17 Agustus 1952, Bupati Tanah
Karo Rakoetta Sembiring Brahmana
di Makam Pahlawan Kabanjahe (Sumber foto
: Nancy Meinintha Brahmana)
|
Pada saat itu, Djaga Depari sudah
bertempat tinggal di Kabanjahe.
Keadaan kota Kabanjahe saat
itu, belum seramai
sekarang ini. Keadaan
Jl. Veteran,
letak Makam Pahlawan, masih sangat sunyi. Perumahan masih
jarang, sepanjang jalan masih
ditumbuhi pepohonan yang sangat rimbun. Sebagaimana kebiasaanya, Djaga Depari suka
berjalan kaki berkelana
seorang diri, dari
satu tempat ke tempat
lain. Tak ingat
waktu, bahkan tak
peduli siang atau
malam, mencari ilham.
Demikianlah pada suatu
malam sewaktu hendak
pulang ke rumah berjalan
seorang diri melewati
Makam Pahlawan Kabanjahe,
hati Djaga Depari
terkesima oleh hembusan angin yang lembut, membuat dedaunan
di sekitar makam berdesir-desir.
Di tengah kesunyian
malam, sekonyong-konyong dia
mendengar suara rintihan
dari arah makam.
Karena larut dalam
suasana, Djaga Depari
tidak dapat menenangkan hatinya, hingga tak tahu apa
makna kata yang didengar.
Sesampainya di rumah, Djaga
Depari merenungkan apa yang dia dengar dan rasakan. Akhirnya, setelah
merenung beberapa hari,
Djaga Depari menuangkannya ke
dalam bentuk sebuah
lagu dengan memasukkan
unsur-unsur perjuangan yang dia
ketahui, rasakan, dengar dan alami berjudul
Sora Mido. Lagu ini
menjadi populer setelah
dinyanyikan oleh Malem Pagi
Ginting seorang penyanyi tradisional Karo yang sangat
terkenal saat itu.
Sora Mido
Terbegi sora bulung erdeso
I babo makam pahlawan si lino
Bagina sora serko medodo
Cawie cere sorana mido-ido
Terawih dipul meseng kutanta ndube
Iluh silumang ras simbalu mbalu erdire-dire
Sora ndehereng perenge-renge ate
Kinata ngayak -ngayak merdeka
ndube
Makana tangarlah si ngelem layar-layar
Ula kal merangap ula dage jagar-jagar
Kesah ras dareh ndube tukurna merdekanta enda
Ula lasamken pengorbanan bangsata
Enggom kap megara lau lawit ban
dareh simbisanta
Enggom megersing lau paya-paya ban iluh tangista
Enggom kap megelap langit ban cimber meseng kuta
Ngayak-ngayak merdeka nta ndube
Tegu me dage temanta si enggo cempang
Didong kal dage anak-anak tading melumang
Keleng ate ras dame sisada karang
E me pertangisen kalak lawes erjuang
Terbegi sora bulung-bulung erdeso
I babo makam pahlawan si lino
Bagina sora serko medodo
Cawir cere sorana mido-mido
Tentang lagu ini Prof. Masri Singarimbun pernah
mengatakan, “Sebagai seorang pencipta
lagu, Djaga Depari
telah mampu menyeret-menghanyutkan perasaan para
pendengarnya , karena
beliau juga ikut
sebagai pelaku pejuang.
Kekuatan lagu ini
tergantung pada pesanya.
Jalan melodi dan
harmoninya penuh perasaan sehinga mudah ditangkap telinga
pendengarnya”.
Masih tentang
lagu Sora Mido
ini, tokoh budaya
Karo Nempel Tarigan, pernah
mengatakan, bahwa terciptanya
lagu tersebut dilatar
belakangi oleh kepedihan
hatinya melihat keadaan
keluarga pejuang yang
merana akibat kehilangan anggota keluarganya. Antara lain
katanya :
“Setelah pulang
dari mengungsi, keadaan
saat itu tidak
menentu. Banyak orang
kehilangan anggota keluarganya, apakah
mati ditembak musuh, mati
dimakan binatan buas di hutan, tersesat, cacat dan lain-lain.
Melihat keadaan tersebut,
inspirasi Djaga Depari
pun timbul ketika
ia melintas makam
pahlawan dan mendengar
suara tangisan sendu
dihadapan pusara orang
yang dikasihinya. Hatinya
sungguh pilu bercampur
sedih mendengar suara
tangisan itu. Jiwa seninya pun
meronta, memaksa kalbunya
melakukan penghiburan terhadap
mereka. Dari kejauhan
terbayang rasa pilu
yang menimpa teman-temannya. Ia
termenung, hatinya sedih,
kepada siapakah dia mengadu, akhirnya
semua itu dituangkannya
kedalam sebuah lagu yang
diberi judul Sora Mido, yang berarti Suara Himbauan.”
Dalam lagu
Sora Mido
ini, Djaga Depari
menghimbau kepada para
pemimpin bangsa, agar
janganlah serakah dan
main-main. Karena dulu,
nyawa dan darah taruhannya
kemerdekaan kita ini. Lihatlah air mata anak yatim dan para janda. Tuntunlah
teman kita yang
timpang dan saling
mengasihilah kamu.
Sumber bacaaan :
Penulis : Marco Bangun
Repository.usu.ac.id
Comments