Makam Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti di
Cianjur Jawa Barat.
Makam ini seharusnya ada di Taman makam Kali Bata.
|
Pejuang Karo berkata :
Namo Banci Jadi Aras, Aras Banci Jadi Namo
(Hari ini kita kalah lain waktu kita akan menang)
USUL PAHLAWAN
WASPADA Online
Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Menurut rencana, pada 27 Juni 2004, Minggu ini, di Medan akan dilaksanakan satu
seminar dengan judul 'Perang Sunggal (Batak Oorlog
1872-1895), Perang Rakyat
Menolak Penjajahan'. Seminar ini dilaksanakan atas kerjasama
di antara Lembaga
Pengembangan dan Pembinaan Kebudayaan Masyarakat Sumatera
Utara (Legenda
Sutra), Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Kota
Medan, dan Lembaga
Ulon Janji Keluarga Besar Kedatukan Sunggal Serbanyaman.
Tujuan seminar ini
adalah untuk mengungkapkan latar belakang, kejadian yang
berlaku, dan
kepahlawanan dalam 'Perang Sunggal' itu.
'Perang Sunggal' merupakan salah satu peristiwa sejarah
dalam perjalanan bangsa
Indonesia menuju kemerdekaannya. Perang ini adalah
perjuangan rakyat Sunggal
dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya dari penguasaan
tangan penjajahan
Belanda. Wilayah Sunggal (Serbanyaman) yang sangat subur
ketika itu ingin
dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda untuk ditanami
tembakau. Penguasaan
itu tanpa seizin raja dan rakyat Sunggal sehingga timbullah
peperangan. Perang
ini merupakan salah satu perang yang terbesar sehingga
pemerintah Hindia
Belanda harus mengeluarkan 'Medali Khusus' untuk menghargai
para pemimpin
perang ini dari pihak mereka. Hal itu diketahui dari catatan
yang terdapat di
Museum KNIL, Bronbeek (Belanda.
Pemicu Perang
Ada dua tokoh pejuang yang terlibat secara langsung dalam
'Perang Sunggal' ini.
Keduanya berusaha mempertahankan Sunggal (Serbanyaman),
tanah airnya, dari
penjajahan Belanda. Kedua tokoh itu ialah Datuk Badiuzzaman
Johan Sri Indera
Surbakti dan Datuk Alang Muhammad Bahar Johan Sri Indera
Surbakti. Datuk
Badiuzzaman Surbakti merupakan keturunan ke-7 dari Sesser
Surbakti yang
asal-usulnya adalah dari Telun Kulu, Tanah Karo. Sedangkan
Datuk Alang Muhammad
adalah adik Datuk Badiuzzaman. Keturunan pemerintah Sunggal
bermula dari Sesser
Surbakti yang mempunyai putera bernama Si Gajah. Sesser
Surbakti mendirikan
Kampung Sumbuwaiken di kaki Gunung Sibayak. Si Gajah
mempunyai putera yang
bernama Adir Surbakti. Mereka bertempat tinggal di daerah
Pancurbatu dan
kemudian memeluk agama Islam. Selanjutnya putera Adir
Surbakti yang bernama
Datuk Hitam Surbakti menjadi Raja Sunggal pada 1632 dan
seorang anak perempuan
yang bernama Nang Baluan kawin dengan Gocah Pahlawan, yang
merupakan asal-usul
keturunan raja-raja Deli dan raja-raja Serdang. Datuk Hitam
Surbakti mempunyai
dua orang anak yang laki-laki bernama Datuk Undan Surbakti
dan yang perempuan
bernama Dayan Sermaidi yang kawin dengan Panglima Mangendar
Alam, salah seorang
keturunan Sultan Deli.
Datuk Undan Surbakti berputerakan Datuk Amar Laut Surbakti
yang pada masa
pemerintahannya melepaskan diri dari ikatan dengan Deli,
mengeluarkan
cap/stempel dan bendera sendiri, dan meresmikan Sunggal
merdeka serta
berpemerintahan sendiri. Datuk Amar Surbakti mempunyai tiga
orang anak lelaki
yaitu Datuk Ahmad (Abdul Hamid) Surbakti, Datuk Jalil
Surbakti, dan Datuk Kecil
(Mahini) Surbakti. Datuk Ahmad Surbakti inilah yang
mengganti nama Sunggal
menjadi Serbanyaman. Putera Datuk Ahmad Surbakti ada tiga
orang yaitu Datuk
Badiuzzaman Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti,
dan Datuk Haji
Surbakti. Pada masa pemerintahan mereka ini di
Serbanyamanlah terjadinya
'Perang Sunggal' tersebut.
Pemicu terjadinya 'Perang Sunggal' ini adalah masalah tanah.
Pada 1870 Sultan
Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli) memberikan tanah yang
subur di wilayah
Sunggal untuk dijadikan konsensi perkebunan perusahaan
Belanda yang bernama De
Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa
melalui perundingan
dengan penguasa serta rakyat wilayah Sunggal sehingga
timbullah perlawanan
bersenjata. Pada 1872 Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya
Datuk Alang
Muhammad Bahar Surbakti dengan didukung rakyat Serbanyaman
(Sunggal) dan suku
Karo lainnya mulai mengadakan perlawanan dengan mengangkat
senjata terhadap
Belanda. Ketika itu, Belanda didukung oleh Sultan Mahmud
Perkasa Alam.
Perlawanan rakyat Serbanyaman (Sunggal) dilakukan rakyat
dengan bergerilya
sambil membakar bangsal-bangsal tembakau di atas tanah
rakyat yang dikuasai
oleh Belanda. Perang ini berlangsung sampai dengan 1895.
Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai Pahlawan Nasional
'Perang Sungal' ialah salah satu perang yang bertujuan untuk
memperjuangkan
tanah air Indonesia agar merdeka dari tangan penjajahan
Belanda. "Perang
Sunggal" ini berlangsung cukup lama yaitu lebih kurang
selama 23 tahun, dari
1872 sampai dengan 1895. Apabila dibandingkan perang yang
dilakukan oleh para
pahlawan kita di penjuru tanah air pada masa penjajahan
Belanda, tampaklah
bahwa perang yang dilakukan oleh rakyat Sunggal di bawah
pimpinan Datuk
Badiuzzaman Surbakti ini memakan waktu yang cukup lama dan
berkepanjangan. Hal
itu bisa dibandingkan dengan beberapa perang lainnya
menentang penjajahan
Belanda di Nusantara dulunya seperti perlawanan Sultan Agung
di Mataram (1628)
Iskandar Muda di Aceh (1635), Ageng Tirta Yasa di Banten
(1650), Hasanuddin di
Makasar (1653), Pattimura di Maluku (1817), Badaruddin di
Palembang (1817),
Imam Bonjol di Minangkabau (1824-1837), Pangeran Diponegoro
di Jawa
(1825-1830), Jelantik di Bali(1850), Pangeran Antasari di
Kalimantan (1860),
Teuku Umar (1878-1899) di Aceh, Anak Agung Made di Lombok
(1895),
Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara (1900), dan Cut Nyak
Din di Aceh
(1902-1904).
"Perang Sunggal" yang bermula pada 15 Mei 1872 di
bawah pimpinan Datuk
Badiuzzaman Surbakti ini merupakan perang terhadap
penjajahan Belanda yang
menunjukkan adanya nilai-nilai patriotisme, nasionalisme,
dan rasa cinta tanah
air yang sangat besar. Oleh karena itulah, Datuk Badiuzzaman
Surbakti ini
sangat pantas kiranya diangkat menjadi 'Pahlawan Nasional'
karena beberapa
pertimbangan tertentu seperti berikut ini.
Pertama, Datuk Badiuzzaman Surbakti telah bangkit menentang
penjajahan Belanda
dengan mengangkat senjata untuk berperang. Dalam hal ini,
beliau dibantu oleh
adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti bersama paman-pamannya
Datuk Abdul
Jalil, Datuk Muhammad Dini, serta Datuk Sulung Barat dengan
didukung oleh
rakyat Sunggal dan masyarakat Karo lainnya. Perang ini cukup
menyusahkan
Belanda karena banyaknya kerugian akibat bangsal tembakau
milik perusahaan
Belanda yang dibakar masyarakat.
Kedua, Datuk Badiuzzaman Surbakti telah berjuang menentang
penjajahan Belanda
dalam waktu yang cukup lama, lebih kurang 32 tahun, tanpa
kenal lelah.
Perjuangannya ini 'murni dan tanpa pamrih' untuk mengusir
penjajahan Belanda.
Kurun waktu perjuangan yang panjang seperti ini hampir boleh
dikatakan tidak
ada yang menyaingi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
menentang
penjajahan. Perjuangan seperti ini pasti sangat melelahkan
dan menimbulkan
korban jiwa dan harta yang 'tidak terhitung lagi jumlahnya'.
Ketiga, Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan rakyatnya
mati-matian mempertahankan
tanah tumpah darahnya. Saat itu, penjajah Belanda mau
menguasai tanah yang ada
di daerah Sunggal untuk dijadikan perkebunan tembakau. Padahal
dalam
Konfederasi Deli sudah diatur bahwa empat suku di Deli
berkuasa di daerahnya
masing-masing. Jadi, perang ini bersifat mempertahankan
kepentingan wilayah dan
tanah rakyat yang dirampas perkebunan Belanda. Perang ini
bukanlah perang
agama, tetapi perang yang sifatnya nasionalis.
Keempat, Datuk Badiuzzaman Surbakti mempunyai sikap
nonkompromi (tidak mau
bekerjasama) dengan penjajahan Belanda. Sikap seperti ini,
yang sangat terpuji,
telah diperlihatkan beliau dalam perjuangan yang tanpa
mengenal lelah selama 32
tahun itu sampai beliau dibuang seumur hidup ke Cianjur.
Sikap seperti ini
pulalah yang telah dijadikan contoh teladan oleh adik,
paman-paman, dan
rakyatnya di Sunggal di dalam menentang penjajahan Belanda.
Akibatnya, mereka
pun ditangkap dan dihukum buang seumur hidup.
Kelima, Datuk Badiuzzaman Surbakti berhasil menghimpun
kekuatan untuk menentang
penjajahan Belanda dengan dibantu oleh para pejuang dari
berbagai macam etnik
seperti dari Karo, Melayu, Gayo, Aceh, dan Jawa eks tentara
Belanda. Jadi,
perang ini tidak lagi mempunyai kepentingan pribadi, tetapi
yang muncul adalah
kepentingan bersama. Artinya, 'Perang Sunggal' ini menjadi
perang rakyat
semesta. Penghimpunan kekuatan seperti ini menunjukkan
adanya rasa kesatuan,
persatuan, dan nasionalisme yang mendalam.
Perang ini mempunyai dua nama yaitu 'Perang Sunggal' dan
'Perang Batak'.
Penamaan 'Perang Sunggal' muncul karena perang ini terjadi
di daerah Sunggal,
tempat tinggal masyarakat Melayu dan masyarakat Karo ketika
itu. Perang ini
disebut Belanda juga dengan 'Perang Batak' atau Batak Oorlog
karena medan
pertempurannya kebanyakan berada di pegunungan yang didiami
oleh masyarakat
Batak-Karo. Penamaan ini mirip dengan 'Perang Diponegoro'
yang berlangsung di
Jawa karena pemimpin perangnya ialah Pangeran Diponegoro.
Perang ini disebut
juga oleh Belanda dengan 'Perang Jawa' atau Jawa Oorlog
karena berlangsung di
Jawa. Persamaannya kedua perang ini sama-sama menentang
penjajahan Belanda.
Sedangkan perbedaannya adalah: 1) Pangeran Diponegoro telah
diangkat sebagai
'Pahlawan Nasional' sedangkan Datuk Badiuzzaman Surbakti
sampai sekarangbelum;
dan 2) Pangeran Diponegoro telah berperang melawan penjajah
Belanda selama
lebih kurang lima tahun sedangkan Datuk Badiuzzaman Surbakti
telah berperang
melawan penjajah Belanda selama lebih kurang 32 tahun.
Penutup
Kelima butir pertimbangan yang dapat ditarik dari perjuangan
Datuk Badiuzzaman
Surbakti di atas menunjukkan kepada kita bahwa beliau adalah
seorang pejuang
kemerdekaan yang gigih, ulet, dan pantang menyerah. Untuk
itu, beliau pantas
menjadi contoh teladan dan dapat pula dijadikan sebagai
panutan dalam
menjunjung tinggi rasa cinta tanah air. Dengan begitu,
beliau sekarang bukan
hanya milik masyarakat Melayu di Sumatera Timur, tetapi
sudah menjadi milik
nasional, milik bangsa Indonesia. Oleh karena itu menurut
pengamatan kami,
sudah sepantasnyalah Datuk Badiuzzaman Surbakti ini dapat
kita perjuangan
bersama-sama ke pemerintah Republik Indonesia untuk dapat
kiranya diangkat
menjadi salah seorang 'Pahlawan Nasional'.
Baca juga : Pahlawan Karo Berperang 25 tahun MelawanBelanda.
Comments
Buat Admin, terus semangat mengangkat berita karo siadi, untk menjadi pendorong semangat karo sigundari.
Mejuah juah.
Ada yang perlu saya tanyakan, apakah ada yang mengenal Datu kami Dato' Ali Hoesin, dia adalah menantu dari Raja/Sultan Soenggal yang tinggal di daerah Binjai sekarang, ditepi Sungai Mencirim yang dahulunya masih wilayah kerajaan soenggal dan dahulunya bernama Kampung Serbanyaman yang berbatasan dengan Kebun Timbang Langkat, dia diberi tanah itu langsung oleh Soeltan Soenggal yang ber-tarikh ...Desember 1888 dengan surat yang dua tulisan, bertulisan arab bahasa melayu dan tulisan melayu disampingnya, surat itu masih ada tersimpan pada kami cucu/cicit Dato' Ali Hoesin. Makam Dato' Ali Hoesin bisa dilihat di perkuburan wakaf Dato' Ali Hoesin yang terletak di Lingkungan I Kampung Mencirim tidak jauh dari Titi/Jembatan Jalan I.Bonjol Binjai. Bagi pihak yang mengenal dan peduli dapat ikut serta dalam musyawarah keluarga rumpun Dato' Ali Hoesin pada tanggal 01 September 2013 +/- pukul 13.00 Wib dirumah kami di Jalan Nuri No.41-A Lingkungan I Kampung Mencirim Binjai.
(HAFIZD DJAMALUDDIN-hafizd,jamal@facebook.com).
Surat GrandSultan .. Desember 1888 bukti keberadaan dan kekuasaan Datok Songgal sampai wilayah kota Binjai..
Lanjutkan