar
luaskan di kalangan penduduk asli dataran tinggi sebelah utara Danau Toba (lih.
Westenberg, 1891, hlm. 115 ; Liere, Mvo Karolanden, 1931, hlm. 63 ; Lanting,
Mvo Karolanden, 1937, hlm. 71).
(14) Schaap, Mvo, S.O.K., 1905, hlm.
83-84.
(15) Wijngaarden, 1894a, hlm, 178 ; Kok,
Mvo Dusun Deli-Serdang, 1910, hlm. 51-52.
(16) Schaap, Mvo S.O.K., 1905, hlm. 84 ;
Neumann, “De tegenwoordige stand der Karo Batakzending,” MNZ, 53, 1909b, hlm.
242.
(17) Tampaknya, menjelang akhir tahun
1860-an perdagangan budak masih lumayan di Asahan, yang memasok pertambangan
timah di Semenanjung Melayu (Scheemaker, 1869a, hl. 473). Pada akhir abad ke
-19, pasar Tiga Runggu masih merupakan pasar budak penting antara wilayah
kekuasaan Purba dan wilayah kekuasaan Raya (Westenberg, 1897, hlm. 83). Pada awal
abad ke-20, masih ada penjualan sejumlah budak di pasar Tiga Bornuh, di timur
laut Danau Toba (Westenberg, 1905, hlm. 603). Awal tahun 1904, pemerintah kolonial
mengatakan bahwa tidak lebih dari seratusan budak yang masih tinggal di dataran
rendah Deli dan Serdang, jadi tidak termasuk wilayah Dusun (Schaap, Mvo S.O.K.,
1905, hlm 66).
(18) Lih. Cats Baron de Raet, 1876, hlm.
34 ; Joustra, 1910, hlm. 289 ; Brouwer, Mvo Karolanden, 1927, hlm. 67.
Comments