Usaha Tarigan atau Tariganu |
Antologi puisi "Pincala" karya Tariganu, yaitu
suatu karya yang afirmatif dengan kebebasan par-excellence mengeksplisitkan
kebebasan par-excellence mengeksplisitkan status ontologism manusia sebagai
suatu aktus kesadaran vis a vis dengan dunia realitas. Pincala adalah
representasi dari manusia tangguh sekaligus suatu tema sentral dalam
mengungkapkan misteri manusia.
Pincala, sebuah nama mengacu kepada burung bersuara merdu
memiliki kekuatan dasyat, syarat visi dan artikulatif tentang takdir dan masa
depan. Panen dan kelimpahan, bisikan tentang masa depan tersuarakan. Pincala
analog dengan Hermes, duta penguasa Olympus yang mewartakan pesan kepada
manusia merupakan wacana bagi media interpretasi sekaligus sebagai sarana
ekspresi pengarang dalam pergumulannya dengan realitas. Melalui Pincala
Tariganu mengartikulasikan kebebasan dengan nuansa universalitas serta
memposisikan ontologis kehendak sebagai dasar pemahaman manusia yang tertuang
dalam ritus dan madah "keagungan manusia" dan bukan "manusia
agung" Nietszchean.
Dengan ontology kehendak sebagai titik tolak pemahaman
tentang realitas-telah dirintis oleh Aristoteles dan terdogmakan oleh
Agustinus, menjadi pegangan Schiller dan terkuduskan dalam diri Nietszche dan
termatangkan dalam diri Heiddegger sebagai titik tolak pemahaman ontologi
manusia suatu kelana kemausiaan tergelarkan dan dunia realitas dijelajahi.
Tradisi tersebut berlanjut pada diri Tariganu si penyair Tanah Karo.
Kesadaran menjadi aktual dalam persentuhannya dengan bahasa
dan budaya, etre du monde Merleau-Ponty terpaparkan dalam kepenyairan Tariganu.
Makna dan signifikasi manusia terungkap. Kontroversi tentang dirinya sebagai
penyair pemula dalam heboh sastra pada dasawarsa lima puluhan di Medan
mengantarkannya ke penyair ranum. Dalam rentang perjalanan waktu Tariganu
secara pasti mempertegas komitmen dan integritasnya sebagai pengarang dan
memproklamirkan diri sebagai humanis realist. Dalam proklamasi tersebut ia
meletakkan dimensi antromorpistik Tuhan ke dalam tataran roh sebagaimana
Freubach yang mendaulat Tuhan sebagai proyeksi manusia. Orientasi
antrophomistik sebagai sublimasi ethis dan pathos suku Karo termuskilkan.
Dengan ketegaran akuntabilitas humanistik ia juga terobsesi
untuk merambah humanistas dan mewarnai universalitas. Sekali langkah diayunkan
dan sebelumnya tujuan ditetapkan dalam laras pada visi emansipatoris, dengan
kepastian kategoris aktualisasi kebebasan dalam aras aktus kesadaran eidetic
vis a vis dunian dan realitas.
Dimensi ruang dan waktu, yang sangat sentral dalam fenomenologi,
serta dimensi ekatologis berupa intervensi illahi tertorehkan di atas gerbang
Kuil Delphia Yunani Kuno, yaitu " Kenali Dirimu", sangat kental dan
akrab dalam komunitas Karo. Kesadaran terhubungkan dengan universalitas terkait
dengan kondisi objektif globalisasi, dengan situasi politik Indonesia, termasuk
di dalamnya krismon, sosok presiden Gus Dur, kegalauan paska Orba, disorientasi
dan anomali, tragedi Semanggi, dan mata rantai revolusi ke pembantaian manusia
Tienmen. Cina terdudukkan dalam suatu pemahaman realias, yaitu manusia konkrit.
Dengan partisipatoris visi Tariganu tampil prima melampaui
konsep manusia Faustis. Ia juga secara dramatis mengatasi manusia abstrak
Hegel. Dunia roh tersubordinasikan ke dalam dunia subjek. Manusia memperoleh rohnya
kembali.
Segenap unsur konstitutif tersebut yang menopang nalar
fenomenon suku Karo diyakini mampu pula menghimpun dan mengartikulasikan jiwa
dan zaman (geistzeit) dan tuntutan humanitas. Orientasi pemikiran dan refleksi
kognitif komunitas, kesantunan dan kesahajaan, kejujuran dan transparansi serta
keberanian, adap dan adab serta ekspektasi Karo terjungkalkan.
Karonisasi barangkali tepat dalam mendudukkan obsesi Tariganu
dalam merambah dan memperkaya humanitas. Sebagai seorang realist-humanist. Tariganu
tersandingkan dengan gagasan sentral Puskin, yaitu Russifikasi humanitas.
Dengan orientasi tersebut bersama-sama dengan masyarakat dunia di lima benua,
masyarakat Karo mengaktulisasikan fitrah rekonstruksi diri manusia dalam dunia
realitas. Tariganu mensintesakan intuisi ketimuran dan nalar Eropa Barat.
Melalui kelabat dan nuansa satire, tragedi dan drama kehidupan serta takdir
manusia secara apik terbingkaikan dalam harmoni dunia kolosal.
Dengan semangat Karonisasi tariganu penuh passi merambah
permasalahan ontologis manusia dan kebebasan dalam tataran realistik dengan
semangat "kehendak" sebagai platforma. Realitas dihadirkan sebagai
suatu keniscayaan dan bukan kontigensi. Frasa filosofi tersebut dapat
disandingkan dengan semangat neo-Copernikan ala Kantian yang menempatkan
manusia sebagai pusat orientasi.
Keagungan manusia yang menjadi obsesi Tariganu terafirmasikan
dalam keniscayaan realitas. Dalam keniscayaan ini pulalah Tariganu berkiprah.
Dalam mewujudkan visi emansipatoris tersebut ia berpijak pada formula kembali
ke asal. Asal adalah simpul pencarian esensi dan eksistensi sekaligtus landasan
kreativitas-dialektis manusia sebagai subjek kesadaran. Segala sesuatu berawal
dan kembali kepada asal adalah suatu tema sentral kepuisian Tariganu. Formula
yang ditawarkan adalah replantasi.
Dalam percakapan manusia Tariganu, si penyair asal tanah Karo
berorientasi pada pemikiran Rusia, Pushkin, secara esensial dan mencengangkan
menampilkan suatu diskursus tentang puisi fenomenal sastra Indonesia yang
bermuara kepada diaspora pemikiran dan kultur. Sesuai dengan etos kehendak, ia
terpanggil untuk memaknai peradaban universal dari titik tolak spektrum lokal.
Dalam perspektif tersebut suku Karo sebagai suatu komunitas dikonstatasikan
mampu memberikan konstribusi. Ia mencanangkan suatu formula, yaitu kembali ke
Tanah Karo, sebagaimana Pushkin mengisyaratkan kemutlakan merujuk kepada daya
sublim milik tanah Rusia sebagai titik tolak kelana dan jelajah humanisme.
Sejalan dengan otonomi daerah, platform primordialistik,
sebagai moda perenungan dan refleksi mestinya mengisyaratkan fenomena baru
dalam sastra Indonesia yang berorientasi pada humanisme dan universalitas. Atas
dasar konstatasi ini Tariganu terobsesi untuk mendongkrak dunia puisi yang
cenderung lesu-sebagai suatu wacana mimesis dunia realitas seturut dengan pemikiran
metafisis Aristoteles-terpastikan karena tampil tegar dalam abad millennium
ini. Nuansa primordialistik dan karakterisitik serta keunikan domestik scara
ajeg dan pas teracik ke dalam nilai universalitas.
Upaya untuk mewujudkan visi emansipatoris Tariganu mengikuti
jejak Rene Descartes dengan mengafirmasikan dimensi nalar sebagai yang primer.
Ia juga mendudukkan tradisi, adat, kebiasaan dan moralitas serta religious
sebagai platform pemahaman ontologis manusia. Namun berbeda dengan Descartes,
terutama dalam prespektif realitas, ia mengisyaratkan pentingnya instuisi
disamping nalar.
Konvergensi ranah nalar dan instuisi menyertakan dunia
irrasional yang syarat dengan mistik dan mitik oleh penyair oleh Tariganu
menjadi suatu energi dasyat, sekaligus terhadirkan sebagai yang fungsional
dalam membangun suatu visi humanitas yang berorientasi masa depan.
Jun 24, 2007
Sumber : Pincala.blogdrive.com
Comments