Skip to main content

Potret Buruh Perkebunan Sumatra Timur Masa Belanda

Judul                      : Coolie
Penulis                   : Madelon H. Lulofs
Penterjemah           : G.J. Renier dan Irene Clephane
Edisi asli                 : Belanda
Edisi terjemahan     : Inggris
Penerbit                 : Oxford University Press, Singapore,
                                1953, 216 + x hlm.

Kapitalisme perkebunan awal di Indonesia muncul sejak abad 17-18 di Jawa dan Sumatra Timur. Kapitalisme perkebunan ini merupakan kolonisasi resmi Belanda, yang sebelumnya dirintis oleh kapitalisme dagang Belanda, yakni VOC. Berkembang biaknya kapitalisme perkebunan di Jawa dan Sumatra Timur akibat berkurangnya peran negara kolonial dalam memaksa penduduk-penduduk pribumi menyediakan produk komoditi tertentu, yang dikerjakan secara paksa. Setelah mengalami pergeseran politik di negeri Belanda, akibat banyaknya kritikan dari tanah jajahan dan dari Belanda sendiri, di samping mulai bangkrutnya VOC, maka kaum kapitalis Belanda memaksa menghapuskan monopoli negara kolonial atas sistem kapitalis dagang. Kaum borjuis baru ini mengusulkan untuk mengembangkan sistem kapitalis perkebunan di tanah jajahan, seperti Jawa dan Sumatra Timur, yang cocok untuk sejumlah komoditi ekspor dan ditemukan sumber energi baru, seperti minyak bumi.

Akan tetapi, sejarah kapitalisme perkebunan di Sumatra Timur ternyata menarik perhatian seorang putri tuan kebun G. Lulofs. Madelon Lulofs berhasil mengangkat dan memotret kehidupan buruh perkebunan di Sumatra Timur, khususnya perkebunan karet di Asahan. Madelon Lulofs (1899-1958) lahir di Surabaya, dan menghabiskan 30 tahun pertama masa hidupnya di Indonesia. Ayahnya, G. Lulofs merupakan pegawai pertama pemerintahan Netherland Indies. Madelon selalu mengikuti ke tempat bapaknya bertugas, yang selalu berpindah-pindah wilayah. Bahkan, harus tinggal di tengah-tengah perkebunan karet di daerah pelosok Sumatra Timur, di Asahan. Usianya kala itu baru 19 tahun.



Tahun 1930 Madelon menciptakan skandal di kalangan masyarakat kolonial di Sumatra Timur, dengan meninggalkan suaminya, yang tuan kebun. Madelon menikah dengan seorang Hungaria yang tidak terkenal, Laszlo Szekely. Szekely pernah menulis novel terkenal berjudul  Tropic Fever, dalam bahasa Hungaria. Kemudian mereka berdua berangkat ke Eropah dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Dalam kurun waktu tiga tahun, Madelon berhasil menerbitkan empat buku, mengenai masyarakat yang pernah ia tempati. Keempat buku tersebut yakni: Rubber (1931), Koelie (Coolie/1932), Emigrants (1933) dan The other world (1933).

Kedua buku pertama, Rubber (1931) dan Coolie (1932), menjadi buku menggemparkan jagat Eropah karena begitu relevan dengan “masalah kolonial” pada umumnya dan persoalan “hukuman mati” bagi para kuli kontrak di Sumatra Timur, khususnya. Buku Rubber diterbitkan dalam berbagai bahasa dan film, di samping menjadi penyimpangan oleh kelompok “lobi Sumatra” di Belanda. Buku ini juga berbau semi otobiografis yang mengekspresikan kehidupan pedih di suatu dunia yang lain. Berbeda dengan buku tadi, buku Coolie  malah berisikan upaya susah payah memasuki dunia kejiwaan buruh terperangkap dari Jawa, yang secara pasif menerima segala keadaan kekerasan yang menyakitkan, yang begitu susah untuk dipahami kalangan tuan Eropah. Tentu saja ini kerap terjerembab, terkadang terjatuh kedalam pencitraan yang dimainkan Madelon, mengenai kehidupan kuli.

Buku Coolie yang diterbitkan Madelon mampu mengungkapkan dunia kehidupan buruh perkebunan di Sumatra Timur, khususnya buruh kebun karet di Asahan. Meskipun buku ini tidak dimaksudkan Madelon sebagai buku sejarah--tepatnya dia katakan sebagai buku sastra, namun kisah yang dibangun di dalamnya kelihatan bak sastra sejarah buruh. Oleh karena buku ini mendapat tentangan sangat keras di Belanda, maka Madelon mengantarkan karyanya ini dengan mengklarifikasi, bahwa karya tulisnya mengekspresikan kejiwaan manusia. Inilah yang menjadi titik kunci baginya dalam mengapresiasi konteks budaya kuli yang memang jauh berbeda dengan para tuan kebun.

Di dalam buku ini sidang pembaca dapat menyelami narasi-narasi mendalam Medalon dalam memotret perihal seluk beluk kehidupan buruh perkebunan di mana dia pernah tinggal. Pengungkapan yang amat realisme, dibumbui kecekaman hidup buruh perkebunan, buku Coolie ini patut menjadi sastra sejarah yang kaya pengalaman. Deskripsi yang apik mengenai situasi alam sekitar; pertukar-pertukaran kisah orang per orang yang beragam bangsa (China, Jawa, Melayu, dll.)  berhasil disampaikan Madelon tanpa kesulitan. Tak hanya dialog-dialog duka yang terungkap di dalam buku Coolie ini, juga tawa lucu pun digoreskan Madelon dengan bagus. Persis, inilah yang dia sebut sebagai ekspresi kejiwaan manusia.

Meskipun buku ini berbahasa Inggris, hasil terjemahan dari buku aslinya yang berbahasa Belanda, namun sidang pembaca takkan kesulitan dalam mencerap makna tulisan di dalamnya, hanya tentu dengan sedikit kesungguhan hati berimajinasi ke masa lampau Indonesia nun jauh di sana di Sumatra Timur, abad ke 18. Hasil penyimakan kita tentulah membijakkan kita bahwa pernah ada dalam penggalan sejarah bangsa Indonesia, kita menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah kini, setelah memasuki abad milenium, bangsa kita masih menjadi kuli juga di negeri sendiri?*** (HG)

*Tulisan dimuat dalam Buletin Perempuan Bergerak, Edisi II, April-Juni 2009, dengan tema "Potret Buruh Perempuan Indonesia", penerbit Kalyanamitra

sumber : Kalyanamitra

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat-Nasehat dan Ungkapan-Ungkapan

Nasehat-Nasehat Orang tua Karo, termasuk orang tua yang suka memberikan nasehat-nasehat kepada anggota keluarganya. Dalam nasehat yang diberikan selalu ditekankan, agar menyayangi orang tua, kakak/abang atau adik, harus berlaku adil. Menghormati kalimbubu, anakberu, senina sembuyak, serta tetap menjaga keutuhan keluarga.   Beberapa nasehat-nasehat orang-orang tua Karo lama, yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan antara lain: Ula belasken kata la tuhu, kata tengteng banci turiken . Artinya jangan ucapkan kata benar, tetapi lebih baik mengucapkan kata yang tepat/pas. Ula kekurangen kalak enca sipandangi, kekurangenta lebe pepayo , artinya jangan selalu melihat kekurangan orang lain, tetapi lebih baik melihat kekurangan  kita (diri) sendiri atau  Madin me kita nggeluh, bagi surat ukat, rendi enta, gelah ula rubat ,  artinya lebih baik kita hidup seperti prinsip  surat ukat (surat sendok), saling memberi dan memintalah agar jangan sampai berkelahi. Beliden untungna si apul-apulen

Musik Karo - Gendang Tiga Sendalanen (bagian 5)

7.2 Gendang telu sendalanen Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1)  Kulcapi/balobat , (2)  ketengketeng,  dan (3)  mangkok.  Dalam ensambel  ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu   Kulcapi  atau  balobat.   Pemakaian  Kulcapi atau balobat  sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda.  Sedangkan  Keteng-keteng dan  mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Jika  Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan  keteng-keteng  serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya, maka istilah  Gendang telu sendalanen sering disebut   Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi ,  dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya  tersebut  menjadi  gendang balobat.  Masing-masing alat mu

Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari (bagian 2)

8. Mari Kena Mari turang geget ate mari kena Sikel kal aku o turang kita ngerana Aloi, aloi kal aku Kena kal nge pinta-pintangku Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tebing kal kapen o turang ingandu ena Nipe karina i jena ringan i jena Tadingken kal ingandu ena Mari ras kal kita jenda Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena Tertima-tima kal kami kerina gundari Kalimbubu, anak beru ras seninanta merari Mulih kal gelah kena keleng ate Ras kal kita jenda morah ate Ula lebe meja dage Mari turang iah mari kena Mari turang iah mari kena (sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 132) Mari Kena (Marilah mari) Mari adinda sayang marilah mari Ingin daku kita berbicara Dengar, dengarkanlah daku Dikaulah yang sangat kurindukan Mari, marilah sayang Mari, marilah sayang Sangat terjal jalan ke rumahmu sayang Ada banyak ular pula di situ Tinggalkanlah rumahmu itu Mari kita bersama di si